Viral Penolakan Gereja di Cilegon: Ketika Membangun Karaoke Justru Lebih Mudah Ketimbang Ngurus IMB Rumah Ibadah Umat Kristen

Viral Penolakan Gereja di Cilegon: Ketika Membangun Karaoke Justru Lebih Mudah Ketimbang Ngurus IMB Rumah Ibadah Umat Kristen

Masak iya, bikin karaoke bisa mudah, sedangkan satu tempat Ibadah umat Kristen saja, yang tidak setiap hari aktif, izinnya tidak pernah diloloskan.

Viral Penolakan Gereja di Cilegon: Ketika Membangun Karaoke Justru Lebih Mudah Ketimbang Ngurus IMB Rumah Ibadah Umat Kristen

Hari Rabu lalu (7/9/2022), Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta ikut menandatangani penolakan rencana pendirian Gereja HKBP Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon. Di depan massa yang mengatasnamakan Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon, kedua pejabat yang digaji rakyat itu justru secara sumringah memberikan justifikasi kepada Komite terkait larangan pendirian gereja di Cilegon.

Jaringan Gusdurian Indonesia menegaskan bahwa aksi para pejabat publik tersebut telah nyata-nyata menciderai dan mengkhianati konstitusi Republik Indonesia. Seperti dilansir oleh situs Kementerian Agama, catatan sejarah merekam bahwa bukan kali ini saja penolakan pendirian tempat ibadah agama selain Islam terjadi di Cilegon. Fakta historis mencatat bahwa pembatasan hak kebebasan beribadah ini sudah terjadi pada tahun 1994.

Hingga saat ini, tidak ada satupun tempat ibadah umat non Islam berdiri di Cilegon. Data resmi negara tahun 2019 mencatat ada 382 masjid dan 287 musalla di Cilegon, tanpa ada satu pun gereja, pura, maupun vihara tercatat. Padahal, jumlah warga non-Muslim di tahun yang sama bukannya sedikit: 6.740 warga Kristen, 1.743 warga Katolik, 215 warga Hindu, 215 warga Buddha, dan 7 warga Konghucu. Dan, mereka semua tentu butuh tempat ibadah. Saya bahkan iseng mencari tahu jumlah tempat karaoke di Cilegon yang rupanya relatif banyak. Belasan.

Tak heran, Setara Institute mencatat Cilegon sebagai kota yang selalu masuk deretan peringkat anjlok dalam riset Indeks Kota Toleran selama lima kali; nomor 15 dari bawah pada 2015, nomor empat dari bawah pada 2017 dan 2018, nomor delapan dari bawah pada 2020, dan nomor tiga dari bawah pada 2021 lalu. Tolak ukur intoleransi sebuah kota yang digunakan dalam riset tersebut adalah kebijakan pemerintah, termasuk ucapan dan tindakan pejabat setempat.

Salah satu kebijakan pemerintah yang sering menjadi landasan penolakan rumah ibadah non-Muslim adalah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/ Huk/SK/1975, tertanggal 20 Maret 1975, yang konon mengatur Tentang Penutupan Gereja/Tempat Jemaah Bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang, yang sekarang menjadi Kota Cilegon.

SK tersebut menjadi senjata efektif untuk mendiskriminasi agama lain karena merupakan dokumen yuridis dan legal. Karena itu, SK tersebut dijadikan landasan hukum yang mengatur pendirian rumah ibadah selain masjid di Cilegon. Terbukti, Komite yang dibincang di awal tulisan ini menggunakan SK tersebut untuk menolak pembangunan rumah ibadah yang akhirnya diafirmasi oleh Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon.

Gus Yaqut sendiri sudah mengeluarkan pernyataannya terkait hal ini. Dalam sebuah video YouTube akun Liputan6, Menteri Agama mengatakan, “Tidak ada lagi gara-gara pilihan politik kemudian agamanya berbeda jadi musuh-musuhan ndak ada pak. Tidak ada lagi penolakan pendirian rumah ibadah sebagaimana gereja HKBP di Cilegon.”

“Rencananya, minggu depan saya akan datang sendiri sendiri klo belum beres soal izin pendirian ini. Karena di bawah sudah beres semua, izin dari masyarakat, dari kepala desa udah beres terus ketahan di atas, ini tentu bukan hal yang baik, bukan hal yang sehat” lanjutnya.

