Di awal Februari ini, saya banyak didera berita kematian: dari kematian seorang kiai yang saya hormati, kematian seorang tetangga, kerabat hingga teman dekat. Tapi seperti kisah Balada Kodok Rebus, saya mudah abai akan momen kematian. Berkali-kali takziyah, tapi tak mudah menerimanya sebagai momen nasihat. Padahal, kematian adalah tahapan yang kelak kita pijak.
Suatu kali, Alqur’an menggambarkan kematian dengan kata “al-maut”, artinya keterpisahan. Kata ini dipakai untuk menggambarkan momen terpisahnya jasad dari ruh; terpisahnya manusia dari alam dunia menuju alam akhirat.
Keterpisahan ini adalah kisah tentang dua dimensi alam yang Berbeda: alam dunia dan alam akhirat. Keduanya bisa bertemu tapi tak bisa menyatu. Mirip seperti minyak dan air, keduanya bisa dipersatukan, tetapi tak bisa menyatu.
Kata “almaut” ini menggambarkan bahwa setiap diri musti bergegas dan sekaligus bergeser menuju alam akhirat. Bahkan sebelum mati, kita sudah dilatih untuk mati: “muutuu qabla an tamuutuu”. Maknanya, sebelum meninggal dunia, hendaklah kita berlatih meninggalkan dunia. Ini adalah cara membangun kesadaran bahwa tujuan utama hidup adalah Allah dan kelak kita berada di alam akhirat. Hidup di alam dunia adalah sarana. Alam dunia adalah etape pendek yang segera kita tinggalkan.
Kesadaran macam ini yang digambarkan oleh kearifan Jawa dengan istilah “urip nang dunya mung mampir ngombe”. Wejangan ini memberikan kesadaran bahwa sebagai sarana, hidup di dunia sangat singkat. Maka, dalam hal berdzikir (salat), Alqur’an memakai kata perintah “berlarilah!” (QS. Al-Jum’ah : 9); melakukan kebaikan, memakai kata perintah “Berlombalah!” (QS. Al-Baqarah : 148); urusan meraih ampunan, memakai kata perintah “Bersegeralah!” (QS. Ali Imron : 133); dan urusan menuju Allah, memakai kata perintah “Berlarilah dengan cepat!” (QS. Adz-Dzaariyat : 50). Tapi urusan duniawi, Alqur’an hanya memakai kata perintah “Berjalanlah!” (QS. Al-Mulk : 15).
Kita mesti memahami kapan kita perlu bergegas cepat, berlari, dan kapan kita cukup berjalan. Jangan-jangan, selama ini kita merasa lelah, karena berlari mengejar dunia yang seharusnya cukup dijalani dengan berjalan.
Pada konteks yang lain, Alqur’an menggambarkan kematian dengan kata “ajal”. Kata ini digunakan untuk menjelaskan bahwa hidup di dunia punya masa tenggat. Seperti makanan, hidup kita punya garis batas dan jangka waktu yang telah ditetapkan: kapan kita lahir, hidup, dan kapan kita mati. Hidup di dunia ini bermula dan berakhir.
Itu sebabnya, kehidupan adalah ruang untuk berkarya, berbagi, dan mengabdi. Memahami makna hidup bisa dilihat dari sudut bagaimana diri kita bersikap kepada diri sendiri, orang lain dan kepada Tuhan. Lungguh kanggo nyuguh lan gelem gupyuh.
Dan pada konteks yang lain, Alqur’an menggambarkan kematian dengan kata “raaji'”, yakni pulang atau kembali. Secara budaya, kepulangan adalah suatu keindahan dan secara ruhani kepulangan adalah suatu yang dirindukan. Kematian digambarkan sebagai kepulangan, karena kita pulang pada Sang Pemilik kehidupan; Zat yang kita cintai dan mencintai kita. Batapa tidak indah kita pulang pada Zat Yang Maha Indah dan Maha Cinta.
Sebagai diri yang telah sadar kapan mesti berlari dan kapan cukup berjalan, kisah kematian adalah momen kita berbenah: menyadari bahwa kita hidup dunia tanpa prinsip, tanpa integritas, dan tanpa etika adalah kehidupan yang paling merisaukan dan melahirkan marabahaya. Dan mengingat kematian adalah cara menyingkirkan kerisauan itu.[]
Tegalrejo, petilasan Pangeran Diponegoro