Terdapat perintah yang jelas bagi seorang laki-laki (suami) kepada istrinya sebagaimana disebutkan dengan tegas didalam Al-Qur’an. Disebut tegas, sebab dalam redaksi yang digunakan menggunakan kata perintah (fi’il amr) dan disambung dengan nun taukid tsaqîlah (huruf yang berfungsi menguatkan). Perintah yang dimaksud adalah untuk memperlakukan istri dengan ma’ruf (wa’âsyirûhunna bi al-ma’rûf, QS. Al-Nisa’: 19).
Nilai dari perintah ini menjadi dasar penting ketika kita hendak membicarakan tema poligami yang oleh sebagian umat islam dikategorikan sebagai ayat yang sudah jelas memperbolehkan poligami, bahkan diantara mereka ada yang sampai menyebutkan bahwa poligami adalah sunnah. Disamping itu juga, nilai ini jarang dikaitkan oleh para pengkaji tafsir secara setara ketika mengkaji ayat poligami. Sehingga penafsiran yang dihasilkan lebih berwajah dogmatis dan problem dalam perspektif kemaslahatan.
Ayat al-Qur’an yang oleh sebagian umat islam menunjukan legalnya poligami adalah QS. Al-Nisa’ ayat 3, yang berbunyi:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Dengan memulai kajiannya terkait ayat ini, Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi membahas dengan sistematis dan teratur. Dalam tafsirnya, Tafsir Al-Sya’rawî Vol. 4, h. 2008, Al-Sya’rawi memberikan gambaran dari awal ayat. Menurutnya, sesungguhnya Allah menghendaki agar tidak menikahi anak yatim yang telah dipelihara dan dirawat, sebab ditakutkan akan terjadi kezaliman. Sehingga tawarannya adalah untuk mencari perempuan lain karena jumlah mereka lebih banyak daripada kuantitas anak yatim yang diurusnya.
Meskipun kesimpulan yang didapat oleh Al-Sya’rawi dari kajiannya tidak menolak adanya poligami, yang perlu menjadi catatan penting adalah menurut Al-Sya’rawi bahwa poligami bukanlah perintah. Menurutnya, poligami hanya diperbolehkan, atau dalam istilah ushul fiqh disebut ibâhah (Al-Sya’rawi, Vol. 4, h. 2014). Dengan ini, perlu ditelisik lebih lanjut, untuk tidak mengatakan ditolak, kesimpulan yang beredar dikalangan masyarakat kita yang mengkategorikan poligami adalah sunnah dan perintah Allah.
Dalam literatur madzhab Syafi’i, poligami (ta’addud al-zaujah) menjadi pembahasan pasti. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzim (Vol. 1, h. 408) menyampaikan, menurut Imam Al-Syafi’i, yang telah dilakukan Nabi pada waktu itu telah menunjukan selain Rasulullah tidak diperkenankan untuk menikah lebih dari empat istri. Berbeda halnya dengan madzhab Syi’ah yang memperbolehkan poligami sampai sembilan istri. Redaksi tersebut juga tidak lantas dipahami bahwa poligami hukumnya adalah sunnah.
Dalam tafsirnya Tafsîr Al-Âlûsî Vol. 4, h. 142, Al-Alusi menerjemahkan maksud dari kata ma’ruf yang sudah disinggung dalam surat di atas. Menurutnya, yang dimaksud dengan memperlakukan istri dengan ma’ruf adalah memperlakukan dengan sesuatu baik dan tidak melanggar ketentuan syariat dan muruah (harga diri). Secara spesifik ketentuan-ketentuan tersebut digambarkan oleh Al-Alusi dengan meratakan nafkah dan giliran kepada istri-istrinya, berkata dan berperilaku baik kepadanya. Ada juga ulama yang menerjemahkan dengan tidak memukul istrinya dan tidak berkata yang tidak baik kepadanya serta harus menunjukkan wajah yang menyejukkan di depannya. Ulama yang lain lagi menyebutkan untuk memperlakukan istri sebagaimana istri yang telah dengan baik memperlakukan suaminya.
Ketika kita perhatikan dengan saksama, poin penting yang ingin dibangun dari narasi yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah untuk tidak berbuat zalim. Untuk itu, solusi sementara yang ditawarkan pada waktu itu adalah untuk mencari perempuan selain anak yatim yang diasuh-nya sebagai calon istri. Namun, apabila kita tarik bersama, pandangan dan wacana yang ditawarkan oleh Al-Alusi menjadi tambahan dari syarat yang telah disampaikan didalam al-Qur’an, yakni Al-Qisht apabila mau menikahi anak yatim dan al-’adl ketika mau menikahi perempuan lainnya. Kedua istilah tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti yang sama, yakni adil. Sementara dalam bahasa Arab memiliki perbedaan maksud antara keduanya.
Titik tekan dari pendapat Al-Alusi adalah ketika suami memperlakukan istrinya tidak boleh menyakiti dan tidak diperkenankan untuk menjatuhkan harga diri. Poin terakhir jelas terkait erat dengan penilaian masyarakat di mana seseorang hidup. Ini menjadikan pintu untuk melakukan poligami semakin sempit. Dalam artian, ketika seorang suami hendak berpoligami, di samping harus berbuat adil, keputusan untuk berpoligami yang dilakukan oleh suami harus mendapatkan restu dari istri dan masyarakat di sekitar tidak menilai negatif perbuatan tersebut. Sebab, konsekuensi-nya apabila masyarakat menilai negatif poligami akan menurunkan harga diri (muruah).
Sebagai penjelas, al-qist adalah berbuat adil baik secara perasaan dan memperlakukan istri, sementara al-’adl adalah adil dalam memperlakukan istri secara kasat mata, seperti, memberi nafkah, membagi waktu, dsb. Yang menjadi perintah dalam al-Qur’an secara tekstual adalah al-’adl bukan al-qisth. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri dalam berpoligami hanya bisa berbuat al-’adl bukan al-qisth sebagaimana diakui oleh Nabi. Wallahu a’lam bishshawab.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir al-Qur’an UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.