Penceramah Evie Effendi kembali mencuri perhatian publik. Setelah rekaman video yang tersebar di dunia maya yang berisi ceramah mengenai malam Nishfu Sya’ban menuai kontroversi, Ustadz Evie kembali menuai kritik karena melakukan kesalahan fatal, membaca ayat Al-Qur’an dengan tidak memperhatikan Ilmu makharijul huruf, tajwid, waqaf dan lainnya dan dilakukan secara berjamaah.
Dari kesalahan Ustadz Evie tersebut kita perlu introspeksi diri bagaimana dan kepada siapa kita harus belajar agama secara baik dan benar. Agama sendiri mengajarkan kebaikan dan kedamaian, jika berkaitan dengan agama memicu respon atau riak-riak yang tidak baik, maka dapat dipastikan ada hal yang tidak beres dengan hal tersebut.
Meskipun Ustadz Evie tidak atau belum alim, namun dia mempunyai “kepiawaian” dalam berdakwah, mampu meringankan bahasa agama yang berat menjadi mudah untuk dipahami terutama oleh kalangan awam. Ustadz Evie menjadi angin segar bagi generasi muda yang tadinya jauh dari Agama. Hal inilah yang harus diambil sebagai pembelajaran bagi kita semua bahwa ada kalanya kita bisa belajar dari kesalahan yang pernah diperbuat.
Fenomena banyaknya muslim yang belajar agama tidak dari ahlinya atau hanya belajar secara instan serta kurangnya pemilahan dalam menerima dakwah atau ilmu agama menjadi hal yang sangat memperihatinkan. Apalagi dengan semakin majunya teknologi, kita melihat fakta bahwa kita dapat dengan mudah mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang banyak hal, termasuk ilmu agama misalnya dari Google dan Youtube. Suatu perkembangan yang sangat luar biasa dan menggembirakan di satu sisi, tetapi memiliki kekurangan disisi lain karena lebih bersifat satu arah. Sebab diantara pemahaman suatu ilmu, biasanya didapat dari bertanya.
Jika ada hal yang kurang dipahami atau ada pertanyaan terkait informasi yang kita peroleh, kita tidak bisa atau sulit bertanya secara langsung. Jalan keluarnya, biasanya kita mendiskusikan atau bertanya pada teman/orang lain/bukan ahlinya. Padahal, mereka juga boleh jadi bukan orang yang memiliki kepahaman ilmu agama yang memadai dalam hal tersebut, hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dan perdebatan yang tidak perlu. Yang lebih mengkhawatirkan adalah terjadi kesalahan yang sama-sama tidak diketahui oleh kedua belah pihak.
Dalam kaitannya dengan pentingnya belajar agama dari ahlinya, sudah jauh-jauh hari Rasulullah Muhammad SAW dan salafus sholih terdahulu mengantisipasi hal ini dengan pentingnya guru dalam mempelajari agama Islam. Mempelajari agama Islam itu perlu guru, demikian Nabi Muhammad SAW dan ulama-ulama besar terdahulu mengatakan. Nabi bersabda: “Barangsiapa menguraikan al-Qur’an dengan akal pikirannya sendiri tanpa guru dan merasa benar, sesungguhnya ia telah berbuat kesalahan.” (HR. Ahmad).
Dari Ibnu Abbas Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berkata mengenai Alquran tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di neraka”, (H.R. At-Tirmidzi). Imam al-Syafi’i juga berkata, “Barang siapa yang mencoba memahami agama melalui isi kandungan buku-buku maka ia akan menyia-nyiakan hukum atau kepahaman yang sebenarnya”. Bahkan, Imam Abu Yazid Al-Bustami ra dalam tafsir Ruhul Bayan mengatakan, “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya setan.” Semoga kita dijauhkan dari hal yang demikian.
Belajar dari buku dan media lainnya sangatlah bagus, namun tidak cukup, kita masih memerlukan penjelasan yang lebih dalam dan luas tentang pernyataan dan informasi yang kita baca dari kiai atau guru yang kredibel dan jelas sanad (mata rantai) keilmuannya. Belajar ilmu-ilmu terkait agama hanya melalui buku-buku/kitab-kitab tanpa guru (syaikh) yang berilmu mendalam, yang berpengalaman, yang mampu membimbingnya berpotensi terjerumus dalam pemahaman agama yang sesat atau setidaknya sempit.
Seringkali ada orang yang tidak menemukan guru ahli ilmu-ilmu agama yang bisa membimbingnya, sehingga ia belajar agama kepada sembarang orang yang tidak diketahui kepada siapa sebelumnya ia mendapatkan ilmu agama, tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas dan bersambung. Berbeda halnya dengan para Kiai, Tuan Guru, dan Ajengan di berbagai pondok pesantren yang tersebar di seantero nusantara, yang mata rantai ilmu keagamaannya jelas diperoleh secara bersambung dari para syaikh/guru mereka sebelumnya.
Oleh karena itu jika kita ingin mempelajari ilmu agama Islam, baik untuk diri sendiri maupun untuk disebarkan pada orang lain. Maka kita perlu berguru pada orang yang berilmu, yang dalam dan luas ilmu dan pemahaman agamanya. Para ulama, karena ulama adalah pewaris para Nabi yang tentunya akan menunjukkan kita kepada pencerahan dan jalan yang benar.