Ubah Limbah Jadi Rupiah, Santri Pesantren Al-Fattah di Banjarnegara Berdayakan Minyak Jelantah

Ubah Limbah Jadi Rupiah, Santri Pesantren Al-Fattah di Banjarnegara Berdayakan Minyak Jelantah

Ubah Limbah Jadi Rupiah, Santri Pesantren Al-Fattah di Banjarnegara Berdayakan Minyak Jelantah

Tidak seperti kawan-kawannya semasa kuliah di Jogja yang banyak hijrah ke jakarta, Muzakki Mabrur memilih untuk pulang ke kampungnya di Parakancanggah, Banjarnegara. Sejurus setelah purna kuliah, dia mengabdikan diri untuk Pesantren Al-Fatah dan kalau senggang ia berbisnis.

Untuk diketahui, selain berstatus santri, Muzakki adalah salah satu putra pengasuh pesantren setempat, mendiang KH.  Hasyim Hasan Fatah dan Nyai Siti Mas’udah. Semenjak kedua orang tua Muzakki berpulang, maka tiba waktunya Zaki dan saudara-saudaranya untuk mengelola lembaga pendidikan tertua di desanya.

Sudah menjadi keseharian Zaki untuk mengajar kitab fikih dasar seperti safinah, tafsir yasin hingga berbagai qasidah di lingkungan pesantren dan masyarakat sekitar. Dengan total santri mencapai 3000-an, Zakki cukup sibuk untuk urusan pelayanan umat.

Di samping itu, ada cukup banyak industri yang hidup berdampingan dengan aktivitas masyarakat pesantren. Pengelola industri mikro seperti laundry, peralatan atk, hingga yang paling dasar, makanan, semuanya menunjang kebutuhan kebutuhan dasar santri

Makanan, misalnya, merupakan kebutuhan yang paling tidak bisa ditinggalkan oleh manusia. Aktivitas produksi makanan di pondok ini dilakukan oleh pengelola pesantren. Tak luput, salah satu limbah dari proses produksi makanan yang paling sulit diolah adalah minyak goreng yang sudah dipakai berulang kali, atau kerap disebut sebagai “minyak jelantah”.

Biasanya, minyak jelantah ini berakhir di pembuangan, baik ke dalam sanitasi atau bahkan lebih parah lagi, ke sungai. Padalah, membuang minyak jelantah sembarangan dapat berakibat serius bagi lingkungan. Satu penelitian menyebutkan bahwa setiap satu liter minyak jelantah yang dibuang sembarangan, minyak itu akan mencemari 1.000 liter perairan di lingkungan. Selain air, ketika minyak jelantah membeku, ia bisa menyumbat pori-pori tanah dan saluran air.

Berbekal kesadaran bahwa persoalan limbah tidak bisa dibiarkan, Zakki berpikir bagaimana caranya membuat jelantah ini bisa bermanfaat, alih-alih menciptakan kemudaratan bagi lingkungan. Setelah berdiskusi dan mencari tahu tentang kemungkinan pengelolaan minyak jelantah ini, Zakki menemukan terobosan yang cukup ciamik.

“Banyak limbah yang belum terolah secara baik. Ini menjadi masalah tapi juga potensi ekonomi. Minyak jelantah bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif seperti biodiseel. Memang, teknologi ini tidaklah murah, tetapi ongkos yang harus dibayar akan jauh lebih mahal jika kita membiarkan persoalan limbah,” ujarnya.

Bermodal beberapa jerigen, Zaki mulai mengumpulkan minyak jelantah. Tidak hanya di lingkungan pesantrennya, tapi juga di lingkungan sekitar. Terkadang Zakki juga menawari saya untuk membantunya mengumpulkan minyak jelantah di Jogja, namun karena satu alasan yang cukup menjelentahkan, rencana itu pun buyar. Zakki sepertinya memafhumi kemageran saya. Dan, dengan segala ketangkasannya, dia pun menemukan jalan untuk mengumpulkan jelantah juga di Jogja. Satu mobil pickup cukup untuk operasionalnya.

