Tak hanya melalui pesan kuat dari Sekjen Kementerian Agama Nizar Ali yang mengingatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) agar selalu menjaga netralitas dan tidak mengikuti politik praktis Sabtu (10/9/2023), namun juga secara langsung sosok top leader Menteri Agama yang akrab dengan sapaan Gus Men, Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa setiap ASN Kementerian Agama untuk tetap bekerja optimal melayani umat beragama, dan jangan beri celah kepada pihak-pihak tertentu mendiskreditkan ASN Kemenag dan mengambil keuntungan politik, Kamis (4/1/2024).
Kebijakan penting Kementerian Agama mengenai sikap ASN dalam menghadapi hajat dan momentum demokrasi berupa Pileg dan Pilpres di tanggal 14 Februai 2024 mendatang, disandarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2022, Nomor 800-5474 Tahun 2022, Nomor 246 Tahun 2022, Nomor 30 Tahun 2022 dan Nomor 1447.1/PM.01/K.1/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.
Belajar dari payung regulasi progressif dalam bentuk SKB tersebut serta sikap keteladanan top leader aparatur Kementerian Agama di era 26 tahun pasca reformasi tersebut, alangkah asyiknya untuk menelusuri kembali jejak kebijakan yang mengarah pada kemaslahatan di masa awal lahirnya Kemenag 78 tahun silam.
Riwayat kebijakan netralitas aparatur Kementerian Agama pertama kali muncul di dalam salah satu poin Surat Edaran Kementerian Agama RI Jogjakarta No. 2/25/VII tertanggal 8 Djuli 1946.
Dalam surat edaran yang ditandatangani oleh Soenarjo, seorang pejabat Kepala Bagian (D) Hukum Kementerian Agama RI (atas nama Menteri Agama) itu, ditemukan 2 dari 9 poin utama tentang Kewajiban Djawatan Agama Daerah khususnya yang berkenaan dengan kebijakan politik keagamaan, antara lain:
Poin pertama, kewajiban menjaga kemerdekaan penduduk dalam memeluk dan beribadat menurut Agamanya dan Kepercayaan masing-masing, serta menghindari percekcokan atau ganggu mengganggu terhadap agama dan kepercayaan orang lain. Ini merujuk pada ayat al-Qur’an, la ikraha fi al-din, tidak ada paksaan dalam beragama.
Point kedua, kewajiban dan tanggung jawab aparatur negara untuk dapat membedakan kepentingan Negara yang lebih luas dari kepentingan Partai. Sehingga jika ada aparat negara tidak dapat membedakan kewajiban dan kepentingan itu, seharusnya mengundurkan diri dari jabatannya.
Konteks lahirnya kebijakan politik keagamaan di awal berdirinya republik yang bersifat progressif dan proporsional tersebut tidak terlepas dari beberapa kondisi yang meliputinya. Dari sisi internal kelembagaan, wujud Kementerian Agama sebagai salah satu institusi sah dalam pemerintahan Republik Indonesia senantiasa dituntut membuktikan raison de atre kelayakan pelayanannya yang berporos pada kepentingan atau hajat publik luas. Rujukan filosofis atas kandungan ayat la ikraha fi al-din dalam surat edaran di atas, menjadi landasan kokoh dan otoritatif tentang keniscayaan nilai universal dari ajaran keagamaan.
Asbabul wurud dari amanat konstitusi dalam menjaga kemerdekaan beragama, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran 8 Juli 1946 itu, di antaranya disebabkan peristiwa-peristiwa percekcokan maupun bentrokan yang terjadi di level masyarakat, mulai dari penyerbuan sekelompok golongan terhadap pagelaran wayang, ancaman bagi mereka yang tidak bersembahyang hingga anjuran membunuh anjing tak bertuan. Kondisi pertentangan sikap dan perilaku keagamaan yang memprihatinkan itu sangat merugikan keadaan Republik Indonesia yang secara faktual sedang berada di fase perjuangan revolusi fisik dan mutlak membutuhkan persatuan.
Dalam hal kepentingan politik keseimbangan antara kemampuan Negara untuk memberikan hak dan jaminan kemerdekaan beragama bagi warganya, ghalibnya dituntut pula menjaga aspek proposionalitas para aparaturnya guna mewujudkan nilai keadilan, persatuan serta keharmonisan.
Kondisi Kementerian Agama di fase 1946-an (bahkan hingga 1950-an) adalah fase yang menjadi batu ujian, akan lulus atau gagalnya eksperimentasi kehadiran Agama dalam ranah politik Negara modern yang demokratis dan proporsional. Bagi segenap aparatur Kementerian Agama, ujian proposionalitas di ranah pemerintahan demokratis secara nyata muncul dari tantangan memadu-padankan antara kepentingan personal dengan kepentingan hajat publik yang lebih luas.
Konteks yang kembali dijelaskan dalam Surat Edaran 8 Juli 1946 itu, disebutkan bahwa “hampir kebanyakan kebanjakan dari aparat Kementerian Agama saat itu adalah anggota Partai Islam Masjumi. Karenanya, agar para aparat dapat membeda-bedakan kewadjiban terhadap partai serta terhadap Negeri. Kadang-kadang kepentingan dari partai dan Negeri sama, kadang-kadang tidak. Pada umumnja karena Negera mendjamin kemerdekaan Agama dari tiap-tiap penduduk, kewadjiban terhadap Negeri harus bersifat luas, dapat mengomong segala aliran Agama yang ada di daerah Tuan-tuan. Barang siapa jang tidak dapat membeda-bedakan kewadjibannja ini seharusnya mengundurkan diri dari djabatannya”.