Sistem Politik Arab Pra-Islam: Fanatik Kesukuan dan Tidak Ada Pemerintahan Sentral

Sistem Politik Arab Pra-Islam: Fanatik Kesukuan dan Tidak Ada Pemerintahan Sentral

Sistem Politik Arab Pra-Islam: Fanatik Kesukuan dan Tidak Ada Pemerintahan Sentral

Politik merupakan proses terbentuknya sistem kekuasaan dalam suatu lingkaran masyarkat. Sebagai makhluk sosial, tiap – tiap lingkaran masyarakat butuh akan sistem politik yang struktural untuk mengatur kehidupan mereka. Lalu bagaimana sistem politik di wilayah Arab sebelum datangnya Islam?

Secara internal, pada dasarnya kondisi politik di wilayah Arab pra Islam mengalami perpecahan atau dikenal dengan istilah otonomi daerah. Hal ini dikarenakan mereka tidak mengenal sistem kepemimpinan sentral yang mengatur segala urusan kepemerintahan secara general.

Faktanya telah terbentuk sistem otonomi seperti kabilah (clan) yang berorientasi pada terbentuknya suku – suku (tribe). Dengan demikian bisa dikatakan sejak masa jauh sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah memiliki keorganisasian dan identitas sosial yang jelas. Namun, sifat rasial yang menjadi watak orang Arab menjadikan masing masing suku saling bersaing dalam beberapa momen, dan seringkali terjadi peperangan yang cukup sengit akibat rasa solidaritas dan fanatisme yang timbul dari masing – masing internal suku.

Akibat dari peperangan dan fanatik antar suku juga menjadikan budaya dan peradaban Arab tidak begitu berkembang seperti wilayah – wilayah lain yang memiliki kepemimpinan sentral, seperti Romawi dan Persia. Namun uniknya meski letak geografis semenanjung Arab yang berada diantara dua imperium besar yaitu Romawi (Bizantium) dan Persia, wilayah Arab tetap berada pada posisi netral dan dapat dikatakan terbebas dari pengaruh dua kerajaan besar tadi.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan satu contoh tentang gambaran politik Arab pra Islam, yaitu suku Quraisy. Mereka adalah suku yang paling terpandang di Mekah. Hal ini bisa dilihat dari para pembesar suku Quraisy yang banyak berperan dalam urusan kewilayahan Mekah, seperti otoritas untuk memelihara Ka’bah, yang saat itu menjadi monumen berharga oleh masyarakat Mekah.

Oleh karena itu, berbagai jabatan yang berkaitan dengan Ka’bah seperti pemakaian hijabah, rifadah, siyaqah, liwa’ dan qiyadah merupakan sebuah jabatan yang terpandang. Tentunya merupakan suatu kehormatan jika suatu suku dapat mendelegasikan orang-orangnya untuk berkontribusi dalam merawat Ka’bah.

Kondisi politik di wilayah pra-Islam erat kaitannya dengan pembahasan nasab. Karena pada dasarnya terdapat tiga garis keturunan besar yang menjadi cikal bakal orang Arab. Yiatu: Ba’idah, ‘Aribah dan Musta’ribah.

Pertama adalah Arab bai’dah, secara kronologis, Arab Ba’idah adalah kaum Arab kuno yang telah punah beserta data detail dari bagaimana kondisi sosialnya dan sistem politiknya. Arab Ba’idah memiliki beberapa kaum, di antanya kaum ‘Ad, Tsamud, Thasm, Judais, Imlaq.

Kemudian garis keturunan yang kedua adalah Arab ‘Aribah, mereka adalah kaum yang berasal dari jalur keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin al-Qahthan yang dalam term sejarah dikenal dengan suku Qahthaniyyah.

Secara geografis, Arab Aribah tumbuh di wilayah Yaman yang kemudian berkembang menjadi beberapa kabilah dan marga. Terdapat dua kabilah besar Arab Aribah/Qahthan yang populer dalam berbagai literatur sejarah. Dua kabilah tersebut adalah Kahlan dan Himyar.

Terakhir adalah kaum Arab Musta’ribah yang merupakan keturunan dari nenek moyang mereka yaitu Nabi Isma’il AS. Dalam term sejarah suku ini juga dikenal dengan Arab Adnaniyyah.

Dari banyaknya penjelasan mengenai garis keturunan bangsa Arab di atas bisa disimpulkan bahwa adanya sifat fanatik, rasial, loyalitas akan suatu suku dan kabilah ternyata punya pengaruh dalam membentuk sistem politik. (AN)