Pemilu 2024 dan Bayang-Bayang Dwifungsi: UU ASN Pukul Mundur Demokrasi dan Reformasi

Pemilu 2024 dan Bayang-Bayang Dwifungsi: UU ASN Pukul Mundur Demokrasi dan Reformasi

Pemilu 2024 dan Bayang-Bayang Dwifungsi: UU ASN Pukul Mundur Demokrasi dan Reformasi
Politisasi identitas kita menguat dan apakah ini karena militer yang mencengkeram kita satu dekade ini? Pict by Toto Prastowo

Demokrasi tumbuh subur dengan adanya perbedaan yang jelas antara peran militer, kepolisian, dan sipil. Ketika batas-batas ini kabur, ada alasan untuk khawatir, sehingga pengesahan undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baru— yang disahkan sebagai undang-undang ASN (UU No. 20 tahun 2023)— pada tanggal 2 Oktober seharusnya membunyikan lonceng peringatan.

Hal ini dikarenakan Pasal 19 dari undang-undang tersebut mengizinkan anggota militer dan polisi yang masih aktif untuk menduduki jabatan sipil. Dan undang-undang tersebut menawarkan timbal balik, dengan Pasal 20 juga mengizinkan warga sipil untuk mengambil peran polisi dan militer.

Jika dilihat sepintas, undang-undang baru ini tampaknya mengantarkan era baru kerja sama, yang memungkinkan warga sipil untuk menduduki peran kepemimpinan dalam kepolisian dan militer dan sebaliknya. Namun, jika ditelaah lebih dalam, hal ini tampaknya lebih merusak.

Pertama, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kepraktisan. Apakah seorang warga sipil benar-benar memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tinggi di kepolisian? Dan sebaliknya, apakah seorang pejabat militer siap menghadapi kompleksitas pemerintahan sipil?

Yang lebih penting lagi, hal ini menimbulkan keraguan mengenai motivasi sebenarnya di balik undang-undang tersebut. Dengan pemilihan presiden yang akan segera berlangsung, apakah undang-undang baru ini menandakan adanya campur tangan dalam pemilu?

Mulai Kaburnya Sejarah

Secara historis, militer dan kepolisian Indonesia memainkan peran ganda selama Orde Baru yang otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto, menjalankan fungsi militer dan sipil.

Secara resmi dikenal sebagai ‘dwifungsi’, doktrin ini merupakan inti dari rezim Orde Baru— memiliki militer yang tertanam kuat dalam pemerintahan membantu Soeharto untuk tetap berkuasa dan mempertahankan kontrol selama masa-masa penuh gejolak sejak 1966.

Pada 1998, kejatuhan Soeharto dan munculnya era Reformasi membawa demokrasi dan dengan itu, mengakhiri dwifungsi. Reformasi hukum dan politik membatasi keterlibatan langsung polisi dan pejabat militer dalam pemerintahan sipil.

Era Reformasi mengasumsikan adanya pemisahan yang jelas antara perwira militer/polisi dan warga sipil selama pemilihan umum. Peran prajurit dan perempuan yang diharapkan adalah untuk membantu menjaga proses pemilu yang aman dan adil—bukan untuk mempengaruhi hasil atau memasuki pemerintahan.

Dalam konteks ini, undang-undang ASN yang baru sangat kontroversial. Undang-undang ini berisiko menghidupkan kembali peran ganda di masa lalu, membawa tentara kembali ke dalam pemerintahan dan mengancam untuk merusak kemajuan demokrasi di Indonesia.

Tanda-tanda lain dari kemunduran demokrasi

Banyak pakar yang mengomentari kemunduran demokrasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Pasal 19 dari undang-undang ASN yang baru hanya mendukung pandangan ini karena membuka kembali pintu bagi polisi dan militer untuk kembali mengambil peran yang lebih aktif dalam politik Indonesia.

Kecepatan dan kurangnya transparansi dalam proses pembuatan undang-undang ini sangat memprihatinkan. Pencantuman klausul yang kontroversial secara tiba-tiba, tanpa adanya draf yang tersedia untuk umum di situs web Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melemahkan peran DPR dalam memeriksa undang-undang untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.

Dari sudut pandang praktis, perubahan ini juga berisiko melemahkan standar profesional. Militer dilatih untuk menggunakan kekerasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Pelatihan dan pola pikir ini dapat membawa mereka ke dalam konflik dengan para teknokrat. Hal ini juga menciptakan risiko solusi gaya militer diterapkan pada masalah-masalah sipil.

Dan, dengan adanya warga sipil yang kompeten untuk menjalankan peran-peran tersebut, kita harus bertanya mengapa anggota militer dan polisi harus memikul tanggung jawab sipil?

Mempertanyakan Integritas Pemilu 2024

Agar demokrasi dapat berfungsi, proses pemilu yang netral, bebas dari pengaruh eksternal yang tidak semestinya, sangatlah penting. Menjaga netralitas ini, terutama di pihak lembaga-lembaga kunci seperti polisi dan angkatan bersenjata, menjamin kredibilitas pemilu dan legitimasi hasil pemilu.

