Pembahasan tentang alam gaib selalu menarik untuk diperbincangkan, sebab alam gaib adalah hal yang tetap menjadi misteri. Jika seorang suami telah meninggal dunia lalu selang beberapa tahun istrinya juga meninggal dunia; apakah di sana sepasang suami istri tersebut dapat bertemy? Atau orang tua yang meninggal terlebih dahulu kemudian selang beberapa puluh tahun anaknya baru menyusul, apakah orang tua dan anak tersebut dapat berkumpul kembali? Atau sepasang sahabat karib yang meninggalkan dunia dengan jarak beberapa tahun; dapatkah mereka saling berkunjung dan saling mengingat ketika di sana? Bahasa sederhananya, Apakah ruh-ruh orang yang telah wafat dapat saling bertemu, saling berkunjung, dan saling mengingat?
Pertama, mari dimulai dengan kutipan dari mukjizat yang paling agung dalam surat an-Nisa’ ayat 69, “Dan siapapun yang menaati Allah dan Rasul-Nya akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, orang-orang Shiddiqin, orang-orang yang meninggal dalam keadaan Syahid, dan orang-orang Sholeh. Dan mereka semua adalah sebaik-baik teman.”
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia-manusia yang patuh terhadap Pemilik Semesta dan utusan-Nya akan dapat berjumpa dan berkumpul bersama dengan para Nabi terdahulu, orang-orang yang diberi gelar siddiq oleh Allah, orang-orang yang meninggal dalam keadaan syahid, dan orang-orang yang beramal baik semasa hidupnya.
Hal yang perlu digarisbawahi dari ayat ini adalah ruh-ruh yang dapat saling bertemu adalah ruh yang semasa hidupnya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, baik yang menemui maupun yang ditemui.
Kedua, berdasarkan ayat di atas, Ibnul Qoyyim Al Jauzi (memiliki nama asli Imam Syamsuddin Abi Abdillah Ibnil Qayyim Al Jauziyyah) di dalam karyanya yang bertajuk ar–Ruh, menjelaskan bahwa jenis ruh terbagi menjadi dua. Pertama adalah ruh yang mendapatkan adzab (siksa) dan yang kedua adalah ruh yang mendapatkan ni’mah (kenikmatan kubur).
Ruh yang mendapatkan adzab tidak bisa berjumpa dan mengunjungi ruh lainnya, sebab ia disibukkan dengan siksaan yang menimpanya. Berbeda dengan ruh yang mendapatkan nikmat, ia bebas (tidak dikurung dalam penyiksaan) berjumpa dan berkunjung dengan ruh-ruh lain yang sama-sama mendapatkan nikmat. Setiap ruh akan berteman dengan ruh yang memiliki intensitas amal baik yang sepadan. Ruh nabi Muhammad adalah teman yang paling utama atau yang paling tinggi derajatnya (Rofiqul A’la).
Ketiga, dalam sebuah riwayat dari Masruq menyebutkan bahwa para sahabat Nabi Muhammad berkata, “Tidak seharusnya kami berpisah denganmu Ya Rasulallah. Ketika Engkau wafat kemudian Engkau di angkat ke langit, maka kami tidak akan bisa melihat Engkau lagi.”
Dari rintihan para sahabat Nabi tersebut, Allah kemudian menurunkan surat an-Nisa’ ayat 69 di atas. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat nabi akan dapat berjumpa lagi dengan Nabi Muhammad ketika meninggal dengan catatan tetap bertaqwa kepada Allah dan mematuhi syariat Rasul-Nya.
Riwayat lain dari hadis Abdullah bin Mas’ud tentang cerita Isra’ dan Mi’raj, disebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad di-isra’-kan oleh Allah, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa yang keduanya telah wafat, serta Nabi Isa. Mereka kemudian saling mengingat tentang hari Kiamat. Hadis ini menunjukkan bahwa ruh-ruh orang yang telah meninggal dapat saling mengingat, seperti contoh Nabi Ibrahim dan Nabi Musa di atas.
Jadi memang benar bahwa ruh-ruh orang yang telah wafat dapat saling bertemu, saling berkunjung, dan saling mengingat. Ruh-ruh tersebut dapat saling bertemu karena rindu, dapat saling berkunjung karena rasa sayang yang tak berujung, dan dapat saling mengingat karena ikatan batin yang saling mengikat. Dengan catatan jadilah ruh yang mendapatkan nikmat, bukan ruh yang mendapatkan laknat!
Wallahu A’lam