Zaky memastikan, bahwa jelantah yang ia kumpulkan diolah menjadi biodisel, alias bukan dijual lagi sebagai minyak curah.

“Kami langsung ke pengolah,” tutur Zaki

Untuk minyak jelantah yang terkumpul, Zakki menyetornya ke satu perusahaan pengolahan minyak jelantah yang sudah besar, saban sepekan atau waktu lain yang ditentukan. Walhasil, usahanya untuk menyelesaikan persoalan pencermaran lingkungan kini berbuah laba.

“Setiap liternya dapat ditukar menjadi uang, besarannya tergantung pada kondisi dan pasar. Jadi, lumayanlah,” jawab Zaki ketika ditanya berapa uang yang dihasilkan dari bisnis limbah ini

Tidak cukup dengan minyak jelantah, Zakki rupanya juga menjamah limbah lainnya: snack kadaluarsa dan tepung terigu bumbu bekas pembuatan ayam goreng.  

“Limbah snack dan tepung pembuatan fried chicken ini bisa digunakan untuk mengganti jagung atau katul sebagai pakan hewan ternak. Jadi limbah frienchicken ini dikeringkan terlebih dahulu di bawah sinar matahari, lalu digiling kembali menjadi tepung,” terangnya.

Apa yang dilakukan Zakki itu ternyata ada ‘dalilnya’. Satu riset menunjukkan bahwa mengganti pakan ternak seperti burung putuh dan ayam bisa meningkatkan bobot badan dan umur dewasa kelamin unggas.

“Jika kamu punya limbah seperti itu, berikan sama saya saja,” kata Zakki sambil terkekeh.

Selain bermotif ekonomi, upaya mengolah limbah ini juga dilatari oleh idealisme yang ditanamkan organisasi semenjak Zakki masih mahasiswa.

“Dulu kami belajar tentang NDP (Nilai Dasar Pergerakan) di PMII. Di dalamnya ada Tauhid, Hablum Minallah (hubungan transedental dengan Allah SWT), Hablun Minan Naas (hubungan Immanen kepada sesama manusia), dan Hablun Minal ‘Alam (hubungan terhadap alam),” kisah dia menceritakan di mana Zakki dulu sempat aktif berproses.

“Jadi, berbisnis limbah merupakan sebuah upaya saling-jaga dengan alam sekitar, yaitu lewat pencegahan kerusakan lingkungan yang lebih parah, meski lewat tindakan kecil dan di mulai dari tingkat yang paling dasar, ekosistem sekitar. Kebetulan saya ikut membantu mengelola pesantren, jadi ya jalannya lebih mudah,” tambahnya.

Selain berbisnis limbah, kini Zakki bersama teman-temannya juga menjajaki bisnis kedai di Banjarnegara. Tidak sembarang kedai, ia ingin kedai ini menjadi ruang edukasi. Mereka menamai kedai ini dengan SIP, singkatan dari Sinau Islam Peace (Belajar Islam Dalai). Fokus kedai kopi ini tidak hanya perniagaan, tapi juga bagaimana ada kegiatan edukasi dan agama.

“Kami ingin kedai tidak hanya jual kopi, tapi juga jadi tempat diskusi yang hidup. Berkaca pada Jogja, banyak ide dan gerakan muncul dari warung kopi. Harapan kami, di Banjarnegara juga bisa begitu,” terang Zaki menjelaskan visi bisnis kedainya yang baru saja dimulai.

Pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa pesantren, dengan segala keberkahannya sebagai tempat menimba ilmu, tetap memiliki pekerjaan rumah seperti pengelolaan limbah. Kita bersyukur ada Zakki dan saudara-saudaranya yang membaca masalah itu dan menemukan solusinya. Semoga langkah ini menjadi contoh bagi pesantren-pesantren lainnya. Sebab, jika dipikir-pikir kembali, masih banyak limbah lain yang dihasilkan oleh aktivitas di pesantren.

Menurut pengalaman kamu, apa saja limbah yang pernah kamu jumpai selama mondok? [AK]

 

*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth