Obat Covid-19: Pakai Vaksin atau Thibbun Nabawi?

Obat Covid-19: Pakai Vaksin atau Thibbun Nabawi?

Vaksin atau thibbun nabawi, mana yang lebih dianjurkan Islam untuk mengobati Covid-19?

Obat Covid-19: Pakai Vaksin atau Thibbun Nabawi?

Pengembangan vaksin untuk Covid-19 mendapat penolakan beberapa orang. Kalangan anti vaksin ini menyarankan agar beralih menggunakan thibbun nabawi, karena Vaksin dianggap dari barat dan ingin menghancurkan Islam.

Virus corona atau yang akrab disebut pandemi Covid-19, saat ini menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Pandemi yang muncul dari akhir tahun 2019 ini menyebabkan banyak masyarakat yang terinfeksi hingga meninggal dunia. Hal ini menjadi masalah serius dan perlu mendapat perhatian khusus. Semakin hari, kondisi dunia semakin memprihatinkan dan ini berdampak pada seluruh struktur kehidupan masyarakat. Solusi yang sangat diharapkan masyarakat saat ini adalah menemukan cara agar wabah ini bisa secepatnya teratasi.

Menjawab hal ini tentunya para ilmuan, kedokteran modern, hingga ahli kedokteran Islam tidak tinggal diam. Mereka terus berupaya mencari dan menemukan solusi berupa obat-obatan dan vaksin agar permasalahan yang dialami seluruh dunia saat ini segera teratasi.

Berawal dari hal ini, pro dan kontra antara vaksin dan thibbun nabawi kembali memanas di tengah masyarakat. Sebagian ada yang berkomentar, “Buat apa ada vaksin? Apa tidak cukup dengan thibbun nabawi,  habbatussauda, minum madu, dan pola hidup sehat, itu bisa tercegah dari penyakit? Apa tidak yakin dan beriman kepada Allah yang telah memberikan imun dan menciptakan manusia sempurna?” pernyataan ini banyak ditemui dalam beberapa postingan Instagram.

Kesalahpahaman tersebut berdampak pada timbulnya anggapan bahwa kedokteran modern bertentangan dengan thibbun nabawi, orang yang menggunakan pengobatan selain thibbun nabawi berarti tidak menjalankan sunnah dan perlu dipertanyakan keislamannya, dan sikap anti total terhadap pengobatan selain thibbun nabawi.

Hal ini timbul dari asumsi bahwa kedokteran modern berasal dari Barat yang notabennya kafir pasti menginginkan kehancuran bagi umat islam dan ada makar ingin menggantikan pengobatan nabawi pada umat islam. Bukan hanya itu, penulis juga pernah mendengar pendapat bahwa jika ingin dihindarkan dari peyakit dan wabah menular, maka harus makan makanan yang halal dan thayyiba. Pendapat ini berujung pada protes vaksinasi dan imunisasi, karena vaksi dianggap berasal dari bahan yang tidak thayyiba. Seakan-akan menyatakan bahwa cara Islam mencegah wabah penyakit adalah dengan menjaga makanan halal dan thayyiba saja.

Untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut, perlu diketahui bahwa kedokteran barat modern merupakan pengembangan dari kedokteran yang dikembangkan dan ditemukan oleh orang Islam dan para tabib cendekiawan muslim zaman dahulu yaitu saat kerajaan Islam mencapai puncak kejayaan dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Pada masa Dinasti Abbasiyah misalnya. Bahkan setelah itu, teknik pengobatan yang dikembangkan oleh para tabib muslim banyak dipakai di seluruh dunia. Banyak tabib negara lain belajar dari tabib muslim saat itu. Saat Dinasti Abbasiyah runtuh buku-buku hasil penelitian yang ada di perpustakaan diambil dan dibawa ke barat.

Ar-Razi (Razes), al-Zahrawi, Ibnu el-Nafis, Ibnul Qayyim, Ibnu Rusyd, dan masih banyak yang lainnya adalah para dokter dengan berbagai karya kedokteran yang sering menjadi rujukan. Walaupun saat ini ilmu kedokteran modern cenderung dikuasai oleh Barat, maka kita tidak boleh langsung berfikiran negatif dan lantas tidak berlaku adil terhadap mereka. Apabila ilmu kedokteran tersebut memiliki banyak manfaat, maka tidak ada salahnya kita mempelajari dan menggunakannya.

Baca juga: Tiga Teori Fikih tentang Vaksin: Istihalah, Istihlak, dan Darurat

Al-Quran sendiri tidak melarang kita untuk mengambil ilmu dari non-muslim. Kita justru diperintahkan untuk bersikap adil kepada mereka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surah al mumtahanah: 8

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Berkaitan dengan hal ini, salah satu contoh sejarah dari sahabat Abu Ubaidah RA yang meninggal karena wabah tha’un di Syam. Abu Ubaidah adalah termasuk sahabat yang sudah dijamin masuk Surga. Tentu kita yakin bahwa ia pasti makan makanan yang halal dan thayyiba, serta beliau juga pasti menjaga perintah dan menjauhi larangan Allah. Namun Abu Ubaidah tetap terinfeksi wabah tersebut. Jika ditanya, apakah ia tidak menggunakan thibbun nabawi? Jelas dan pasti ia menggunakannya. Lantas, apakah kita berani menuduh orang yang sudah dijamin masuk surga ini sebagai orang yang tidak berislam secara kaffah?

Islam sendiri tidak menegasikan adanya wabah dan penyakit menular. Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa hadis Rasulullah SAW. Mulai dari anjuran isolasi, dan anjuran pencegahan lain.

Alhasil, dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makanan halal dan tayyiba tidak bisa menjamin dari wabah penyakit. Seperti wabah covid-19 yang terjadi pada saat ini maka kita juga perlu berikhtiar.

Pengobatan thibbun nabawi atau vaksin, jika sudah teruji secara klinis dan aman penggunaannya, maka keduanya tidak perlu dipertentangkan. Sebab dalam Islam tidak melarang hal demikian. Sebagaimana Islam mengajarkan agar kita berusaha mencegah penyakit menular dengan cara menghindari dan mencegahnya sesuai kemampuan kita. Semoga Allah segera mengangkat wabah covid-19 dari muka bumi. Amin ya Rabbal Alamin. (AN)