Wabah dalam Peradaban Islam (2): Tafsir Burung Ababil sebagai Pandemi yang Menewaskan Pasukan Abrahah

Wabah dalam Peradaban Islam (2): Tafsir Burung Ababil sebagai Pandemi yang Menewaskan Pasukan Abrahah

Sebagian tafsir menyebut burung ababil adalah wabah Yustinianus, meluluhlantakkan pasukan gajah Abrahah yang menyerbu Makkah.

Wabah dalam Peradaban Islam (2): Tafsir Burung Ababil sebagai Pandemi yang Menewaskan Pasukan Abrahah

Tak ada wabah yang bertahan lebih lama ketimbang pandemi Yustinianus. Ia muncul 30 tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad, menyaksikan pergantian empat khalifah, berada di sisi kebangkitan dan keruntuhan Dinasti Umayyah. Bahkan bagi Michael G Morony (Plague and the End of Antiquity, 2007), wabah ini masih menyebar hingga abad kesembilan Masehi atau masa Dinasti Abbasiyah.

Baca Wabah dalam Peradaban Islam (1): Wabah Yustinianus, Kejatuhan Romawi yang “Melahirkan” Islam

Wabah Yustinianus pada satu sisi menghadiahi kemunculan dan kemenangan Islam di tengah tatanan dunia lama, namun sekaligus menjadi wajah yang terus menghantui perkembangannya. Sevket Pamuk dan Maya Shatzmiller dalam “Plagues, Wages, and Economic Change in the Islamic Middle East, 700-1500” (dalam the Journal of Economic History, Vol. 74, No. 1, 2014: 209) menunjukkan demografi kota-kota besar Islam yang terpapar wabah ini dalam waktu yang cukup lama.

Bermula di Mesir, wabah ini datang dari tahun 541-544, kembali lagi pada 618-619, 638-639, 669-673, 683-687, 688-689, 713-715, 724-726, 732-735, dan 743-744. Di Syria dan Palestina mulai masuk pada 541-544, 588-561, 590-592, 597-6001, 626-628, 639, 669-673, 683-687, 698-700, 704-706, 713-715, 718-719, 724-726, 743-744, 748-750, 841-843. Irak bagian selatan mulai terdampak dari tahun 558-561, 628, 639, 669-671, 673, 683-689, 698-700, 704-706, 718-719, 724-726, 743-745, 749-750, 773-774, dan 841-843. Iran dengan sedikit pengecualian, merupakan kota dengan waktu terpapar lebih sedikit, yakini dari tahun 541-544 dan tahun 626-628.

Dalam buku-buku babon sejarah Islam, wabah ini hadir dengan berbagai nama. Michael W. Dols dalam “Plagues in Early Islamic Histroy,” menyebut setidaknya ada lima nama dalam sejarah Islam awal yang disematkan kepada wabah ini: wabah Sirawaih, wabah Amwas, wabah al-Jarif, wabah al-Fatayat, dan wabah al-Asyraf.

Wabah ini disebarkan oleh tikus hitam (Rattus rattus) yang menumpang di kapal-kapal gandum dan kereta barang. Afrika Utara, pada abad kedelapan, adalah sumber utama pangan, termasuk sejumlah komoditas seperti kertas, minyak, gading, dan budak. Sumber-sumber pangan itu lalu ditumpuk dalam sebuah gudang luas, tempat perkembangbiakan kutu dan tikus.

Tikus mungkin pemakan segala jenis makanan, namun mereka sangat suka terhadap gandum. Tikus juga tidak mungkin melakukan perjalanan lebih dari 200 meter tempat ia dilahirkan. Namun begitu menaiki kapal gandum dan kereta barang, tikus-tikus itu menyebar dan membawa wabah ke seluruh belahan dunia.

Perubahan iklim terjadi di mana-mana: salju tidak biasanya turun di musim panas, suhu bumi tiba-tiba menjadi lebih dingin, tak ada sinar matahari. Ini terjadi selama puluhan tahun. Disertai ketegangan sosial, perang.

Cuaca dingin memengaruhi produksi pangan, menyebabkan kekurangan makanan. Orang-orang yang lapar, dingin dan kelelahan bermigrasi. Peperangan meluas. Waktu dan tempat yang sangat pas untuk melahirkan wabah endemik.

Ketika menjangkiti seseorang, wabah Yustinianus hanya sebatas demam. Selang beberapa hari bagian-bagian tertentu membengkak. Bagian itu lalu melepuh berwarna hitam, penuh nanah. Di saat itulah seseorang baru menyadari keberadaan virus Yestinia pestis di dalam tubuhnya. Namun itu sudah terlambat. Tubuh yang melepuh menandakan virus ini telah menjalar dan merusak satu tubuh. Dalam beberapa waktu singkat, dia akan mati. Bagi penderita yang sedikit beruntung, akan mengigau dan paranoid. Namun mereka tetap akan bunuh diri.

Tubuh yang tiba-tiba bengkak dan melepuh, menghitam, penuh nanah; bukankah ini penggambaran yang sama namun lebih kiasi dengan tubuh-tubuh layaknya daun-daun yang dimakan (ulat) setelah dilempari batu dari tanah liat yang terbakar? Pengepungan Makkah oleh Abraham al-Asyram, yang direkam Surat al-Fiil, memang benar adanya; karavan berkendara gajah memang benar adanya; tetapi dari manakah segerombolan burung ababil, sekuat apa paruh mereka membawa batu yang mampu melepuhkan kulit?

Ibnu Ishak dalam al-Sirah al-Nabawiyah lebih memilih untuk menafsirkannya sebagai wabah, bahwa “Awal munculnya penyakit demam (campak?) dan cacar yang menyeluruh di tanah Arab terjadi di tahun itu (tahun gajah).” Sementara beberapa lainnya mengindikasikan bahwa burung Ababil memang benar adanya. Dia dikirim oleh Allah dari neraka dengan membawa batu-batu kerikil yang panas dan mampu melepuhkan kulit.

Pendapat Ibnu Ishak tentang burung ababil sejalan dengan wabah yang sedang menyebar di Eropa pada abad keenam. Sekitar tahun 570 (tahun gajah juga pada tahun 570) cacar menjadi ancaman serius di penjuru Eropa. Namun kita tidak bisa menyimpulkan apakah memang itu benar-benar cacar atau salah satu gejala penyebaran wabah yang lebih mematikan.

Baca juga Makna Thairan Ababil dalam Surat Al-Fiil: Virus Menular atau Burung? 

W. Montgomery Watt hadir dengan fakta yang lebih detail. Dalam Muhammad at Mecca (1939: 14), ia menjelaskan bahwa gajah yang dikendarai pasukan Abrahah didatangkan dari Ethiopia. Dalam versi lain, wabah Yustinianus tidak lahir dari pegunungan Tian Shan, melainkan Ethiopia, yang mulai memasuki Arab bersamaan dengan ekspansi orang-orang Ethiopia ke sana. Gajah-gajah itu, selain dikendarai oleh pasukan, juga menjadi tempat penyebaran kutu dan tikus dalam karung-karung gandum.

Di sisi lain, Arab bagian barat, khususnya dataran tinggi Asir, telah lama menderita wabah mematikan. Pendapat ini dia sarikan dari sebuah kitab yang ditulis oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Ma Rawahu al-Wa’un fi Akhbar al-Tha’un.

Sesungguhnya telah banyak penafsiran burung ababil dalam satu surat pendek ini. Dari zaman ketika orang-orang Islam mulai belajar bertanya hingga hari ini. Namun, di samping seluruh pendapat itu, satu hal yang pasti: kita mulai mengidentifikasi teks-teks keagamaan bukan sekadar teks yang terberi.

Teks-teks keagamaan mungkin, dengan penuh majas yang tersebar di mana-mana, bisa jadi tidak hanya mengabarkan suatu fantasi dan tak terjangkau akal, tetapi memberikan fakta-fakta kesejarahan. Penafsiran ini berkembang hingga sekarang, namun salah satu titik penting yang kelak mengubah cara pandang kita berada di masa Umar bin Khattab, juga dalam masa wabah mematikan. (bersambung)