“Kasus ini antara Kita dan Mereka,” ucap Aarti Mohammed dalam film “Mulk”. Di sana ia membela ayah mertua yang tertuduh berkomplot dengan jaringan teroris.
Aarti adalah seorang perempuan beragama Hindu, yang menikah dengan Aftab Mohammed yang beragama Islam. India adalah salah satu negara yang tidak mempermasalahkan perkawinan antar agama dalam sistem hukum Negara.
Aarti yang hadir dalam pengadilan tersebut sebagai pembela, sedang melawan jaksa yang menuduh ada usaha pembiakan teroris di kelompok muslim India. Narasi yang dibangun oleh jaksa dalam persidangan adalah kelompok Islam telah mengkhianati “kebaikan” dari kalangan pemeluk Hindu, yang telah menyambut dan membolehkan mereka tinggal di India.
Dari asumsi tersebut, berbagai praduga jahat kemudian dikembangkan dan dibangun dengan memanfaatkan berbagai cara untuk memframing pandangan buruk orang Hindu terhadap kelompok Islam. Diantaranya yang dicontohkan dalam film tersebut, seperti menghubungkan nama Bilal, saudara ayah mertua Aarti, dengan nama sahabat Nabi Muhammad yang mengumandangkan azan.
Bagi Jaksa, azan yang telah berkumandang bebas di India disamakan dengan propaganda Islam yang menjejali kebenaran agama Islam, ke telinga pemeluk Hindu yang mayoritas setiap hari. Hal ini tentu turut memframing pemahaman baru tentang umat Islam, yang dianggap menyusupkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa menumbuhkan rasa kebencian baru.
Film “Mulk” bergenre fiksi diproduksi dari beberapa isu media cetak India beberapa tahun lalu, cukup menjadikannya potret prejudice antar kelompok agama di sana. Kelompok ultrakonservatif tidak hanya didapati di semua kelompok keagamaan, yang sering kita baru sadari kehadirannya sebagai masalah di tengah musim pemilu, seperti yang terjadi di India.
Dengan memainkan isu-isu primordial, mereka menyedot perhatian dan suara masyarakat. Ajaran agama adalah narasi primordial paling mudah untuk dijadikan bahan bakar emosi untuk membelah masyarakat. Padahal, entah disadari atau tidak, jika sudah membakar dan membara di masyarakat maka yang ada hanyalah kesulitan memadamkannya.
Gelombang ultrakonservatif kalangan pemeluk Hindu di India disebutkan sedang mengalami pasang. BJP, Bharatiya Janata Party, adalah partai yang dipimpin oleh Narendra Modi, notabene perdana menteri India sekarang, paling getol memakai narasi-narasi agama untuk menyedot suara rakyat. Hal yang sama juga dirasakan di beberapa negara, seperti Indonesia, Perancis, Brasil dan Amerika.
Kita ketahui bersama di mana Amerika dengan Trump dan India dengan Narendra Modi adalah beberapa contoh kebangkitan konservatisme tidak hanya di negara yang dekat dengan kultur agama, tapi juga negara dengan kultur demokrasi yang dianggap telah matang turut terseret dalam gelombang konservatisme ini.
Nasionalisme Hindu di India dan Evangilisme di Amerika turut mengipasi emosi rakyat dengan memainkan beberapa narasi agama. Segregasi antara kita dan mereka, yang disebut Aarti Mohammed di atas, merupakan permainan narasi paling awal dari segregasi agama. Persoalan ini tentu bisa merembet ke wilayah lain, seperti kesenjangan ekonomi, yang tentu tetap dikaitkan dengan identitas agama tertentu.
Pasca kabar kekerasan komunal terhadap komunitas muslim di India meledak, saya mengamati dalam lintasan linimasa media sosial, terutama Instagram, cukup banyak beredar meme, foto atau video plus update status yang ikut mendidihkan iklim relasi antar agama di Indonesia.
Kok Indonesia? Bagaimana bisa?
Pertanyaan-pertanyaan seperti terasa basi jika kita tanyakan sekarang. Sebab sedari awal kabar konflik di India meledak di dunia maya, kelompok konservatif cukup rajin mengupdate status di kanal-kanal media daring. Dengan memainkan foto atau video yang direproduksi guna menyebarkan kebencian dengan framing ketertindasan kelompok muslim, sekaligus menanamkan ketakutan posisi Islam semakin terancam.
Tidak hanya cukup dengan India yang baru saja meletus, Uighur, Rohingya hingga Palestina biasanya juga turut ditampilkan sebagai representasi diskriminasi yang dialami umat Islam. Hal tersebut mampu untuk mestimulus memori dan memanas-manasi emosi yang sudah terlanjur mendidih, akibat berbagai peristiwa politik identitas dan populisme di Indonesia yang terjadi beberapa dekade terakhir.
Bentuk dari kemarahan atau kebencian sekarang telah banyak berubah. Kita bisa melihat di luar amarah, perampasan, degradasi, penghinaan, atau kecemburuan sederhana dari yang kaya, harus ada beberapa motif tambahan yang mendorong orang untuk membenci, tindakan kekerasan, dan membuat kebohongan untuk membenarkan tindakan mereka, seperti pendidikan budaya, ajaran dan doktrin agama, dan penguasa otoriter yang berfungsi sebagai model bagi penguasa mereka dan mendorong tindakan mereka.
“Semua orang bisa bekerja menghasilkan uang, tapi tidak banyak orang yang bekerja untuk agama dan negara mereka”, begitu salah satu ucapan lain dalam film “Mulk”. Imaji berharga bagi negara dan agama sering membuat orang lupa diri, merasa keren bahkan hingga lebih beriman. Perpaduan hal tersebut, membuat narasi agama cenderung disalahgunakan sepihak oleh orang yang ingin mengambil jalan pintas.
Retorika kekerasan pada yang liyan dan minoritas akhirnya terasa menjadi suci, karena dilengkapi dalil-dalil doktrin agama. Apa yang terjadi di India sekarang tidak jauh berbeda kala sikap antipati terhadap kelompok muslim, tidak lagi hanya dibangun memori atau ingatan masa lalu relasi antar dua entitas dan imaji keaslian belaka.
Informasi di media sosial dan dunia maya terkait aksi ekstrimisme dari satu golongan akhirnya menjadi dalil baru terhadap cap atau stigma umum pada kelompok tersebut. Persebaran stigma menjadi lebih cepat dan luas dengan bantuan dua platfrom tersebut, terlebih pertumbuhannya malah bisa direproduksi sesuai konteks dan dinamika di mana pesan tersebut diedarkan.
Ekstrimisme oleh kalangan muslim di Timur Tengah, malah menjadikan sikap antipati tumbuh subur di India. Sebaliknya, penindasan kelompok muslim di Uighur juga membakar rasa curiga masyarakat Muslim di Indonesia terhadap kelompok Tionghoa. Dua contoh ini hanya sebagian kecil yang menuntut pekerjaan rumah terhadap menghadirkan keadilan dalam kehidupan manusia masih banyak.
Problematika stigma ini disebut Amartya Sen, pemikir asal India, sumbu utama diskriminasi pada kelompok tertentu. Negara dan rakyat Indonesia harus belajar dari konflik di India, dikotomi agama dan identitas bangsa harus dihadapi dengan hati-hati. Kelompok masyarakat adat yang sekarang masih berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara tanpa harus ada diferensiasi, segregasi dan stigma, harus segera diselesaikan oleh semua stake holder. Dari titik ini adalah langkah mulia untuk mewujudkan gagasan identitas sosial sebagai warga negara Indonesia, yang mulai menggeser dari imaji soal identik dengan diri sendiri menjadi berbagi identitas bersama orang lain.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin