Guru saya, segala rahmat dan kemuliaan semoga tercurah, waktu masih hidup berkali-kali diminta mengisi acara semacam pengajian di televisi, tapi selalu menolak.
Alasan beliau :
“kalau saya terima tawaran itu, saya tidak lagi mempunyai murid. Hubungan antara guru dan murid adalah hubungan hati, hubungan jiwa. Televisi membuat hubungan jiwa terputus antara guru dan murid”
Argumentasi guru saya itu menemui pembenarannya dalam sepenggal paragraf Matsnawi Maknawi, karya Jalaluddin Rumi. Sang “wali cinta” ini berseloroh :
“Jika kau ingin belajar pengetahuan teoritis, cara mendapatkannya melalui lisan. Jika kau ingin belajar keahlian, cara mendapatkannya melalui praktik. Jika kau menginginkan jiwa yang bersahaja lagi Zuhud, tergantung perkawananmu dengan seorang guru. Jiwa menerima pengetahuan dari jiwa, bukan melalui buku atau lidah.”
Seorang guru, yang benar-benar guru, ia menjadi pamong yang ngemong. Jiwanya hadir untuk menyentuh jiwa-jiwa para muridnya. Ia tidak hanya hadir secara fisik tetapi juga hadir secara batin.
Seorang guru, yang benar-benar guru, di kala sepi, ia melangitkan doa untuk murid-muridnya. Hatinya sungguh risau dan gelisah saat melihat murid-muridnya tak mengalami kemajuan spritual.
Guru, yang benar-benar guru, para muridnya tawadhu’ merendahkan hati. Di kala sepi, murid-murid itu melangitkan doa untuk gurunya.
Hubungan jiwa antara guru dan murid laksana hubungan sepasang kekasih yang dimabuk asmara, yang melampaui ruang dan waktu.
“Jika kau ingin mempunyai jiwa yang bersahaja, berkawanlah dengan guru, bukan dengan buku atau ucapan lidah,” seru Jalaluddin Rumi.
Dan, sekarang banyak bertebaran ustadz televisi dan ustadz medsos. Mereka sangat rajin tampil di layar kaca dan meng-upload ceramah berupa kata-kata. Namun, mereka bukan Guru. Tak ada hubungan jiwa antara sang penceramah dengan pendengar, hanya hubungan lidah dan telinga. Antara ustadz televisi dan ustadz medsos itu tak ada riwayat saling mengenal dan hubungan batin dengan para pendengarnya. Kamera menjadi sekat hubungan batin.
Mereka mempunyai banyak pendengar dan terkenal, tapi tidak punya murid. Mereka bak selebriti dengan banyak pemuja, menjadi trend setter, tapi bukan pamong yang ngemong; yang melangitkan doa untuk murid-muridnya.
Namun, apakah salah menjadi ustadz televisi atau ustadz medsos? “tidak, tidak salah”, karena ada jutaan manusia yang lebih rindu ucapan lidah daripada hubungan jiwa, karena banyak “guru” lebih rindu terkenal daripada membasuh jiwa.