Persekusi di Festival Ram Navami: Bukti Mayoritarianisme dan Islamofobia Masih Menghantui Muslim India

Persekusi di Festival Ram Navami: Bukti Mayoritarianisme dan Islamofobia Masih Menghantui Muslim India

Tragedi di India bisa terulang kembali di masa yang akan datang jika masyarakat dunia masih terjebak pada ego mayoritarianisme dan kebencian kepada satu kelompok.

Persekusi di Festival Ram Navami: Bukti Mayoritarianisme dan Islamofobia Masih Menghantui Muslim India
Bentrokan Ram Navami di Benggala Barat/dnaindia.com

Berabad-abad yang lalu, Islam merekam sebuah tragedi memilukan. Pada 13 Februari 1258, pasukan Mongol memasuki Baghdad kemudian menjarah dan menghancurkan masjid, perpustakaan, istana, rumah sakit, dan juga banyak bangunan bersejarah. Perpustakaan di kota Baghdad pun dihancurkan. Insiden itu menandai jatuhnya peradaban Islam era Abbasiyah dan musnahnya literatur-literatur penting dalam sejarah keilmuan Islam.

Serupa tapi tak sama, tragedi itu terulang lagi di India akhir Maret lalu.  Pada Jumat (31/3), massa penganut Hindu sayap kanan bentrok dengan massa Muslim di sejumlah kota di India saat festival keagamaan Ram Navami di akhir pekan bertepatan dengan bulan Ramadan. Seperti yang dikutip dari the Indipendent, bentrokan skala lebih besar terjadi di negara bagian Bengal Barat, Maharashtra, dan Gujarat. Bentrok dua kelompok itu juga dilaporkan terjadi di Delhi, Uttar Pradesh, dan Telangana. Prosesi kelompok Hindu tersebut digelar di area sensitif yang dihuni mayoritas warga muslim di kota-kota tersebut.

Insiden itu berbuntut pembakaran dan penghancuran toko-toko yang teridentifikasi milik warga muslim. Kerusuhan itu juga memicu pembakaran perpustakaan bersejarah di sekolah Muslim di Madrasah Azizia, Bihar Sharif, India Timur. Sekolah Islam berumur ratusan tahun itu didirikan oleh Bibi Soghra, seorang dermawan Muslim terkemuka, sekitar tahun 1900.

Rupanya, festival Ram Navami tidak pernah meninggalkan kesan positif dalam riwayat perayaannya. Kekerasan antar kelompok warga tersebut merupkan ulangan seperti bentrokan yang terjadi pada April tahun lalu saat perayaan Ram Navami padaa April. Kerusuhan berlanjut saat perayaan Hanuman Jayanti di bulan yang sama pada tahun itu.

Dalam festival tersebut, bentrok memang kerap terjadi utamanya ketika massa melintasi daerah komunitas Muslim. Saat kejadian, saksi mata melihat sekitar seribu massa membawa tongkat dan bom bensin menyerbu sekolah dan membakar perpustakaan bersejarah tersebut. Seperti yang dilaporkan Aljazeera, sebanyak hampir 5.000 buku, manuskrip, dan dokumen sejarah musnah ditelan api. Itu termasuk al-Qur’an dan buku-buku hadis yang berumur ratusan tahun.

Dalam tragedi itu, dilaporkan bahwa seorang satpam sekolah menyaksikan massa berteriak “Jai Shri Ram”, yang berarti “Salam Sembah Tuhan Ram”. Slogan itu sering dinilai provokatif sebab digunakan kelompok Hindu sayap kanan dalam aksi “melawan” minoritas. Seperti yang disebutkan, massa juga merusak toko dan rumah milik warga Muslim.

Organization of Islamic Cooperation (OIC) mengatakan bahwa serangan selama festival Ram Navami itu adalah manifestasi nyata dari meningkatnya Islamofobia di India. Namun, selain itu, saya juga melihat bahwa tragedi itu juga banyak dipicu oleh watak mayoritarianisme pemeluk Hindu di India.

