Pelibatan rasionalitas dalam menakar dalil-dalil keagamaan merupakan karakteristik pola pikir Muslim modern. Beberapa slogan-slogannya adalah “Islam itu bisa diterima oleh akal sehat”, “saya memeluk Islam karena Islam adalah agama yang rasional”, dan semacamnya. Namun, kelompok Islam yang lain, di waktu yang sama, mengatakan sebaliknya. Mereka mengatakan, misalnya, “jangan memahami agama dengan akal”, “jangan menafsir dalil dengan rasio, karena rasio itu terbatas, tidak bisa mengindera yang transenden”, dan semacamnya. Kelompok kedua ini lazim disebut dengan kelompok konservatif, kolot, atau puritan, yang rentan merusak relevansi al-Qur’an hingga akhir zaman.
Dua pola pikir tersebut tampak akan tetap seperti itu hingga nanti ketika dunia ini berakhir. Masalahnya adalah bagaimana kita memposisikan diri di antara dua koridor tersebut? Begini. Rasional itu artinya adalah sesuai dengan rasio. Rasio itu adalah nama lain dari akal sehat. Beragama yang rasional itu berarti agama itu bisa dipandang dan diterima oleh akal sehat. Mungkin kemudian muncul pertanyaan, sebenarnya mereka yang berada dalam kelompok puritan itu berpikir atau tidak? Atau, sejauh apa mereka menggunakan nalar dalam beragama?
Coba kita lihat model pendekatan pengambilan hukum Islam oleh Imam As-Syafi’i. Dalam fikih Imam Syafi’i, dikatakan bahwa sumber hukum Islam itu ada empat; al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Dari keempat itu, ternyata semuanya didayagunakan menggunakan akal. Qiyas, misalnya. Qiyas adalah analogi, As-Syafi’i ternyata menggunakannya sebagai dasar hukum Islam. Analogi adalah bagian dari ilmu logika. Artinya, logika bisa dikatakan satu bagian dari metode penetapan hukum Islam.
Jika Qiyas dianggap sebagai metode paling akhir, maka mari kita lihat sunnah, lebih spesifik lagi hadis. Hadis memang keluar dari lisan suci Rasulullah yang dijaga otentisitasnya oleh Allah. Ia merupakan wahyu kedua setelah al-Qur’an yang menjadi sumber otoritatif sumber hukum Islam. Lalu apakah berarti sumber hukum Islam itu dari wahyu? Rupanya, dalam lintasan sejarah, otentisitas hadis itu mengalami pergeseran dari Nabi Muhammad ke para perawi Hadis.
Misalnya, Nabi bersabda tentang suatu hal. Namun, sabda Nabi itu belum tentu diterima oleh umat Muslim kalau perawinya mengatakan bahwa hadis itu tidak shahih. Pandangan ini bisa diperdebatkan. Pada intinya, ulama hadis memberi contoh bahwa untuk mengikuti sebuah hadis pun, kita memerlukan perangkat rasional guna mengkurasi dan memverifikasi apakah hadis tersebut sahih sehingga bisa menjadi pedoman, atau palsu sehingga tidak pelu diikuti. Metode verifikasi itulah yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim serta ulama-ulama yang lain. Dalam istilah Bukhari dan Muslim, model itu disebut kritik sanad (verifikasi eksternal) dan kritik matan (verifikasi internal).
Lalu bagaimana dengan al-Qur’an? Al-Qur’an jelas merupakan sumber hukum Islam berbasis wahyu dari Allah. Lalu apakah kita kemudian merasionalkan wahyu ilahi untuk kepentingan hukum? Sebagai orang Islam, kita harus sepakat bahwa al-Qur’an berasal dari wahyu, namun bagaimana cara ia terpelihara itu ternyata menggunakan akal pikiran.
Dalam QS. al-Hijr: 9, Allah menegaskan bahwa “Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan Kami yang memeliharanya.” Dalam kaidah penafsiran al-Qur’an, jika Allah menggunakan kata ganti “Kami” dalam ayatnya, maka di antara maknanya adalah Allah ingin melibatkan makhluknya dalam sebuah peristiwa. Benar saja. Bagaimana cara pemeliharan al-Qur’an seperti yang disebutkan dalam QS. al-Hijr: 9? Ternyata salah satu caranya adalah melalui fatwa dan ijtihad Umar bin Khattab soal pembukuan al-Qur’an.
Di zaman Abu Bakar, muncul keresahan karena para penghafal al-Qur’an yang jumlahnya ratusan itu mengalami penurunan signifikan karena mati syahid dalam peperangan. Umar merasa khawatir, jika di awal perkembangan Islam saja umat Muslim yang hafal al-Qur’an sudah mulai berkurang drastis, maka di masa depan mungkin saja al-Qur’an itu tidak terpelihara. Keresahan Umar itu mengejawantah menjadi ijtihad tentang pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf setelah sebelumnya hanya tercecer dalam tulisan-tulisan yang sporadis. Namun, itu dalam rangka memelihara al-Qur’an secara fisik. Bagaimana kemudian memelihara al-Qur’an yang hakikat itu? Tetap saja, QS. al-Hijr: 9 tetap menjadi indikasi bahwa Allah tetap mempercayakan umat manusia untuk menjaga al-Qur’an hingga hari akhir kelak.
Perlu dicatat bahwa hanya ada dua cara dalam memahami al-Qur’an; menggunakan akal atau menggunakan hawa nafsu. Yang diwajibkan itu menggunakan akal, yang diharamkan itu menggunakan hawa nafsu. Maka wajar rasanya jika al-Qur’an terus menerus menyebut dan menegaskan bahwa ayat-ayat Allah itu harus dipahami oleh orang-orang yang mau berpikir.
Kelompok konservatif itu kemudian mendebat dengan hadis Nabi yang artinya ““Barangsiapa berkata tentang Al–Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka”. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Artinya, secara sana hadis ini perlu dikritis kembali. Sedangkan secara matan, kata “logikanya (semata)” tentu sudah mengindikasikan bahwa larangan itu ditujukan bagi mereka yang menafsirkan al-Qur’an dengan hawa nafsunya saja.
Dalam hadis yang lain, Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadis yang artinya “Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan pendapatnya (sendiri), ia telah melakukan kesalahan meskipun pendapatnya benar”. Soal “dengan pendapatnya sendiri” itu dijelaskan oleh Ibnu Athiyah dalam kitab al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz bahwa “pendapat sendiri” itu adalah pendapat yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan ulama otoritatif, ilmu dan pengetahuan bahasa.
Maka, janji Allah untuk merawat al-Qur’an itu sebenarnya memerlukan keterlibatan akal pikiran dan kepekaan kita sebagai hamba-Nya. Umar bin Khattab dan Imam Syafi’i secara tersirat menegaskan soal urgensi rasio itu dalam memahami dalil-dalil naqli. Oleh karena itu, cara kita untuk merawat al-Qur’an adalah menjaga relevansi ajarannya dengan membacanya sesuai konteks zaman masing-masing. Sebaliknya, puritanisme justru yang “mengekang” al-Qur’an untuk tetap hidup di manapun dan kapanpun ia dipahami.