Nalar Kebudayaan dan Keagamaan Manusia Indonesia

Nalar Kebudayaan dan Keagamaan Manusia Indonesia

Pada debat terakhir, 4 Februari lalu sebenarnya ada tema soal pendidikan, kebudayaan dan SDM, tetapi tema yang “abstrak” soal ruh, nalar atau pola/struktur kebudayaan (episteme) manusia Indonesia tidak diberi porsi yang besar…

Nalar Kebudayaan dan Keagamaan Manusia Indonesia

Sepanjang riuh rendah perdebatan calon presiden/calon wakil presiden yang dimulai sejak debat pertama pada 12 Desember 2023 hingga laga terakhir pada 4 Februari 2024 tak ada satu pun kandidat yang mendiskusikan secara serius soal “ruh”, “jiwa” atau “nalar” manusia Indonesia yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Tema-tema debat umumnya soal “pembangunan fisik”: kesehatan, ekonomi, hankam, geopolitik, infrastruktur, tata kelola pemerintahan, penguatan demokrasi dan seterusnya.

Pada debat terakhir, 4 Februari lalu sebenarnya ada tema soal pendidikan, kebudayaan dan SDM, tetapi tema yang “abstrak” soal ruh, nalar atau pola/struktur kebudayaan (episteme) manusia Indonesia tidak diberi porsi yang besar, padahal ruh dan nalar itulah yang menggerakkan tubuh bangsa ini untuk menjadi negara yang kompetitif dan maju atau sebaliknya. Nalar adalah “panduan, dasar pemikiran atau landasan umum”.

Setiap bangsa memiliki karakter kebudayaan yang spesifik, entah yang bersifat fisikal-material atau non-material. Tetapi artikel ini lebih merujuk kepada nalar sebagai episteme, semacam semi Foucaltian, dalam arti struktur berpikir satu masyarakat yang tertanam dalam periode panjang yang kelak menjadi ciri khas peradabannya, yang dalam tempat dan waktu tertentu, memproduksi pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, sains, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sejarah sebagai kumpulan peristiwa adalah hasil “pencapaian nalar”. Untuk melihat episteme kebudayaan manusia Indonesia, kita perlu melakukan perbandingan dengan apa yang disebut nalar Arab dan nalar Eropa.

 

Nalar Arab Jabirian

Potret kontemporer nalar masyarakat Arab, terutama Arab Timur (masyriqi) dalam periode yang sangat panjang, dengan sangat baik dapat dibaca dari seorang epistimolog Maroko kenamaan Muhammad Abid Jabiri, dalam 4 Volume masterpiece-nya, “Kritik Nalar Arab (1982)”. Menurut Jabiri, nalar Arab dibangun di atas tiga episteme besar dengan masing-masing kluster yang cukup kompleks. Pertama, nalar keagamaan masyarakat Arab (al-‘aql al-ma’rifi al-‘arabi); kedua, nalar politik Arab (al-‘aql al-siyasi al-‘arabi) yang dalam terminologi Jabiri, ditentukan oleh qabilah (fanatisme kesukuan atau politik identitas tribalisme); ghanimah (ekonomi tributair modal upeti dan rente) dan ‘aqidah (ideologi keagamaan). Sementara episteme ketiga adalah nalar etika Arab (al-‘aql al-akhlaqi al-‘arabi).

Jabiri memberi perhatian serius pada nalar keagamaan yang terdiri atas tiga episteme: bayani (episteme bahasa), ‘irfani (episteme genosis/mistik), dan burhani (episteme rasionalis- demonstratif). Menurut Jabiri, nalar bahasa berasal dari kebudayaan Arab sendiri, tepatnya berakar pada masyarakat Arab badawi. Masyarakat inilah yang menciptakan bahasa Arab asli sekaligus pencipta “dunia orang Arab”. Semakin dekat kosakata dan terminologi Arab kepada bahasa Arab badawi yang primitif dan asing, maka semakin murni dan otentiklah makna bahasa Arab itu. Padahal dunia Arab badawi sangat terbatas, sempit, kering, miskin, dan bertentangan dengan masyarakat urban yang berperadaban (hadhari). Dari pemahaman keagamaan, nalar bayani adalah nalar teks (nalar tekstual), nalar yang bergantung dan mengambil kehidupan dari teks. Teks menjadi penguasa yang berkuasa mengarahkan pemeluknya melakukan apa saja seperti yang tertulis di dalam teks.

Jabiri dan para sarjana Muslim tercerahkan mengkritik keras model keagamaan yang tekstual dalam tiga hal: (1) keberagamaan tekstual cenderung memiliki pandangan “oposisi biner” atau hitam-putih, baik-benar, surga-neraka, mukmin-kafir. Tidak ada jalan ketiga (the third way); (2) keberagamaan tekstual seringkali mengabaikan konteks, padahal teks muncul selalu dalam konteks yang mengitarinya; (3) keberagamaan tekstual selalu berorientasi pada masa lalu, dalam arti yang benar dan otentik ada pada masa lalu. Kebiasaan merujuk kepada masa lalu menyebabkan kesulitan melepaskan diri dari ketergantungan sejarah (Abdul Mukti Ro’uf  2018). Dalam kehidupan sosial-keagamaan model keberagamaan tekstual yang ekstrim dan tidak pada tempatnya sangat berbahaya.

Sayangnya, dalam dua dekade terakhir sebagian kecil Muslim Indonesia malah senang menganut model keberagamaan tekstual yang kaku, tertutup, kurang mendalam, tidak kontekstual dengan budaya masyarakat Indonesia, padahal di dunia Arab sendiri model itu sudah sering dikritik dan, terutama di Arab Saudi, dalam sistem reformasi Muhammad Bin Salman, model keagamaan seperti itu sedang “dimusuhi”. Jika nalar bayani cenderung tekstual, maka nalar ‘irfani (sufisme), menurut Jabiri, adalah nalar yang berorientasi pada kehidupan akhirat karena nalar ‘irfani memperkuat aspek irasionalitas agama. Pada ‘irfani, akal dicurigai bahkan digugat peran dan posisinya dalam memahami agama.

Dari tiga nalar keagamaan itu, Jabiri jelas menunjukkan komitmennya pada nalar burhani (rasionalisme), yakni nalar yang bertumpu pada rasio atau akal budi yang bekerja melalui dalil-dalil logika (Aristoteles dan Ibn Rusyd). Rasio inilah sumber pengetahuan. Teks-teks agama dapat digunakan oleh nalar burhani jika sesuai dengan logika rasional. Dengan kata lain, jika nalar bayani bersifat rasional-tekstualis atau dari teks menuju realitas, sementara nalar ‘irfani bersifat sufistik-intuitif, maka nalar burhani bersifat konstektual-historis atau dari realitas menuju teks jika teks itu sesuai dengan logika rasional. Nalar burhani inilah, bagi Jabiri (yang mengambil inspirasinya dari Arab Barat [maghribi, Maroko]) yang objektif-saintifik, relevan dan dapat menjadi modal bagi kemajuan peradaban Arab-Islam (Mukti Ro’uf  2018).

 

Nalar Eropa

Nalar orang Eropa merujuk kepada kebudayaan bangsa Yunani dan Romawi, yang melahirkan dua sistem besar pengetahuan, mitos dan logos (K. Bertens 2018). Mitos, sebagai hasil refleksi orang-orang Yunani dan Romawi dalam memahami misteri semesta, selalu dalam posisi sirkulatif: ada periode panjang ketika mitos dianggap positif, lalu dipandang negatif dan primitif, tetapi dimunculkan kembali sebagai satu pandangan dunia yang bermanfaat, terutama di era ketika dunia di ambang kehancuran karena kerusakan alam dan perubahan iklim.

Sementara logos, yang berarti rasio atau akal budi, dianggap positif dalam diskursus filsafat Barat dan dipandang sebagai elan transformatif dalam menjelaskan realitas. Ketegangan kreatif antara mitos dan logos pada bangsa Eropa klasik yang akhirnya dimenangkan oleh nalar logos di masa Eropa modern, bagi sejarawan klasik Belanda, Profesor Jan Romein (1954), adalah karena orang Eropa melakukan “penyimpangan” dari pola umum kemanusiaan. Mereka memiliki pola pikir berbeda dari umumnya manusia saat itu. Bentuk penyimpangan atau deviasi itu karena mereka memiliki “jiwa” atau ruh yang menjadi etos pandangan dunia mereka, yaitu “ketegangan batin”, tepatnya orang-orang Eropa senantiasa gelisah, bukan dengan dunia fenomenal eksternal, apakah yang ilahi atau yang transenden, tetapi terutama mereka gelisah karena harus memahami ‘hakikat manusia’ itu sendiri. Dari kegelisahan dan kuriositas ini, muncullah pandangan filosofis bahwa “manusia adalah ukuran segala-galanya”, satu periode Aufklärung (pencerahan) yang memberi posisi dan kepercayaan luar biasa kepada akal budi (reason, nalar).

