Wacana melagukan bacaan al-Quran dengan lagu Indonesia, sebenarnya sudah pernah dilontarkan oleh Menteri Agama saat itu, Bapak H. Mukti Ali, saat diadakan Musabaqah Tilawatil Quran ke-2 tahun 1972 di Surabaya. Saat itu, juga diluncurkan lagu-lagu pop Indonesia dengan lirik–lirik Arab atau al-Quran. Aransemennya digarap oleh Saudara Agus Sunaryo yang sekarang berada di Masjid Istiqlal Jakarta, sementara vokalisnya adalah penyanyi kondang saat itu, Fenty Effendi.
Namun, wacana tersebut akhirnya tenggelam. Lagu-lagu pop Indonesia dengan lirik al-Quran juga tidak lagi muncul ke permukaan. Secara umum mereka yang menolak kehadiran bacaan al-Quran dengan lagu Jawa itu, karena hal tersebut belum lazim di Indonesia.
Penggunaan lagu-lagu daerah untuk membaca shalawat, maulid Barzanji, dan Amdah (puji-puijian), sebenarnya sudah berkembang di tanah air dan tidak ada penolakan sedikit pun dari masyarakat. Kami melihat orang-orang di Riau khususnya Kabupaten Bengkalis dan Jambi, melantunkan solawat dan bacaan maulid Barzanji dengan lagu Melayu.
Di daerah Tasikmalaya, kami juga pernah mendengar orang membaca solawat Badar dengan lagu Sunda. Demikian pula di kalangan masyarakat Jawa dan Madura. Hal itu sudah berlangsung sangat lama, khususnya puji-pujian bahkan konon yang mendendangkan solawat dan puji-pujian itu adalah para wali antara lain Kanjeng Sunan Kalijaga.
Bahkan, menurut Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Budaya Jawa di Yogyakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, ia mengemukakan bahwa pencipta lagu-lagu Jawa populer yang lazim disebut lagu-lagu Mocopat yang terdiri sebelas macam lagu antara lain dandang gulo, sinom, mijil, dan sebagainya, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga. Bahkan lagu-lagu Mocopat itu sendiri merupakan rangkaian dari kisah kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal. Tujuannya tiada lain kecuali agar masyarakat Jawa akan lebih mudah menerima Islam dengan pendekatan budaya tersebut.
Membaca al-Quran merupakan ibadah. Sementara melagukan bacaan al-Quran adalah sebuah budaya. Sebagai sebuah ibadah, kita harus mengikuti aturan-aturan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah Saw. Dalam akidah dan ibadah, kita tidak dibenarkan membuat inovasi sendiri, sementara budaya tidak termasuk akidah dan ibadah, ia masuk wilayah muamalah. Dalam muamalah, pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Maka, melantunkan bacaan al-Quran dengan lagu Jawa, Sunda, Melayu, dan sebagainya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Agar bacaan tersebut tidak berbenturan dengan dalil yang mengharamkannya, maka bacaan al-Quran dengan lagu-lagu nusantara harus memenuhi empat syarat:
Pertama, ketentuan dalam kaidah-kaidah ilmu tajwid, kedua makhraj huruf, ketiga adab tilawah atau tatakrama membaca al-Quran, dan keempat lagu yang digunakan bukan lagu yang digunakan oleh orang kafir dan atau orang fasik, pelaku maksiat. Tujuannya agar kesakralan al-Quran tetap terpelihara sehingga tidak menjadi bahan pelecehan. Karenanya, melantunkan bacaan al-Quran dengan lagu Cucak Rowo tentu hal itu diharamkan karena melecehkan kesakralan al-Quran.
Problemnya, kita terkadang masih memiliki mindset bahwa apa yang datang dari Arab itu adalah baik, sedangkan yang datang dari luar Arab, tidak baik. Orang yang memakai surban selalu dianggap sebagai tetangga Nabi, padahal Abu Jahal juga memakai surban. Sementara ulama yang memakai jas dan dasi, diidentikkan dengan orang kafir padahal dia seorang ulama.
Banyak yang beranggapan di antara kita bahwa minyak samin yang bermerk babi adalah haram, sedangkan minyak babi yang bermerk unta adalah halal. Mindset seperti ini harus dibongkar dan dibangun kembali bahwa yang benar adalah apa yang sesuai dengan al-Quran dan Hadis, dan yang tidak benar adalah apa yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. Banyak pembaca al-Quran sekarang membacakan al-Quran dengan lagu-lagu yang diambil dari nyanyian para penyanyi Mesir, seperti penyanyi Wardah Al-Jazairiyah, pelantun lagu Magadir.
Masyarakat kita tidak pernah melakukan protes apa-apa padahal itu sudah termasuk ke dalam pelecehan al-Quran, sebab penyanyi Wardah Al-Jazairiyah menurut kacamata Islam, dia adalah minimal seorang pelaku maksiat. Dibanding dengan penyanyi dangdut perempuan Indonesia, masih lumayan penyanyi dangdut perempuan Indonesia karena di antara mereka ada yang tampil dengan memakai hijab (jilbab).
Sementara Wardah al-Jazairiyah tidak pernah tampil dengan mengenakan hijab. Namun anehnya, ketika ada pembaca al-Quran yang melantunkannya dengan lagu yang diambil dari irama Wardah, tidak seorang pun yang protes padahal hal itu adalah sebuah pelecehan terhadap al-Quran. Sementara, ketika ada orang melantunkan bacaan al-Quran dengan lagu Jawa, banyak orang protes, padahal lagu Jawa belum tentu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Lagu dandang gulo yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga ternyata dapat dipakai untuk melagukan surat al-Fatihah. Kendati tentunya, tidak persis seutuhnya.
Kita harus bisa membedakan mana yang agama dan mana budaya. Apa yang datang dari Nabi dan itu merupakan agama, maka kita wajib mengikutinya. Namun hal yang berkaitan dengan budaya seperti memakai surban, memakan roti, dan sebagainya, maka hal itu tidak wajib untuk kita ikuti.
Nabi memakai surban karena surban pakaian orang-orang Arab pada masa Nabi. Karenanya, memakai surban bukanlah sebuah ibadah. Bahkan untuk konteks Indonesia sekarang, seperti dituturkan oleh Syaikh Muhamad bin Shalih al-Utsaimin, memakai surban justru haram dilakukan karena ia dapat menjadi pakaian syuhrah (popularitas) dan menunjukkan kesombongan karena dengan pakaian itu, pemakai akan merasa lebih mirip dengan Nabi dibanding yang lain.
Sebaliknya, budaya-budaya non Arab juga tidak harus digusur selagi hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pakaian, kesenian, lagu, dan lain sebagainya, tetap harus dipelihara sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bukan bertentangan dengan perasaan, sebab perasaan bukanlah sebuah dalil. Boleh jadi, kita masih asing mendengar bacaan al-Quran dengan lagu Jawa.
Pada awal tahun 1970-an orang-orang juga merasa asing dengan lagu-lagu gambus yang berbahasa Indonesia. Namun, sekarang, tidak ada orang yang memprotes lagu-lagu gambus dengan lirik Indonesia. Sebagai budaya, biarlah dia mengalir sendiri. Kalau masyarakat menerima, ia akan bertahan dan berkembang, tetapi kalau masyarakat menolaknya, ia akan hilang dengan sendirinya.
Wallahu A’lam.
Artikel ini pernah terbit di Majalah Nabawi edisi 110, Rajab-Sya’ban 1436 H.