Namanya adalah Zainab. Dia putri dari Jahsy bin Ri’ab bin Asad bin Khuzaimah. Ibunya bernama Umaimah binti Abdul Mutthalib. Nama asli Zainab adalah Barrah, kemudian diganti Rasulullah menjadi Zainab setelah sah menjadi istri beliau.
Zainab lahir 20 tahun sebelum Rasulullah diutus menjadi Nabi. Nasabnya sangat mulia karena ia adalah sepupu Rasulullah. Ayahnya, Jahsy termasuk pemimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.
Sebelum menikah dengan Rasulullah, Zainab adalah istri Zaid bin Haritsah, mantan budak yang telah dimerdekakan dan diangkat sebagai anak oleh Rasulullah. Beliau sendiri yang menyarankan pernikahan ini, akhirnya mereka bercerai. Setelah masa iddahnya habis, Rasulullah melamarnya.
Pernikahan yang dilakukan Rasulullah ini untuk membatalkan tradisi yang ada saat itu, bahwa anak angkat tidak seperti anak sendiri, yang mantan istrinya tidak boleh dinikah. Pernikahan tersebut terjadi pada 5 H. Saat menikah dengan Rasulullah, Zainab berumur 35 tahun dan mendampingi Rasulullah hingga beliau wafat.
Semasa hidupnya, Zainab dikenal sebagai perempuan yang banyak menciptakan lapangan pekerjaan, terkhusus bagi para masyarakat kurang mampu. Hal ini dilakukan oleh Zainab dengan cara menyisihkan sebagian kekayaannya dari hasil bisnis kerajinan qirbah miliknya.Qirbah adalah sejenis kerajinan tempat air yang digunakan sebagai tempat minum dan ada juga yang digunakan sebagai alat penyiram tanaman yang terbuat dari kulit binatang.
Dalam salah satu riwayat, Rasulullah menyukai jenis kerajinan ini. Suatu hari, beliau mengunjungi sebuah rumah milik sahabat Anshar bersama salah seorang sahabatnya. Beliau berkata kepada pemilik rumah itu, “Jika engkau memiliki air di tempat dari kulit (qirbah) sisa tadi malam, berikanlah kepada kami untuk meminumnya. Jika tidak, biarkan kami meminum dari aliran airnya langsung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memang pada saat itu, kerajinan qirbah tidak begitu rumit, tetapi butuh kesabaran dan ketelitian dalam mengolahnya. Peralatannya masih sangat sederhana dan murni mengandalkan ketrampilan tangan. Kulit kambing yang telah disamak dikeringkan lalu dijahit menjadi qirbah dan dijual di pasar.
Sebagian hasil dari penjualan qirbah tersebut disedekahkan oleh Zainab dan digunakan untuk memberikan pelatihan kepada mereka yang memiliki potensi untuk menggeluti di bidang yang ia tekuni sebagai upaya memberdayakan masyarakat.
Aisyah begitu kagum dengan sosok Zainab. Ia menyampaikan pujiannya dengan mengatakan, “Zainab adalah pengrajin yang kreatif.”
Dia menyamak dan memanik, lalu hasilnya ia sedekahkan. Zainab menekuni usaha itu sampai ajal menjemputnya pada masa pemerintahan Umar.
Bagi Zainab, kekayaan tidak boleh dinikmati sendiri sementara di luar sana masih ada orang-orang yang sangat membutuhkan dan tidak memiliki pekerjaan. Ia membagi kekayaannya menjadi dua bagian; satu bagian untuk keluarganya dan bagian yang lain untuk disedekahkan dan memberi pelatihan.
Bahkan ia menolak pemberian dari siapapun, termasuk uang tunjangan dari khalifah kedua, Umar bin al-Khatthab, sebagaimana dikisahkan bahwa suatu ketika, saat Umar menjadi khalifah, ia mengirimkan uang tunjangan kepada Zainab dari kas negara, sebagaimana yang dilakukan Umar kepada istri-istri Rasulullah yang lain sebanyak 12.000 dirham.
Setelah uang itu diterima, Zainab berujar, “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa Umar. Saudara-saudara saya (ummul mukminin) yang lain lebih berhak menerima uang ini.”
Lalu sahabat yang mengantarkan uang tersebut berkata, “Semua uang ini untuk Anda wahai ummul mukminin.” Zainab lantas berkata, “Subhanallah.” Zainab menutup uang itu dengan sehelai baju seraya berkata kepada utusan Umar, “Ikatlah lalu lemparlah baju ke ikatan itu.”
Zainab mengambil uangnya, lalu mensedekahkan kepada kerabat, sanak famili, dan anak-anak yatim. Hingga Barzah binti Rafi’ berkata kepada Zainab, “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa Anda wahai ummul mukminin. Demi Allah, kami mempunyai hak untuk mendapatkan uang dirham ini.”
Maka Zainab berkata kepada Barzah, “Bagianmu, uang yang ada di bawah baju itu. Ambillah!.” Ia membuka baju yang dimaksud Zainab, ternyata di bawahnya ada uang 85 dirham. Kemudian ummul mukminin menengadahkan kedua tangannya ke langit, seraya berdo’a, “Ya Allah, mudah-mudahan tidak lagi menerima pemberian ‘Umar lagi setelah tahun ini.”
Karena kegemarannya dalam bersedekah itulah, Zainab dikenal di antara istri-istri Rasulullah sebagai perempuan yang paling panjang tangannya (julukan bagi orang yang gemar bersedekah). Rasulullah bersabda, “Di antara kalian yang paling cepat bertemu denganku adalah yang paling panjang tangannya.” Aisyah berkata, “Lalu kami saling memanjangkan tangan kami dan Zainab adalah yang paling panjang tangannya karena kegemarannya dalam bersedekah.” (HR. Muslim).
Zainab wafat diusianya yang ke-53, dan jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Baqi’, Madinah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa sebelum meninggal, Zainab berpesan agar jenazahnya dibawa ke pemakaman dengan ditandu (keranda) yang tertutup. Hingga sebagian sejarawan mencatatnya sebagai wanita pertama yang jenazahnya ditandu seperti yang ada hingga saat ini.
Disarikan dari beberapa sumber