“Daratan yang membentang antara sungai Nil dan Oxus akan tetap berubah, bahkan jika seandainya Muhammad dan Islam tidak datang.” Demikian tulis sejarawan Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam (Volume I: 146).
Dunia sedang memasuki masa peralihan. Dua kekaisaran besar ketika itu, Romawi dan Persia, terpuruk akibat perang yang tak berkesudahan. Kekaisaran Sasani, sebagai wujud kekuatan baru Persia, berhasil merebut Syria dan Mesir (jika bukan keseluruhan wilayah Maghrib) dari Romawi. Mereka berhasil meneguhkan kebudayaan Suryani, kebudayaan yang juga menyebar luas ke Eropa dan India.
Tidak ada yang menyangka, sebuah daratan tandus yang tak pernah diperhitungkan dalam peta kekuasaan, justru muncul ke permukaan. Jazirah Arab di masa itu tidak lain sebuah daratan yang dihuni oleh orang-orang badui yang hanya berbekal kekerabatan dan puisi. Secara kekuatan, mereka tidak mungkin mengalahkan Sasani, masih terbata dalam melafalkan bahasa Suryani, dan hanya meminjam beberapa kebaruan dari agama Kristiani.
Namun justru Jazirah Arab menjadi wilayah yang paling damai di masa perang. Baik utusan Romawi dan Sasani beberapa kali hendak beraliansi dengan Arab. Tetapi kontur tanah yang sangat tidak bersahabat, kebudayaan serta teknologi perang yang tidak memadai, membuat tempat ini tetap aman.
Karenanya, Jazirah Arab menjadi suaka bagi orang-orang yang menghindari perang. Lewat Yaman, sekitar 4000 eksodus Yahudi berbondong-bondong memasuki dataran Arab, memperkenalkan pendidikan dan perdagangan, termasuk mendirikan pasar pertama, Ukaz. Di saat Romawi dan Persia terus berperang, mereka mulai belajar bercocok tanam, belajar menulis puisi dan berdagang.
Orang-orang Kristiani banyak yang mendiami wilayah ini, bercampur dengan penduduk yang masih memercayai dewa-dewa, serta kelompok kecil penganut agama Hanafiyah. Heterogenitas inilah yang membangun Arab, tanpa disadari, menjadi salah satu kekuatan besar. Bahkan mereka mampu melakukan pembauran antara kebudayaan Romawi dan Persia—tentu dengan bantuan Islam—untuk menciptakan kebudayaan baru yang homogen dan berekspansi secara luas.
Penyatuan suku-suku yang pada masa lalu terus bertikai ke dalam satu agama bisa jadi faktor yang menguatkan Arab. Suku-suku ini lantas menjadi dinasti dalam kibaran bendera Islam, yang dimulai oleh Nabi Muhammad. Arab menjadi beradab. Pada mulanya, Islam berfokus pada pembanguna kebudayan, diiringi dengan kemenangan-kemenangan dalam perang, mereka mulai mengekspansi daerah-daerah berbahasa Suryani dan Iran.
Puncak peralihan dunia terjadi antara tahun 634 sampai 638 ketika pertempuran antara Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Bizantium dengan Khulafa al-Rasyidin, Abu Bakar al-Siddiq dan Umar bin Khattab. Ketika Khalid bin Walid yang memimpin 8000 pasukan berangkat dari Irak untuk menaklukkan Syria, dia tidak melewati Mesopotamia atau Daumatul Jandal. Dia justru melewati Gurun Syria dengan berjalan tanpa meminum setetes air selama dua hari. Di saat yang sama, takdir menyiratkan kepada Kaisar Romawi, Heraclius, terjatuh sakit dan tak bisa melakukan perlawanan. Dari situ, Islam mulai menguasai Syria dan berakhir pada penguasaan Palestina pada tahun 638.
Kejatuhan Romawi: Perang, Iklim dan Wabah
Tetapi manusia tidak bekerja sendiri. Dunia tidak beralih hanya lewat tangan manusia. Sebagaimana takdir menyiratkan Heraclius mesti terbaring sakit di saat-saat genting, alam pun turut berperan serta menciptakan peta kekuasaan.
Kyle Harper dalam buku The Fate of Rome: Climate, Disease, and the End of an Empire (2017), kejatuhan Romawi merupakan peralihan dari zaman klasik menuju abad pertengahan. Romawi, ketika itu, diserang dari tiga sisi berbeda: perang, perubahan iklim dan serangan wabah.
Perubahan iklim besar-besaran terjadi di Bumi pada abad keenam, ketika gunung-gunung berapi memuntahkan lahar api tanpa henti. Ini terjadi antara tahun 530-540 pada masa pemerintahan Yustinianus I. Masa ini disebut juga sebagai Zaman Es Masa Klasik (Late Antique Little Ice Age). Langit dipenuhi abu vulkanik, sinar matahari tak mampu menembus ke Bumi. Sehingga pada tahun-tahun itu suhu di Bumi menjadi lebih dingin dan bertahan setidaknya selama 150 tahun.
Pada masa pemerintahan Yustinianus I pula bencana yang lebih besar mengancam: kemunculan wabah pandemi pertama sepanjang sejarah umat manusia. Kita mungkin mengenalnya hari ini dengan sebutan Wabah Yustinianus, karena terjadi di masa pemerintahannya; dan dia pun pernah terjangkiti wabah ini namun sembuh.
Wabah Yustinianus disebabkan oleh virus Yersinia pestis, virus yang juga menyebarkan wabah pes pada abad ke-14. Puncak wabah ini terjadi selama dua tahun penuh antara tahun 541 dan 542, namun terus hilang dan muncul sampai tahun 750 (wabah ini kemungkinan besar merupakan wabah yang disebutkan di dalam hadis-hadis Nabi Muhammad dengan nama yang berbeda). Pada dua tahun itu, setidaknya setiap hari 5000 orang meninggal, dan diperkirakan mengakibatkan kematian sekitar 25-100 juta selama dua abad.
Peneliti belakangan menyebutkan virus ini berasal dari Tian Shan, sebuah pegunungan yang berbatasan dengan Kirgistan, Kazakhsatan, dan China. Menyebar melalui kota-kota jalur perdagangan Laut China Selatan. Namun wabah ini mulai dikenali pada musim panas tahun 541 ketika muncul di kota pelabuhan Pelusium Mesir yang terletak di tepi timur delta Nil. Dengan cepat menyebar ke timur di sepanjang pantai ke Gaza dan ke barat ke Alexandria. Pada musim semi berikutnya telah sampai ke Konstantinopel, ibukota kekaisaran Romawi, Syria, Anatolia, Yunani, Italia, Galia, Iberia dan Afrika Utara: tidak ada satu tempat pun yang berada di sekitar Laut Mediterania yang tidak terjangkiti.
Wabah Yustinianus berjalan tiada henti, mengikuti lembah dan sungai atau rute-rute darat, menembus jauh ke pedalaman. Di timur ia sampai ke kekaisaran Sasani, ke utara sampai ke kepulauan Inggris. Namun menurut Michael W. Dols dalam “Plague in Early Islamic History” (dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 94: 371), Romawi menjadi kekuatan yang diporak-porandakan wabah ini. Pada masa wabah ini, populasi Romawi mencapai titik paling rendah dalam sejarah.
Hanya penduduk nomaden dan semi-nomaden, yang tidak bersentuhan langsung dengan kekaisaran Romawi dan negara-negara di sekitar Mediterania yang tetap utuh. Itulah mengapa suku-suku di Arab, demikian pendapat Michael W. Dols, tiba-tiba bangkit menjadi salah satu kekuatan yang menaklukkan Romawi ketika itu. Romawi bisa saja jatuh bahkan sebelum suku-suku Arab bersatu dalam panji Islam.
Baca juga Sistem Politik Arab Pra-Islam: Fanatik Kesukuan dan Tidak Ada Pemerintahan Sentral
Dunia memang dalam masa peralihan. Iklim berubah drastis sebelum kedatangan Nabi Muhammad, dan 30 tahun sebelum kelahirannya, wabah menghabiskan kekuatan Romawi. “Kedatangan Nabi Muhammad dan Islam mungkin sangat tidak terduga kala itu, namun alam memang menghendakinya.” Demikian kutip Michael W. Dols dari Profesor Josiah Russell. (bersambung)
Bersambung ke Wabah dalam Peradaban Islam (2): Tafsir Burung Ababil sebagai Pandemi yang Menewaskan Pasukan Abrahah