Ketika saya melemparkan fakta di grup tentang begitu banyaknya orang yang masih tidak percaya Covid-19, beberapa meragukan. Bahkan, seorang kawan saya berseloroh kok bisa-bisanya di tengah derasnya informasi dan berita kematian suspect Covid-19 yang terus dekat ini masih ada yang halu. Saya menimpali, itulah masalahnya. Apalagi, informasi yang tiba-tiba datang: vaksin berbayar dan invidividu—siapa pun kamu asal berduit—bisa langsung dapat vaksin hanya dengan mendatangi Kimia Farma. Sedih? Nanti dulu.
Bagi kita di Jakarta yang tiap hari mendengarkan berita kematian dari toa masjid begitu sering mungkin informasi covid lengkap dengan analisisnya. Tapi bagi beberapa orang, informasi seperti ‘dicovidkan’ ‘mati setelah vaksin’ atau ‘covid Cuma flu’ dan ‘corona itu konspirasi’ serasa seperti desauan angin yang saban hari harus didengar. Dan, anehnya dipercaya lagi.
Vaksin berbayar ini meneguhkan tiga hal krusial yang menjadi obrolan di masyarakat kita. Tiga hal ini yang kerap jadi pertanyaan ketika edukasi masyarakat tampak menghadapi tembok tebal atas nama ‘ketidakpercayaan’ dengan embel-embel ‘rezim’ dan hal ini tampaknya sudah sampai pada kesimpulan; hidup atau mati tidak bergantung corona kok.
Pertama, corona adalah konspirasi yang dibikin orang pinter, kita jangan sampai kalah. Hal ini kali pertama saya dengar tahun lalu dari saudara dan tampaknya ia kekeuh dengan pendapatnya belakangan ini setelah adanya kabar vaksin yang dijual secara terbuka oleh negara lewat Kimia Farma. Padahal, saudara saya ini belakangan mulai percaya dengan gencarnya vaksin dan kasus covid yang mulali merebak..
“Lha bener kan. Corona ini konspirasi. Itu vaksin saja tidak gratis. Bayar. Nanti duitnya ke orang-orang pinter dan kaya itu,” tegasnya dalam sebuah obrolan di grup WA.
Ia menyertakan sebuah link berita dari sebuah media terpercaya. Ia melakukan itu karena sekali waktu pernah saya ‘semprit’ karena menautkan berita dari media abal-abal. Tapi ketika berita vaksinasi gotong royong yang justru secara resmi datang dari Lembaga negara dan tentu media kredibel memberitakannya, ia mulai percaya diri menautkan di grup. Dan tenpa tedeng aling-aling mention saya.
Padahal, saya bisa dengan sederhana membantahnya: kalau ini konspirasi, kok ya tega membunuh jutaaan orang. Membunuh ratusan ulama di Indonesia. Eh ia menjawab: itulah orang-orang pintar itu PKI. Lhaaaa…
Kedua, rezim ini berdosa. Dosa, Anda tahu, bukanlah sesuatu yang kita benar-benar bisa lihat. Mungkin hanya Tuhan yang tahu. Tapi di tangan netizen maha benar, dosa pemerintah saat ini seperti dibeberkan. Mulai dari inkompentensi penanganan pandemi yang hampir 2 tahun ini yang terus membuat gelisah hingga soal data covid-19 yang tumpang tindah antara pemerintah-daerah.
Di linimasa twitter, hampir tiap hari kita disuguhin data kematian maupun suspect covid yang berbeda-beda. Anda bisa dengan gampang menjentikkan jari di mesin pencari dan menemukan fakta terkait ini dan mungkin bisa membuat geleng-geleng kepala, kok bisa-bisanya negeri yang getol bicara startup, milenial dan industry 4.0 mengurus integrasi data saja kalang kabut.
Ketiga, mulai memudarnya kepercayaan pada negara. Ini menurut saya yang berbahaya. Di tengah pelbagai informasi dan mulai terbangun optimisme publik dengan gencarnya vaksinasi, justru pemerintah (baca: negara) malah tampak mencari cuan dalam kesedihan rakyatnya. Bagaimana publik bisa percaya jika Presiden yang berkata, vaksin gratis untuk rakyat tapi fakta di lapangan ada saja akal-akalan untuk upaya kapitalisasi vaksin, mulai dari gotong royong untuk perusahaan hingga yang potensial chaos seperti vaksin individu.
Ya, sekali lagi, Presiden Jokowi, sudah menegaskan bahwa vaksin itu gratis. Titik.
Meskipun anda bisa mendebat, lha itu vaksin kan di luar program vaksinasi gratis. apalagi, jika jawaban itu: ini untuk mempercepat herd immunity. Lha, bagaimana bisa herd immunity jika pemerataan vaksin masih seperti ini? Kita kurang dari 10% yang tervaksinasi dan kenapa tidak mengejar vaksinasi sampai ke pelosok-pelosok saja?
Hal itu melukai kepercayaan publik yang mulai bergeser usai melandainya kurva beberapa bulan lalu dan digantinya Menteri Terawan dengan Budi Sadikin yang tampak lebih meyakinkan. Maka, berdasarkan hal tersebut, maka saya cukup yakin vaksin berbayar ini hanya akan menebalkan iman mereka yang percaya, covid itu konspirasi bisnis belaka.
Begitulah. Dan kita harus berlegawa bahwa covid-19 akan kian lama di negeri ini dan kita hanya bisa berjaga sekuat mungkin untuk terus bertahan, menjaga keluarga kita dari kematian.