Baru-baru ini, seorang anak menolak memberi tahu identitas agamanya ketika ditanya oleh seorang tokoh agama di atas panggung, di hadapan jamaah. Anak kecil itu bernama Farel Prayoga dan tokoh agama itu adalah Miftah Maulana Habiburrahman, atau kerap disapa Gus Miftah.
“Oh kamu nonmuslim tah Le? Oh wis rapopo. Mangkat neng gerejo. Agamamu apa? Kristen, Katolik?” tutur Gus Miftah setelah membaca secarik kertas yang berisikan informasi dari panitia.
“Nggak tahu, nggak lah, privasi,” jawab Farel.
Bocah yang ngehits setelah bernyanyi “Aja dibanding-bandingke” di Istana Negara beberapa waktu lalu tersebut memantik banyak reaksi dari masyarakat. Beberapa ada yang memuji tindakan Farel tersebut. Mereka mengatakan bahwa agama merupakan ruang privat manusia dan tidak patut untuk dipublikasi.
Di antara mereka yang mendukung adalah Tsamara Amany, mantan politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Melalui akun Twitter-nya, ia mengatakan,
“Farel ketika ditanya apa agamanya; jawabnya “enggaklah, privasi.” Luar biasa banget anak ini. Masih kecil, tapi cara berpikirnya sudah sangat dewasa. Sudah memahami bahwa agama seseorang & cara beribadah adalah hal yang sangat privat antara manusia & Tuhannya.”
Akun “centang biru” lainnya yang memuji aksi Farel adalah Evi Mariani. Dalam Tweeternya, Evi mengatakan,
“Idola banget. Farel keren. “Agamamu apa? Privasi.” Tolong ini dinormalisasi.”
Namun, pihak yang menyayangkan ucapan Farel juga nampak tidak sedikit. Misalnya, akun @SiraitBatakDusunTM,
“Ada yg nanya agama Farel, dijwb privacy. Lalu pd bilang hebat itu bocah. Pdhl klo dijwb apa adanya lbh elegan & pede dgn agamanya sndri, apapun agamanya. Tp zaman skrg byk org merasa paling toleransi & pancasilais alergi bicara agama, krn mrk utamakan dunia!”
Ada juga akun @chenoa2104 yang mengatakan,
“Harusnya Farel jwb aja terus terang klo ditanya agamanya apa,Kristen gituuh.Wong gk msalah kok dek.Cuma mngkin kmu mikir2,fansmu pd mundur teratur krn kdg2 di antara kita msh sj ad yg sdg enak2 nyanyikn lagu stelah thu agama gk sma lngsung brhenti.”
Belum lagi yang menyalahkan panitia karena tidak menseleksi dulu peserta yang datang ke acara maulid, atau yang menyerang Gus Miftah karena terkesan mengintervensi agama Farel. Ada juga yang sampai melakukan riset, apa sebenarnya agama yang dianut Farel.
Akar Bagaspati, mahasiswa Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM, mengatakan bahwa seharusnya Gus Miftah segera meminta maaf sepada Farel karena menyuruhnya membaca al-Qur’an ketika mengetahui bahwa Farel adalah non-Muslim dari kertas panitia. Ia menyayangkan sikap Gus Miftah yang justru malah lanjut bertanya soal identitas agama Farel.
Namun di luar semua pro-kontra itu, saya melihat dua pola pikir netizen mengenai kasus Farel ini. Pertama adalah tentang konsep dikotomi antara yang sacred dan yang profane. Tsamara adalah salah satunya yang berpikir bahwa agama adalah hal yang sakral, personal, yang hanya melibatkan antara individu terkait dengan Tuhannya. Agama dengan demikian menjadi domain yang tidak bisa diintervensi oleh pihak luar karena ia menyangkut hal-hal spiritualitas dan transenden.