Dalam situs reportasebanten.co.id, pihak Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menyanggah bahwa SK tersebut semata-mata untuk melindungi dan menghargai adat-istiadat di Cilegon. Mereka juga menuntut Gus Yaqut untuk meminta maaf ke warga dan pemerintah Kota Cilegon, karena pernyatannya terkait Cilegon sebagai kota intoleran dinilai mendiskreditkan kondisi sosial budaya Kota Cilegon. Mereka juga menduduh Menag menerima informasi sepihak terkait data kota intoleran itu tanpa memahami realitas kehidupan sosial budaya dan politik di Cilegon.

Pertama; Gus Yaqut mungkin merujuk pada riset dari Setara Institute tentang dareah-daerah intoleran di Indonesia, yang saya yakin, itu merupakan riset dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, statement kota intoleran itu bukanlah omong kosong, pada kenyataannya ribuan orang non-Muslim tidak bisa bebas melakukan peribadatan di sana.

Berapa banyak orang Kristen Cilegon yang setiap Minggu harus melakukan perjalanan jauh ke Serang mencari Gereja sekedar untuk beribadah, sekedar untuk menjalankan kewajiban agamanya, sekedar untuk menjalankan ajaran-ajaran yang diyakininya, sekedar bermesraan dengan Tuhannya.

Kedua; perwakilan komite tidak menjelaskan secara spesifik apa adat istiadat yang dimaksud ketika membincang tentang “menghargai adat istiadat Cilegon”. Jika memang adat istiadat itu berakar dari ajaran Islam yang memang mentradisi erat di Cilegon, saya yakin itu tidak ada kaitannya dengan pelarangan ekspresi keagamaan selain Islam di Cilegon. Karena tidak dijelaskan secara spesifik, akhirnya saya berhipotesis saja.

Meminjam point of view Ahmet T. Kuru, fenomena yang terjadi di Cilegon itu bisa dilihat sebagai gejala Otoritarianisme dan Ketertinggalan Islam. Otoritarianisme itu salah satunya dilihat dari bagaimana institusi agama kemudian berkongsi dengan penguasa di sebuah negara. Dalam skala nasional, kongsi agama dan penguasa ini mengejawantah dalam wujud UU No. 1/PNPS 1965 tentang Penodaan Agama. Dalam skala daerah, kolaborasi ini, misalnya, terwujud dalam SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/ Huk/SK/1975, tentang pelarangan dan/atau penutupan gereja dan rumah ibadah selain Islam, persis seperti yang sedang dibincang dalam tulisan ini.

Aksi Wali Kota dan Wakil Wali Kota itu, terutama aksi penolakan tempat ibadah non-Muslim, jelas bertentangan dengan dua nilai utama yang kita perjuangkan. Pertama; nilai bernegara yang mensaratkan kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, sebuah nilai yang bahkan sudah terkodifikasi dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kedua; nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sebuah konsep inklusif di mana umat Muslim dan non-Muslim akan saling menjaga dan menghargai satu sama lain, termasuk dalam hal peribadatan.

Rekam historis mengungkap bahwa masyarakat Banten memiliki riwayat pengalaman kehidupan bermasyarakat yang ramah terhadap pemeluk agama-agama lain. Pada masa kejayaan Kesultanan Banten 1636-1682, terutama, Kapel dan Klenteng Cina diizinkan oleh Sultan Banten untuk dibangun karena itu merupakan hak dasar mereka. Sikap inklusif yang ditampilkan tersebut mencuri hati banyak orang Eropa. Efeknya, pendeta-pendeta Katolik dari Spanyol memilih singgah di Banten pada 1650-1682 daripada di markas VOC di Batavia. Sebuah peluang dakwah juga sebenarnya untuk mengenalkan Islam yang toleran kepada tokoh-tokoh agama Eropa masa itu.

Baca Juga, Mohammed Salah Donasikan 157.000 US Dolar untuk Renovasi Gereja

Fenomena penolakan pembangunan Gereja di Cilegon saat ini nampak sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang ditanamkan pendahulunya, Sultan Banten. Pertanyaannya, lalu Islam dan adat istiadat yang mana yang mereka perjuangkan? Masak iya, membangun karaoke bisa semudah itu sedangkan satu tempat Ibadah non-Muslim saja, yang tidak setiap hari aktif, tidak pernah diloloskan.