Namun, sistem komando teritorial tentara Indonesia membentang jauh ke desa-desa terpencil – jangkauan tentara Indonesia yang luas juga dapat menjadi alat yang ampuh pada saat pemilu jika seorang kandidat bersedia dan mampu menggunakannya untuk keuntungan politik.

Waktu perubahan yang diperkenalkan oleh undang-undang ASN–yang begitu dekat dengan pemilu—mengkhawatirkan. Hal ini mempertanyakan motivasi dari undang-undang tersebut dan menimbulkan pertanyaan apakah undang-undang tersebut dapat digunakan untuk mempengaruhi proses pemilu.

Perubahan tersebut tidak diragukan lagi menguntungkan Prabowo Subianto, yang merupakan mantan jenderal dan Menteri Pertahanan saat ini. Dia memiliki koneksi di seluruh angkatan bersenjata Indonesia dan tahu bagaimana cara kerjanya.

Perubahan-perubahan ini juga menjadi pertanda baik bagi Jokowi, yang putranya, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini diumumkan sebagai calon wakil presiden Prabowo. Dan, secara signifikan, pada tanggal 1 November Jokowi juga menunjuk seorang loyalis utamanya, Jenderal Agus Subiyanto, sebagai kepala angkatan bersenjata Indonesia.

Media dan Masyarakat Sipil Perlu Waspada

Jika dilihat dalam konteks Orde Baru dan Reformasi, UU ASN yang baru saja disahkan tampak regresif. Undang-undang ini tidak hanya mengaburkan perbedaan antara militer, kepolisian, dan pemerintahan sipil, tetapi juga memudahkan militer dan polisi untuk memberikan pengaruh yang tidak semestinya terhadap masalah-masalah sipil, termasuk pemilu.

Hal ini dapat menimbulkan persepsi – baik valid maupun tidak – mengenai peningkatan militerisasi atau politisasi birokrasi dan kembalinya militer ke posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Sentimen-sentimen semacam itu dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu dan penilaian internasional terhadap kualitas demokrasi Indonesia.

Dengan adanya dinamika tersebut, masyarakat sipil dan media di Indonesia harus tetap waspada pada tahun 2024. Mereka harus menjaga norma-norma demokrasi, menilai secara kritis perubahan legislatif, dan mempromosikan wacana publik yang terinformasi. Media akan sangat penting untuk menganalisis perubahan ini secara tidak memihak dan mengedukasi masyarakat tentang konsekuensinya.

Dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu, potensi UU ASN untuk merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu menjadi sangat besar. Kini, di titik krusial, Indonesia menghadapi sebuah pilihan—apakah akan membiarkan perubahan-perubahan yang terjadi belakangan ini merusak kemajuan demokrasinya? Atau akankah Indonesia memperkuat fondasi demokrasinya untuk melawan pengaruh militer yang semakin kuat dan kemunduran demokrasi lebih lanjut?

Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.

Demokrasi tumbuh subur dengan adanya perbedaan yang jelas antara peran militer, kepolisian, dan sipil. Ketika batas-batas ini kabur, ada alasan untuk khawatir, sehingga pengesahan undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baru— yang disahkan sebagai undang-undang ASN (UU No. 20 tahun 2023)— pada tanggal 2 Oktober seharusnya membunyikan lonceng peringatan.

Hal ini dikarenakan Pasal 19 dari undang-undang tersebut mengizinkan anggota militer dan polisi yang masih aktif untuk menduduki jabatan sipil. Dan undang-undang tersebut menawarkan timbal balik, dengan Pasal 20 juga mengizinkan warga sipil untuk mengambil peran polisi dan militer.

Jika dilihat sepintas, undang-undang baru ini tampaknya mengantarkan era baru kerja sama, yang memungkinkan warga sipil untuk menduduki peran kepemimpinan dalam kepolisian dan militer dan sebaliknya. Namun, jika ditelaah lebih dalam, hal ini tampaknya lebih merusak.

Pertama, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kepraktisan. Apakah seorang warga sipil benar-benar memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tinggi di kepolisian? Dan sebaliknya, apakah seorang pejabat militer siap menghadapi kompleksitas pemerintahan sipil?

Yang lebih penting lagi, hal ini menimbulkan keraguan mengenai motivasi sebenarnya di balik undang-undang tersebut. Dengan pemilihan presiden yang akan segera berlangsung, apakah undang-undang baru ini menandakan adanya campur tangan dalam pemilu?

Mulai Kaburnya Sejarah

Secara historis, militer dan kepolisian Indonesia memainkan peran ganda selama Orde Baru yang otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto, menjalankan fungsi militer dan sipil.

Secara resmi dikenal sebagai ‘dwifungsi’, doktrin ini merupakan inti dari rezim Orde Baru— memiliki militer yang tertanam kuat dalam pemerintahan membantu Soeharto untuk tetap berkuasa dan mempertahankan kontrol selama masa-masa penuh gejolak sejak 1966.

Pada 1998, kejatuhan Soeharto dan munculnya era Reformasi membawa demokrasi dan dengan itu, mengakhiri dwifungsi. Reformasi hukum dan politik membatasi keterlibatan langsung polisi dan pejabat militer dalam pemerintahan sipil.