Tetapi, akal budi yang inheren di dalam manusia yang menjadi nalarnya, di era modern, diperdebatkan secara serius oleh para filusuf Eropa. Misalnya, selama beberapa abad nalar orang Eropa dikuasai oleh logosentrisme Rene Descartes yang membedakan antara res cogitans (pikiran) dan res extansa (realitas). Descartes terkenal dengan adagiumnya, cogito ergo sum, “aku berpikir maka aku ada”, artinya ke-Ada-an manusia selalu ditentukan oleh pikirannya (logos). Pikiran dulu yang utama, baru diikuti “yang ada”.

Dengan kata lain, pikiran adalah pusat semua eksistensi. Segala sesuatu yang berada di luar diri manusia dianggap sebagai manifestasi dari pikiran. Pikiran-lah yang menjadi tolok ukur bagi keberadaan seluruh fenomena eksternal (Muhammad Al-Fayyadl 2005). Logosentrisme ini disebut juga sebagai “metafisika Barat”. Doktrin ini dikritik secara tajam oleh Martin Heidegger, filusuf Jerman, dan terlebih lagi oleh Jacques Derrida, filusuf Prancis. Heidegger misalnya mempertanyakan mengapa metafisika Barat lebih fokus pada “pikiran” (cognito), bukan kepada “Aku”-nya. Karena itu, Heidegger mengajak audiens Barat, terutama manusia Eropa, untuk menekankan kembali fungsi Ada (ontos) yang selama ini dilupakan atau dimandulkan akibat dominasi rasio.

Untuk proyek mengkritik logosentrisme ini, Heidegger mengajukan terminologi yang ia sebut “destruksi”. Kelak, Derrida mengevaluasi, mengkritik dan menyempurnakan proyek Heidegger itu dengan proyek yang lebih radikal: dekonstruksi. Menurut Derrida, Heidegger, dalam mengkritik logosentrisme, seperti ditulis Al-Fayyadl: “hanya meruntuhkan bangunan dengan menggunakan batu yang sudah tersedia dalam bangunan itu”. Tetapi Derrida, dengan “dekonstruksi”, kata Al-Fayyadl: “membongkar tanahnya sekalian, dengan cara meledakannya dan membetot orang secara brutal keluar serta mencanangkan pemutusan hubungan total” (Al-Fayyadl 2005). Warna dunia yang terang karena akal budi, rasionalisme, empirisisme, humanisme, eksistensialisme dan saintisme (dengan berbagai aliran dan varian-varian yang kompleks di dalamnya), di samping keindahan seni, filsafat dan spiritualitas di masa Renaisans, menjadi kata-kata kunci untuk nalar Eropa modern.

 

Nalar Keagamaan

Kita, manusia Indonesia tidak punya pengalaman seperti bangsa Eropa: mengalami masa Renaissans, masa pencerahan (Aufklärung) yang berakibat pada ideologi sekularisme dan pemisahan serius antara agama dan negara. Juga kita tidak punya pengalaman pergumulan filosofis yang sangat serius seperti terjadi pada  Descartes, Immanuel Kant, August Comte, Karl Marx, Max Weber, Edmun Husserl, Marti Heidegger, Jean Paul Sartre, Albert Camus, Michel Foucalt, Derrida hingga para filusuf sosial Pascamodernisme seperti Horkheimer, Adorno hingga Jurgen Habermas. Juga kita tidak memiliki nalar keagamaan yang sangat kental model orang-orang Arab (bayani, ‘irfani dan burhani) dalam 1500 tahun terakhir.

Manusia Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kuat sekali dengan budaya dan kebudayaan, dan agama (spiritualitas) yang mereka temukan, hayati dan gumuli, sejak era pra Masehi, diperlakukan dalam konteks kebudayaan itu. Karena itulah, menurut Komaruddin Hidayat (2023) DNA orang Indonesia adalah spiritualitas dan pluralitas. Spiritualitas dan religiusitas adalah nalar agamanya, sedangkan pluralitas sebagai manifestasi dari falsafah Bhineka Tunggal Ika adalah kebudayaan yang melahirkan “nalar bermasyarakat dan bernegara”: bahwa kita adalah negeri yang sangat plural (majemuk) sejak dari sono-nya. Itu sudah takdir politis, sosiologis, antropologis, dan teologis. Tesis ini diamini oleh hampir semua sarjana humaniora dan ilmu-ilmu sosial Indonesia dan Indonesianis.

Seorang profesor ahli Indonesia dari Australia dalam sebuah perbincangan menyebut Indonesia sebagai hub (perjumpaan) dari berbagai paham keagamaan dan kebudayaan: monoteisme, politeisme, animisme, dinamisme dan akhirnya sinkretisme. Artinya nalar dan karakter manusia Indonesia adalah “pluralisme” (dengan berbagai pengertian dan alirannya).

Dalam nafas yang sama, Profesor Notonagoro (1905-1985), seorang akademisi ilmu hukum dan pemikir Indonesia dari UGM Yogyakarta, ketika mendiskusikan relevansi falsafah Pancasila bagi manusia Indonesia, menyatakan bahwa manusia, termasuk manusia Indonesia, pada hakikatnya adalah monopluralis, maksudnya makhluk yang memiliki banyak unsur kodrat (plural), tetapi merupakan satu kesatuan utuh (mono). Konteks Notonagoro adalah hubungan manusia Indonesia dengan falsafah Pancasila tentang susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat (plural), tetapi konsep “monopluralis” dapat juga dipahami bahwa manusia Indonesia (nusantara) memiliki kepercayaan monoteistik dalam beragama tetapi sekaligus percaya pada eksistensi roh-roh lokal (animisme) dan kekuatan-kekuatan pada benda bertuah (dinamisme).

Istilah “monopluralis” kiranya memiliki makna yang mirip dengan konsep “sintesis mistik” dari Merle Calvin Ricklefs, sejarawan ahli Jawa Islam asal Amerika. Sintesis mistik berarti orang Jawa, atau bisa lebih umum, orang Nusantara, yang mempraktikkan syariat Islam tetapi masih tetap mempercayai tradisi mistik Kejawen dari leluhur Jawa pra-Islam, semacam “muslim abangan” atau “muslim sinkretis”. Dalam pengertian ini, alam pikir manusia Indonesia, sejak dulu hingga kini, tak mungkin dilepaskan dari agama: sejak sebelum Masehi hingga era Hinduisme, Budhisme, Kejawen, Konfusianisme, Islam, Kristen, apakah dianut secara setia kepada satu agama saja atau bersama-sama secara sinkretis.

Jika mengikuti tiga episteme Jabirian di atas, nalar keagamaan orang Indonesia juga tekstual, dalam arti merujuk kepada teks-teks keagamaan Hindu, Buddha, penghayat kepercayaan dan seterusnya, dan hal itu sesuatu yang wajar. Nalar Muslim Indonesia yang Sunni adalah hasil racikan dari tiga teks Asy’ari (teologi), Syafi’i (hukum) dan Ghazali (filsafat etika). Tiga ulama itu adalah “imam besar” Islam Asia Tenggara yang berbeda dengan nalar Muslim Arab di abad pertengahan: Muktazilah (teologi), Hanafi (hukum) dan Ibn Rusyd (filsafat).

Nalar rasional-filosofis ini ingin dihidupkan lagi oleh Abid Jabiri. Meskipun alam pikir Muslim Sunni Indonesia tidak kuat pada rumusan filosofis, tapi kuat pada satu hal: harmoni (religious harmony). Secara umum, selama berabad-abad triumvirat Sunni Asy’ari, Syafi’i dan Ghazali menyuburkan Islam yang moderat dan damai. Karena itulah Kementerian agama sejak 2017 meluncurkan proyek “moderasi beragama” (MB): cara pandang dan sikap keagamaan yang moderat, seimbang, proporsional, tidak ekstrem menjadi kanan-fundamentalis radikal dan ekstrem kiri liberal. Tetapi proyek MB, meminjam Filsafat Ilmu, hanya kuat pada level aksiologis (praksis).

Epistemologi Islam yang telah kokoh sejak abad pertengahan yang memunculkan Islam rasional, progresif dan kosmopolitan tidak menonjol pada proyek MB. Muslim Indonesia pernah memiliki para pembaharu hebat seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Munawir Syadzali dan Syafi’i Ma’arif. Dengan bantuan mereka, nalar Islam Sunni Indonesia tidak hanya “tekstual-moderat” tetapi juga dapat menjadi progresif, rasional-kontekstual, dan kosmopolitan, yang dalam istilah Jabiri: nalar bayani yang burhani.