Sudah mafhum bahwa semakin dia punya kuasa, semakin besar juga potensinya untuk berbuat semena-mena. Teori ini terjadi di seluruh penjuru dunia, bahkan di negara kita, Indonesia. Watak majoritarianisme berbentuk ego bahwa mayoritas adalah pihak yang berhak mengatur ekosistem sosial di wilayahnya. Mereka berhak memutuskan mana kelompok yang boleh ada, mana yang harus hilang. Bahkan dalam tataran tertentu, mereka merasa “berhak” untuk menindas yang lain yang tidak sama dengan ideologi mereka.

Tidak hanya itu, ego mayoritarianisme cenderung menggunakan kepercayaannya untuk menjustifikasi apapun yang ia lakukan. Teriakan “Jai Shri Ram”, misalnya, bisa dilihat sebagai upaya penganut Hindu sayap kanan mengimplementasikan apa yang mereka anggap sebagai ajaran Tuhan. Mereka menganggap bahwa Tuhan memberi restu terhadap apapun yang mereka kerjakan, termasuk pelanggaran kemanusiaan sekalipun. Sekali lagi lagi, hal ini bisa berlaku dalam konteks masyarakat manapun.

Meski demikian, isu tentang islamofobia juga tidak bisa dikesampingkan. Islam menjadi agama terbesar kedua di India setelah Hindu. Islam masih lebih besar dibanding Sikh, Buddha, dan Kristen. Namun, kala itu pemerintah India mengesahkan Undang-undang kependudukan yang disebut dengan Citizenship Amendment Act (CAA). Ini bertujuan untuk mempercepat kewarganegaraan bagi warga Hindu, Parsis, Sikh, Buddha, Jain, dan Kristen yang teraniaya dan berada di India sebelum 31 Desember 2014. Akan tetapi, UU ini nyatanya tidak berlaku bagi umat Islam.

Politisi senior Partai Bharatiya Janata Party (BJP), K. S. Eshwarappa, mislanya, mengolok-olok suara adzan. Ini bermula ketika pidato Eshwappa tiba-tiba terputus ketika suara Azaan terdengar dari sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari tempat pidato tersebut. Ia mengatakan bahwa suara adzan sering membuatnya sakit kepala. Lebih lanjut, ia mengatakan mereka (Muslim) menyuarakan adzan karena Tuhan mereka tuli.

Meskipun secara de jure, konstitusi India berkomitmen soal toleransi kepada seluruh agama di India, pada faktanya secara de facto hal ini justru berlaku sebaliknya. Kebencian-kebencian ini banyak tercermin dari kebijakan-kebijakan pemerintahan India. Pada Maret 2022, misalnya, otoritas negara bagian India mengeluarkan larangan penggunaan hijab di lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas. Hal ini terjadi di wilayah Karnataka.

Islamofobia ini turut “dilanggengkan” oleh partai yang berkuasa di India saat ini, BJP. Partai yang mengusung PM Narendra Modi ini banyak melontarkan ujaran kebencian terhadap Islam melalui tokoh-tokohnya. Salah seorang Juru Bicara BJP, Nupur Sharma, dalam sebuah debat televisi misalnya kedapatan menghina Islam dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah konspirasi sebagaimana teori “bumi itu datar”.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ego mayoritarianisme dan islamofobia menjadi dua virus utama yang menyebabkan krisis sosial agama di India. Dalam kasus ini, umat Muslim menjadi pihak yang paling dirugikan sebab dua virus ini. Dilaporkan, jumlah Muslim di India mencapai 195 juta jiwa dari total 1,3 miliar populasi.

Insiden itu memang tidak semasif apa yang dilakukan Hulagu Khan pada Baghdad ratusan tahun yang lalu. Namun tetap saja, tidak ada kebenaran yang seharga nyawa manusia. Kejadian di India itu mengisyaratkan bahwa tragedi itu bisa terulang kembali saat ini dan yang akan datang jika masyarakat dunia masih terjebak pada ego mayoritarianisme dan kebencian kepada satu kelompok.