Sebelum beranjak lebih lanjut tentang bagaimana peradaban islam bergerak dan menjadikan banyak tafsir, sebaiknya membaca tiga tulisan rangkaian sebelumnya, klik bagian satu, dua dan tiga
Al-Ghozali menyebutkan beberapa adanya seorang pendidik yang dilakukan Ulama’ kepada yang dididik, di antaranya saya hanya akan mengutip 3 hal saja, dan menambahi penjelasannya, yaitu:
Innama Anâ lakum Mitslul Wâlid li Waladihi
Kewajiban Ulama’ adalah membimbing umat melalui ilmunya, dengan penuh kesadaran bahwa mereka ini adalah sebagaimana ayah bagi anaknya: “Nabi bersabda “Innama anâ lakum mitslul wâlid liwaladihi”; Sesungguhnya aku bagi kamu sebagaimana seorang ayah bagi anaknya. Dalam takhrij yang dilakukan Imam at-Tijani disebutkan begini: “Telah mengeluarkan hadits itu, Abu Dawud, Nasa’i Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairoh.” Sedangkan dalam takhrij yang dilakukan al-Hafizh Murtadho az-Zabidi disebutkan begini: “Imam Abu Dawud meletakkan nash hadits ini dalam Sunannya fi bab karohiyatul istibalil qiblah `indal hajjah…dengan redaksi agak panjang dan agak berbeda”.
At-Tijani juga berkata: “Berkata Hafizh al-Mundziri, hadits itu juga dikeluarkan oleh Muslim secara ringkas, Nasa’i, Imam as-Suyuthi di dalam kitab Jâmi’-nya, Ibnu Majah secara sempurna; berkata Imam as-Suyuthi, hadits itu juga dikeluarkan Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, yang semuanya di dalam bab tentang thoharoh dari Abu Hurairah.” (Ihyâ’u Ulumiddin wa bi Hâmisyihi Nûrul Yaqîn, fî Takhrîji Ahâdîtsi Ihyâ’i Ulumiddîn, li Syaikhil Muhadditsîn fî Ashrihi, Muhamamd al-Hafizh Abdul Latfih Salim at-Tijani, bitakhrijai al-Hafiz Zainuddin al-`Irôqi wa as-Sayyid Murtadho az-Zabidi, Kairo, az-Zawiyah at-Tijaniyah al-Kubro bil Qohiroh, 1982, hlm. 165).
Seorang Ulama’ yang membimbing umat, dia adalah sebagaimana Kanjeng Nabi, dia adalah ayah bagi anak-anaknya, sehingga dia harus membawakan diri sebaik mungkin sebagai orang berilmu yang mewarisi ilmu-ilmu kenabian.
Sikap lemah lembut, memberi teladan, dan berkata-kata dengan penuh adab; dia bukan hanya mengetahui qaul-qaul, tetapi juga memiliki adab; bukan hanya baik tapi juga “pener”. Bagi seorang dari Ahlu bait Nabi, lebih dituntut lagi untuk hal yang demikian, karena dia dinash oleh Nabi Muhammad, tempatnya risalah dan ma’dinul ilmi; bukan hanya dinash dalam kerangka seorang Ulama’.
Keteguhan dalam membawa prinsip tidak harus linier dengan kegarangan dalam kata-kata; apalagi sampai mengeluarkan kata-kata kotor kepada objek dakwah, apalagi kepada orang-orang tertentu, dengan melaknatnya dan mencaci makinya.
Lâ Yathlubu `alâ Ifâdatil `Ilmi Ajron walâ Yaqshidu bihi Jazâ’an
Dalam membimbing umat, atau dalam dakwah tidak patut mencari upah atau memiliki maksud balasan yang menguntungkan atau keinginan dipuji. Masuk di sini adalah keinginan menjadi tenar. Sebaliknya, dia hendaknya mencari ridho Alloh dan mendekatkan diri kepada Alloh. Dalam kerangka inilah, seorang Ulama’ harus menyadari bahwa petunjuk itu datangnya dari Alloh, sebeberapa besar pun yang dilakukan dan seberapa gigih berdakwah. Karena petunjuk dari Alloh, dia tidak boleh bertindak sebagai tiran terhadap yang didakwahi atau orang yang dibimbing, dengan mengumbar peluru kata-kata yang tidak mencerminkan adab sebagai seorang alim, misalnya kata-kata kotor, mencaci maki dan penghinaan-penghinaan terhadap orang yang sedang dibimbing.
Dan, keikhlasan yang merupakan kunci dari tindakan dan dakwah Ulama’, akan menjadikan dia selalu sadar kelemahan dirinya sendiri; sadar akan besarnya rahmat Alloh; dan besarnya ampunan Alloh bagi manusia. Keikhlasan harus menghempaskan kesombongan dalam dirinya sendiri; bahwa seorang alim dan Ulama’ belumlah merupakan jaminan dia akan diterima Alloh; seorang yang beramal begitu banyak belumlah jaminan amal-amal itu diterima Alloh, apalagi akan berakhir husnul khotimah; dan dia hanya sedang berusaha memenuhi kewajibannya sebagai seorang yang berilmu, tidak lebih.
Oleh karena itu, seorang yang membimbing umat, senantiasa harus faham, dalam ma’rifatnya terhadap eksistensi alam batinnya, dan petunjuk-petunjuk dasar dari akhlaknya Kanjeng Nabi: dia akan malu mengeluarklan kata-kata kotor, mencaci maki, dan mengumpat kepada orang-orang, yang bahkan ketika orang-orang itu tidak atau belum mengikuti ajakannya. Keikhlasan tidak menuntut upah dan pujian; dan apalagi menyebarkan berita-berita bohong.
Dalam hal ini, Ulama’ juga harus tidak bertendensi untuk memperoleh jabatan, pangkat, dan sejenisnya. Dan, kalau dia diberi amanah, dia akan melihatnya sebagai ujian dan cobaan, sehingga dia akan berhati-hati. Dia sebisa mungkin mencela untuk dirinya sendiri, agar tidak terjebak dalam prediket “al-Alimul Fajir”; dan menjalankan amanat sebisa mungkin manakala dia dengan ijtihadnya bisa dan merasa sanggup memikul jabatan atau pangkat dunia; bukan malah mengejar jabatan kekuasaan.
An Yazjurol Muta`allim `an Su’il Akhlaq
Seorang Ulama’ adalah pendidik, di manapun posisinya dia harus bisa mencegah orang-orang yang dididiknya, katakanlah umat agar tidak tercebur ke dalam akhlak yang jelek; atau perilaku jelek. Maka pertama-atama, seorang Ulama’ harus menjadi teladan, bukan hanya dalam penguasaan ilmu-ilmunya, tetapi juga dalam adab-adabnya dan tutur katanya. Cara yang ditempuh adalah bi tharîqir rohmah, dengan jalan kasih sayang dan lemah lembut, la bi thoriqit taubîh, tidak dengan jalan menghinakan dan mengolok-olok terhadap yang dididik atau mereka yang diajak untuk dakwah.
Dari beberapa adab yang mesti dimiliki seorang pendidik umat itu, haruslah disadari bahwa para Ulama’ itu, ada yang faham ilmu-ilmu qoul secara baik yang dinukil dari hadits-hadits, sekaligus faham ahwal, wirid-wirid, tarekat dan ma’riafat dari Kanjeng Nabi Muhammad; ada juga yang hanya fahal qoul tetapi kurang dalam ahwal, wirid-wirid dan ma’rifatnya; ada jauga yang sebalikinya dari ini; dan ada yang digelari Ulama’, tetapi sejatinya dia belum memperoleh kelayakan untuk itu. Akan tetapi karena kepentingan politik, tendens upah, dan balasan, juga pujian, dia di-Ulama’-kan, sehingga membo-membo menjadi Ulama’.
Kita melihat juga, di kalangan Ulama’ yang sholih-sholih saja, mereka bisa berbeda pendapat dalam berijtihad dan berfatwa, apalagi di tengah situasi di mana banyak orang yang diUlama’kan, yang hakekatnya belum pada maqomnya. Perbedaan itu bisa menjadi bencana. Dan, dalam hal ini, meski disebut Ahlu Baitin Nabi itu sebagai Syajarotunnubuwwah, tetapi harus lah disadari pula tidak semua mereka menjadi Ulama’; tetapi harus diakui pula banyak Ulama’ lahir dari kalangan mereka; dan sebaliknya, dari kalangan non Ahlul Bait juga ada yang menjadi Ulama’ hebat, seperti dalam sejarah dicontohkan dengan adanya Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit.
Mereka itu, adalah Ulama’, yang paling tidak, 3 syarat di atas ada pada diri mereka; di luar syarat penguasaan ilmu-ilmu dhohir dan batin: dia memandang dirinya sebagai seorang ayah kepada umat yang sebagai anak-anaknya; tidak bertendens mencari upah, pujian, pangkat, dan jabatan dunia; dan mencegah realisasi akhlak yang buruk pada umat, dengan cara memberi teladan dan jalan rahmat, bukan jalan taubih; agar yang dididik tidak meniru cara itu, bukan hanya tahu bahwa itu tidak member maslahat.
Umaro’ dan Peraturan Negeri
Setiap Ulama’ itu berbeda-beda: ada yang berbeda dalam pendapat-pendapatnya dan cara dakwahnya dari orang perorang; dan ada yang berbeda karena perbedaan berdasarkan komunitas organisasi. Dan, fatwa atau pendapat Ulama’ itu hanya dipandang sebagai satu pendapat, tidak lebih. Sementara ilmu yang ditimba umat dari Ulama’, atau penuntut ilmu, ada dalam dua level: untuk pribadi dan keluarganya; dan untuk relasi publik. Dalam bagian yang untuk pribadi dan keluarganya, dia bisa menerapkannya seketat mungkin; tidaklah masalah; tetapi untuk relasi publik di harus menetapkan dengan ukuran bukan seperti untuk pribadi. Pada bagian kedua dia harus mempertimbangkan: peraturan negeri yang ditetapkan oleh para Umaro’ dan relasi publik.
Bahwa ada sabda Nabi tentang Ahlu Bait, juga sabda Nabi tentang Ulama’; janganlah sampai melupakan ajaran-ajaran yang lain di dalam Islam tentang ketaatan kepada Umaro’ dan apa yang lahir dari mereka. Wilayah yang seperti ini ada di dalam relasi publik. Dan, dalam wilayah relasi publik itu, maka tuntunannya adalah wa amrûhum syurô bainahum dan antum a’lamu bi umûri dunyâkum; dan ini menyangkut bentuk negara, cara memilih pemimpin, dan yang berhubungan dengan itu, atau semua yang lahir dari situ; dan setelah itu “Atî`ullôha wa athî`ur Rosûl wa ûlil amri minkum.”
Salah satu dari bentuk penting dari Ulil Amri itu, adalah mereka yang telah diangkat oleh Kaum Muslimin, atau terikat perjanjian yang telah diikat oleh kaum muslimin, seperti kenyataan terhadap eksistensi bangsa Indonesia ini dan Umaro’nya. Maka dari sini, Ulama’ sebagai Warosatul Anbiya’, adalah para pemimpin kultural, yang mendidik umat. Sementara Umaro’ dan kepemimpinannya adalah orang yang memililki kekuatan menetapkan dan menegakkan hukum dari sudut politik-kekuasaan.
Dalam soal asalnya, memang bisa saja Umaro’ itu berkapasitas Ulama’, seperti Umar bin Abdul Aziz. Dan, dari sudut Ulama’, bisa saja mereka melihat berbeda-beda tentang Umaro’ yang memimpinnya. Akan tetapi Ulil Amri dan apa yang lahir dari mereka kemudian menjadi satu bagian lain, selain bagian al-Ulama, yang dinash harus ditaati oleh mereka yang mengikat, membuat, dan mengangkat Ulil Amri dan apa yang lahir dari mereka.
Dalam hal ini, seorang dari kalangan Ulama’, siapapun dia asalnya, sepatutnya mendidik umat untuk mengikuti proses hukum di dalan peraturan negeri, tidak pandang dia Habib, Kyai, Tuan Guru sekalipun; termasuk juga ustadz-ustadz Medsos; Doktor, professor, dan lain-lain. Meski begitu, kritik-kritik senantiasa harus dijunjung tinggi, dengan kritik-kritik yang membangun, memaslahatkan, bukan kritik-kritik yang memudharatkan, bukan menyebarkan berita bohong, apalagi sengaja menimbulkan kekacauan untuk tujuan politik.
Maka, dengan begitu bergeserlah Ulama’ itu, menjadi politisi sepenuhynya dengan baju Ulama’. Wallohu a’lam. []