Berbeda dengan profan. Ia mewujud dalam laku keseharian, sah untuk diketahui orang banyak. Menurut Emile Durkheim, yang profan adalah kehidupan sehari-hari manusia yang bersifat biasa saja. Seperti bekerja, berhubungan seksual, makan, minum, dan semacamnya. Dalam domain ini, campur tangan sosial menjadi wajar terjadi karena pada dasarnya aspek ini ditopang oleh konsep sosiologis manusia sebagai makhluk komunal.
Tsamara Amany dan Evi Mariani menjadi representasi pola pikir masyarakat yang tidak sepakat dengan glorifikasi agama di ruang publik. Sebuah tindakan yang justru harus dilakukan menurut mereka yang kontra terhadap aksi Farel.
Perlunya glorifikasi agama, atau dalam istilah lain, bangga terhadap (membanggakan) agamanya merupakan reaksi lain dari perbedatan seputar aksi Farel. Mereka menyayangkan mengapa Farel harus menyembunyikan identitas agamanya di negara yang mendaku sebagai negara yang mengusung nilai-nilai agama.
Di tengah perbincangan Farel, seorang Tiktoker yang kerap mengomentari isu sosial keagamaan, Aab Elkarimi, mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah mengalami trauma terhadap agama. Ia mengomentari pihak-pihak yang mendukung privatisasi agama, seperti Tsamara Amany. Ia membandingkan kondisi Indonesia yang berbeda dengan bangsa Eropa yang memang pernah mengalami trauma ketika agama mendominasi seluruh aspek kehidupan mereka.
Traumatis bangsa Barat tersebut kemudian yang melahirkan sekulerisme. Agama kemudian dipisahkan dari ruang publik. Agama menjadi dapur privat seseorang dan tidak boleh ditampilkan di tengah masyarakat umum.
Berdasar hal ini, dan karena Indonesia tidak mengalami kendala sosial apapun soal agama, maka publikasi identitas agama dalam ruang publik tidak perlu dipersoalkan. Justru glorifikasi terhadap identitas agama bisa menjadi kontra narasi bagi mereka yang melakukan “glorifikasi” kemaksiatan. Menjadi narasi tandingan bagi mereka yang memamerkan pesta mabuk-mabukkan, misalnya.
Di antara dikotomi perspektif tersebut, saya memilih untuk tidak berada dalam salah satu arus. Di satu sisi, saya membenarkan bahwa menanyakan agama dalam ruang publik merupakan hal yang tidak patut dilakukan jika tidak ada konteksnya. Misalnya, jika saya datang ke Jerman, saya akan memaklumi rekan saya di sana ketika menanyakan agama saya di tempat umum untuk membantu saya menemukan makanan yang halal dan mencarikan masjid.
Bisa pula seorang kawan yang beragama Kristen ingin menyediakan makanan kepada tamunya. Ia boleh saja bertanya pada tamunya apakah ia seorang muslim atau tidak. Karena untuk menghindari penyajian makanan yang tidak sejalan dengan Islam. Artinya, bertanya tentang agama seseorang hanya sebagai basa-basi atau mencari topik pembicaraan merupakan hal yang tidak etis apalagi yang berbau perundungan dan bersifat diskriminatif.
Gus Miftah bisa jadi salah di satu perspektif. Tindakan Farel juga mungkin tidak tepat dalam perspektif lain. Namun, yang paling penting akhirnya bukan memperdebatkan boleh-tidaknya bertanya tentang agama seseorang atau mengetahui agama yang dipeluk Farel, melainkan bagaimana praktik beragama kita dalam ruang sosial.
Kita tentu berhak untuk tidak mengungkapkan agama kita pada khalayak jika ditanya, namun berbuat baik kepada sesama tanpa memandang agama menjadi satu kewajiban bagi kita karena itu termasuk bagian dari ajaran agama. Itu yang saya maksud bagaimana cara beragama kita yang lebih penting daripada soal kebolehan mempertanyakan agama seseorang.