Era Reformasi mengasumsikan adanya pemisahan yang jelas antara perwira militer/polisi dan warga sipil selama pemilihan umum. Peran prajurit dan perempuan yang diharapkan adalah untuk membantu menjaga proses pemilu yang aman dan adil—bukan untuk mempengaruhi hasil atau memasuki pemerintahan.

Dalam konteks ini, undang-undang ASN yang baru sangat kontroversial. Undang-undang ini berisiko menghidupkan kembali peran ganda di masa lalu, membawa tentara kembali ke dalam pemerintahan dan mengancam untuk merusak kemajuan demokrasi di Indonesia.

Tanda-tanda lain dari kemunduran demokrasi

Banyak pakar yang mengomentari kemunduran demokrasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Pasal 19 dari undang-undang ASN yang baru hanya mendukung pandangan ini karena membuka kembali pintu bagi polisi dan militer untuk kembali mengambil peran yang lebih aktif dalam politik Indonesia.

Kecepatan dan kurangnya transparansi dalam proses pembuatan undang-undang ini sangat memprihatinkan. Pencantuman klausul yang kontroversial secara tiba-tiba, tanpa adanya draf yang tersedia untuk umum di situs web Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melemahkan peran DPR dalam memeriksa undang-undang untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.

Dari sudut pandang praktis, perubahan ini juga berisiko melemahkan standar profesional. Militer dilatih untuk menggunakan kekerasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Pelatihan dan pola pikir ini dapat membawa mereka ke dalam konflik dengan para teknokrat. Hal ini juga menciptakan risiko solusi gaya militer diterapkan pada masalah-masalah sipil.

Dan, dengan adanya warga sipil yang kompeten untuk menjalankan peran-peran tersebut, kita harus bertanya mengapa anggota militer dan polisi harus memikul tanggung jawab sipil?

Mempertanyakan Integritas Pemilu 2024

Agar demokrasi dapat berfungsi, proses pemilu yang netral, bebas dari pengaruh eksternal yang tidak semestinya, sangatlah penting. Menjaga netralitas ini, terutama di pihak lembaga-lembaga kunci seperti polisi dan angkatan bersenjata, menjamin kredibilitas pemilu dan legitimasi hasil pemilu.

Namun, sistem komando teritorial tentara Indonesia membentang jauh ke desa-desa terpencil – jangkauan tentara Indonesia yang luas juga dapat menjadi alat yang ampuh pada saat pemilu jika seorang kandidat bersedia dan mampu menggunakannya untuk keuntungan politik.

Waktu perubahan yang diperkenalkan oleh undang-undang ASN–yang begitu dekat dengan pemilu—mengkhawatirkan. Hal ini mempertanyakan motivasi dari undang-undang tersebut dan menimbulkan pertanyaan apakah undang-undang tersebut dapat digunakan untuk mempengaruhi proses pemilu.

Perubahan tersebut tidak diragukan lagi menguntungkan Prabowo Subianto, yang merupakan mantan jenderal dan Menteri Pertahanan saat ini. Dia memiliki koneksi di seluruh angkatan bersenjata Indonesia dan tahu bagaimana cara kerjanya.

Perubahan-perubahan ini juga menjadi pertanda baik bagi Jokowi, yang putranya, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini diumumkan sebagai calon wakil presiden Prabowo. Dan, secara signifikan, pada tanggal 1 November Jokowi juga menunjuk seorang loyalis utamanya, Jenderal Agus Subiyanto, sebagai kepala angkatan bersenjata Indonesia.

Media dan Masyarakat Sipil Perlu Waspada

Jika dilihat dalam konteks Orde Baru dan Reformasi, UU ASN yang baru saja disahkan tampak regresif. Undang-undang ini tidak hanya mengaburkan perbedaan antara militer, kepolisian, dan pemerintahan sipil, tetapi juga memudahkan militer dan polisi untuk memberikan pengaruh yang tidak semestinya terhadap masalah-masalah sipil, termasuk pemilu.

Hal ini dapat menimbulkan persepsi – baik valid maupun tidak – mengenai peningkatan militerisasi atau politisasi birokrasi dan kembalinya militer ke posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Sentimen-sentimen semacam itu dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu dan penilaian internasional terhadap kualitas demokrasi Indonesia.

Dengan adanya dinamika tersebut, masyarakat sipil dan media di Indonesia harus tetap waspada pada tahun 2024. Mereka harus menjaga norma-norma demokrasi, menilai secara kritis perubahan legislatif, dan mempromosikan wacana publik yang terinformasi. Media akan sangat penting untuk menganalisis perubahan ini secara tidak memihak dan mengedukasi masyarakat tentang konsekuensinya.

Dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilu, potensi UU ASN untuk merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu menjadi sangat besar. Kini, di titik krusial, Indonesia menghadapi sebuah pilihan—apakah akan membiarkan perubahan-perubahan yang terjadi belakangan ini merusak kemajuan demokrasinya? Atau akankah Indonesia memperkuat fondasi demokrasinya untuk melawan pengaruh militer yang semakin kuat dan kemunduran demokrasi lebih lanjut?

Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.