Apa yang berharga dari manusia setelah ia malang melintang dalam medan juang kehidupan, berpeluh dengan kesedihan, tertawa dengan kebahagiaan, tetapi kerapkali kesedihan dan ketidakmengertian hidup lebih banyak menghampiri daripada fakta kebahagiaannya?
Yang berharga setelah seseorang berpulang ke rumah keabadiannya adalah karya, hasil jerih payah dari seseorang yang ingin dipersembahkan kepada sebanyak mungkin manusia, di luar diri dan keluarganya.
Karya-karya almarhum Pak Djohan Effendy, sejauh yang saya baca dan saya simpan sebagaimana yang tampak dalam foto-foto ini. Pak Djohan menerjemahkan buku karya W. Montgomery Watt berjudul Muhammad: Prophet and Statesman yang diterbitkan CV. Kuning Mas pada 1982. Biografi Nabi Muhammad ini kerapkali menjadi rujukan saya, karena menghadirkan sejarah hidup Nabi Muhammad dengan fakta. Bukan mitos, apalagi khayalan. Kata almarhum Cak Nur, Montgomery Watt adalah seorang orientalis yang bisa dipercaya, karena objektivitas dalam menghadirkan fakta pengetahuan tentang sejarah Islam. Meskipun, barangkali bias bukan muslim tak dapat dihindarkan.
Karya Pak Djohan yang lain, bersama Abdul Hadi adalah Iqbal: Pemikir Sosial Islam dan Sajak-Sajaknya. Sebagaimana diketahui, Pak Djohan sangat mengagumi Muhammad Iqbal, pujangga dan pemikir besar Islam dari Pakistan. Pada diri Iqbal, terangkum dua kekuatan pemikiran besar, yakni dari Barat diwakili Nietze, dari Timur, kekuatan kontemplasi Jalaluddin Rumi. Beralas dua kekuatan inilah Iqbal melahirkan karya-karyanya dan berbicara kepada dunia.
Pak Djohan, merupakan pembaru Islam yang menyerap pemikiran Iqbal ini. Ia pernah mendirikan Iqbal Society, yang agaknya ia dirikan sendiri, dan juga ia jalankan sendiri, seraya mengenalkan kepada anak-anak muda mengenai Iqbal, termasuk kepada saya.
Karya Pak Djohan yang lainnya adalah karya Huston Smith, Agama-Agama Manusia, diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor. Pada tahun 1980an akhir, buku ini menjadi rujukan utama saya sebagai mahasiswi Perbandingan Agama, karena buku ini memuat ajaran agama-agama besar dunia: Hinduisme, Bhudhisme, Konfusianisme, Taoisme, Islam, Yahudi dan Kristen. Hal yang hingga sekarang terpatri dalam kepala saya dari buku ini adalah: “Jangan kau lakukan sesuatu kepada orang lain, yang orang lain tidak ingin melakukannya terhadapmu” (Konfusionisme). Buku ini beberapa kali saya beli, karena setiap ada yang pinjam, tak pernah dikembalikan.
Karya suntingan Pak Djohan dengan Ismed Natsir adalah: Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Saat saya semester ketiga di Ciputat, buku ini bacaan wajib bagi saya, yang membuat saya gelisah dengan keberagamaan saya. Tapi saat itu, guru saya, Mas Komaruddin Hidayat mengingatkan, ” Tak ada kebenaran, tanpa melalui proses pencarian, tak ada proses pencarian yang tak dialami dengan kegelisahan”. Demikian kata Mas Komar ketika itu (Terima kasih banyak, Mas Komar untuk ajaran ini). Buku ini intensif saya diskusikan bersama senior saya Huriyudin Huri, mahasiswa filsafat, kakak kelas saya.
Sebagaimana diketahui, Pak Djohan adalah sahabat dekat Wahib, sangat dekat. Wahib dalam catatan hariannya menulis puisi yang ditulis khusus buat Pak Djohan. Soal kedekatannya ini, di masa sakitnya, Pak Djohan ingin dimakamkan dengan makam Ahmad Wahib, tapi sayangnya, kuburan Ahmad Wahib tak ada jejaknya.
Karya yang hampir akhir, sebuah karya yang lahir setelah ia pensiun sebagai Mensegneg adalah “Pesan-Pesan al-Qur’an: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci”. Buku ini mengupas tentang tentang isi utama dari setiap surat dalam al-Quran berupa narasi dan juga puisi. Puisi surat al-Ikhlash, misalnya:
Allah……
Esa……
Di luar bilangan….
Di luar angka….
Sandaran kuat setiap saat…
Tumpuan segala harap..
Tak melahirkan, tak dilahirkan
Tiada saingan, tiada tandingan
Dengan Dia……
Tiada serupa, tanpa suatu apa.
Buku yang terakhir ini, kami rayakan peluncurannya di perpustakaan nasional, berkesempatan memoderatori acaranya saya, Neng Dara Affiah, dengan pengupas buku Prof. Quraish Shihab, Romo Magnis Suseno dan Budhy Munawar Rachman.
Pamulang, 8 Desember 2017.