 

Nalar kebudayaan

Nalar keagamaan tak bisa dipisahkan dari karakter kebudayaan. Bahwa manusia Indonesia dianugerahi kekayaan kebudayaan yang luar biasa telah diakui secara aksiomatik. Karena itu, penting disimak bahwa kekayaan kebudayaan itu seharusnya memunculkan “nalar budaya” yang tidak tekstual, tidak bersifat oposisi biner atau tidak hitam-putih, bahwa yang “benar harus putih dan yang salah pasti hitam”. Terdapat kompromi “nilai ketiga” atau “jalan ketiga”. Qusthan Abqary Firdaus, ahli filsafat UIN Jakarta alumni Universitas Melbourne Australia, membuat ulasan menarik soal ini dalam artikelnya, What is this thing called Adat Logic? (2022).

Menurut Qusthan, adat-istiadat atau tradisi memiliki akar yang sangat kuat pada masyarakat Indonesia. Jika terjadi konflik antara agama (Islam) dengan adat seringkali yang dipilih adalah adat. Tetapi hal yang paling menarik dari adat Indonesia adalah “nilai ketiga” atau “jalan ketiga” sebagai jalur alternatif dari dua entitas yang kontradiktif. Qusthan mendiskusikan teori Aristoteles tentang excluded middle dan teori dialetheia milik Profesor Graham Priest. Menurut filusuf Aristoteles, dari dua hal yang kontradiktif, tidak mungkin dua-duanya benar. Hanya satu saja yang benar. Dengan prinsip excluded middle (yang di tengah harus dikeluarkan), maka tidak ada “nilai/jalan ketiga”, karena hanya satu yang benar dan satu lagi salah (jika terdapat dua hal kontradiktif).

Sebaliknya, dialetheia menawarkan pandangan “nilai/jalan ketiga”: dari dua kontradiksi mungkin saja dua-duanya benar. Dalam gambaran Priest, dialetheia adalah keadaaan yang tidak harus pasti, apakah berada di posisi A atau sebaliknya, B. Meski demikian, dialetheia tidak berarti harus selalu berada di tengah-tengah di antara dua pihak yang bertentangan. Dialetheia semacam model “trivalensi” dari model “bivalensi” yang menegaskan prinsip non-kontradiksi Aristotelian. Qusthan memberi contoh adat Jawa dan Minangkabau. Dalam kedua adat itu ada yang berubah dan ada adat yang tidak berubah. adat berubah karena perkembangan zaman. Pada masyarakat Minangkabau, menurut Qusthan, adat sangat dominan, bahkan hingga mempengaruhi keputusan pengadilan dan pemerintahan.

Dalam beberapa hal, misalnya hukum waris, masyarakat lebih memilih jalan adat daripada hukum Islam. Dulu, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama terkemuka yang tinggal di Mekkah, pernah membuat fatwa yang melarang adat waris Minangkabau. Namun sayang, fatwa itu tidak berhasil menghapuskan hukum adat. Begitu kokohnya hukum adat. Tetapi justru kontradiksinya, kata Qusthan, orang-orang  Minangkabau tetap merasa bangga bahwa ulama hebat tersebut adalah orang Minangkabau. Di pihak lain, fleksibilitas dan keluwesan adat dan tradisi Jawa dan Minangkabau terus berlangsung seiring dengan perubahan-perubahan. Syair keluwesan dan kesiapan menerima perubahan ditunjukkan oleh pepatah Minangkabau berikut ini:

Sakali air [aie] gadang, sakali tapian baranjak,

Sakali rajo baganti, sakali adat [adaik] barubah”.

Keseluruhan studi Qusthan menunjukkan bahwa nalar adat pada masyarakat Jawa dan Minangkabau tidak melulu bersifat hitam putih, tidak selalu konsisten dan tidak menolak kontradiksi, tetapi selalu ada kompromi nilai ketiga. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, rupanya model kompromi “jalan ketiga” sering menjadi jalan penyelesaian dari konflik budaya, sosial, politik dan keagamaan masyarakat Indonesia. “Win-win solution” seringkali menjadi nalar dan praktik sosial yang dianggap menguntungkan semua pihak.

Calon pemimpin bangsa ini (periode 2024-2029) tidak semata memiliki nalar yang terang dan menerangi, tetapi juga harus benar-benar memikirkan strategi dan rekayasa sosial: strategi kebudayaan dan keagamaan yang tidak hanya tepat, tetapi juga harus mendorong SDM manusia Indonesia yang unggul.

(AN)