Hampir seluruh stasiun televisi memiliki program berita Haji untuk menyambut musim haji 1440 H, yang diisi dengan berita keberangkatan para jemaah haji dari berbagai embarkasi. Dari suara isak tangis anak yang tidak mau berpisah dengan orang tuanya berangkat haji hingga kisah tentang perjuangan beberapa jemaah haji yang berusia lanjut. Selain itu, berita yang cukup sering muncul adalah kisah perjuangan para jemaah haji memenuhi cita-citanya berangkat ke tanah suci.
Beberapa orang yang berangkat haji di setiap tahun ada yang tergolong di kondisi ekonomi kelas bawah. Kehidupan mereka kemudian sering dikomodifikasi oleh media sebagai berita yang dianggap sebagai penggugah bagi masyarakat yang lain. Pemberitaan yang mengkomodifikasi dan mengeksploitasi ketidakadilan sosial memang lebih menarik bagi media untuk menarik rating pemirsa.
Perjuangan mengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga bertahun-tahun dengan berbagai kondisi dan cerita yang mengelilinginya memang dimiliki seluruh jemaah yang berangkat ke tanah suci. Asumsi tentang kemiskinan adalah hal yang seksi dalam setiap berita, selalu dijadikan alasan untuk mengeksploitasi kondisi jemaah miskin. Padahal, jika telisik lebih dalam dari semua cerita para calon jemaah haji yang memiliki kondisi sosial dan ekonomi kurang beruntung malah lebih seru atau malah bisa dirasakan lebih religius ketimbang mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih kuat. Mengapa bisa begitu?
Jika kita mendalami pengalaman calon jemaah haji (CJH) yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang baik, maka kita akan menjumpai keseruan yang lebih religius di mana doa dan kerja keras beririsan cukup mesra dan diiringi sedikit bumbu kepasrahan juga keputusasaan. Tidak berhenti di sana, pengalaman CJH tidak hanya soal mengumpulkan pundi ekonomi tapi juga soal harapan dan kerinduan yang tidak bisa dipenuhi kapan saja, seperti mereka yang bisa wara-wiri ke tanah suci karena kemampuan ekonomi yang lebih baik.
Pengalaman jemaah tidak berhenti pada soal perjalanan belaka, tapi juga bersentuhan dengan beragam hal seperti pengalaman harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer karena penempatan haji reguler yang cukup jauh dari masjidil haram. Penempatan yang jauh, karena ketidakmampuan membayar hotel yang mahal, sebenarnya berpotensi memberikan pengalaman lebih seru dan religius ketimbang mereka yang menempati hotel-hotel mewah di sekeliling masjidil haram.
Pengalaman menjalani prosesi haji tidak terpaku pada persoalan ibadah belaka. Coba saja kita berkunjung kepada mereka yang baru saja datang dari tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, cerita mereka tidak hanya soal pengalaman beribadah namun tidak sedikit dibumbui berbagai pengalaman selama berada di tanah suci. Pengalaman berada di tanah suci inilah yang bagi seluruh jemaah lebih banyak mendominasi cerita jemaah.
Bagi mereka yang ditempatkan di penginapan yang jauh, hotel yang kurang bagus, kemah yang standar pemerintah, kemah yang jauh dari pelontaran dan lain sebagainya membuat cerita pengalaman haji dari mereka kurang mampu secara ekonomi lebih seru. Pengalaman seperti mencari makan dari para Haji Turis (istilah familiar di masyarakat Banjar untuk menyebut orang yang berdiam di Mekah dan Madinah untuk bekerja sekalian berhaji di sana) atau melihat berbagai macam produk jualan yang ditawarkan dengan godaan harga murah hingga produk jualan yang aneh seperti kadal mesir, hajar jahannam, rumput fatimah hingga pisau asal Rusia.
Pengalaman di atas mungkin tidak didapatkan oleh mereka yang menginap di hotel-hotel mewah dan berbintang di sekitar masjidil haram, karena kehidupan mereka di tanah suci lebih terbatas pada hotel, mall dan masjid. Kehidupan sederhana di sekitar masjidil haram adalah kehidupan masyarakat Arab Saudi yang heterogen dengan berbagai suku, etnis, dan bangsa yang beririsan mesra dengan dengan kondisi kota yang penuh sesak dengan jemaah haji yang bersileweran di jalan-jalan kota.
Jalan-jalan yang dipenuhi dengan semerbak berbagai macam makanan dan warna warni barang-barang KW yang dijual murah melengkapi pengalaman yang bisa menghiasi kisah di saat kedatangan di tanah suci. Kisah perjalanan haji yang penuh dengan kesederhanaan bisa dijadikan awal keberagamaan yang juga sederhana kala datang dari tanah suci. Status sosial yang disandang seorang yang telah melaksanakan haji di kalangan masyarakat ekonomi bawah lebih bersifat sebagai ritus peralihan dari rasa keberagamaan yang masih kurang dalam bingkai kesederhanaan, karena ditempa dari kesederhanaan perjalanan yang dilakukan.
Framing atas kehidupan masyarakat ekonomi kelas bawah yang mampu menjalankan ibadah haji seharusnya tidak lagi menyoal kekaguman melawan tekanan ekonomi. Sebab, ibadah bagi mereka bisa saja bermakna bukan lagi soal prestise ibadah tapi kesederhanaan dalam memandang status hamba Tuhan lebih menonjol. Haji dipandang sebagai tempaan bagi seluruh jemaah haji yang berangkat menjadi hamba yang sederhana dalam memandang ibadah, karena bukan nilai atau banyak ibadah yang dinilai oleh Tuhan tapi keikhlasan menjalankan perintahNya.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin