Segregasi antara kaum muslim seakan-akan meruncing, apalagi ditambah penolakan ustadz mualaf di Bangil, Jawa Timur (Baca: ustadz Mualaf itu dan Kelucuannya). Masing-masing mengklaim dirinya sebagai kaum pihak yang benar dan menyerang lawannya, ditambah bumbu media social, segalanya jadi kian tidak sehat.
Pemerintah Indonesia mendeklarasikan perang terhadap radikalisme, namun bagi saya penggunaan kata radikalisme sebagai lawan dari Islam rahmatan lil alamin atau Islam damai kurang tepat. Saya lebih setuju penggunaan kata militant. Kata ini ini lebih tepat untuk menyebut mereka yang oleh Muhammad Said Al-Ashmawy sebagai penghancur imej Islam sebagai agama yang damai.
Al-Ashmawy menegaskan gerakan militan ini memiliki ajaran yang perlu dilawan dan dijawab. Beberapa hal penting itu adalah:
Pertama, Islam sebagai agama tunggal, benar dan sempurna, oleh sebab itu mereka yang tidak beragama Islam harus diislamkan walau dengan cara perang. Melawan pemahaman seperti ini diperlukan keteguhan dalam menyampaikan bahwa ajaran Islam yang kita peluk ini sangat menekankan kedamaian bukan klaim kebenaran.
Alquran dengan menyebutkan Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan jalan yang berbeda untuk setiap Nabi yang menyebarkan ajaran. Musa diberikan jalan keadilan, Yesus diberikan cinta kasih, yang ditunjukan dengan tindakan pengorbanan diri. Sedang Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir diberikan jalan kombinasi antara jalan-jalan keadilan dan kasih sayang. Di ajaran Islam, pembalasan diperbolehkan tapi pengampunan lebih baik.
Islam adalah ajaran yang menyempurnakan bukan menyingkirkan ajaran-ajaran terdahulu.
Kedua, Doktrin politik adalah bagian ajaran Islam. Titik kesalahan dari doktrin ini adalah kurangnya klarifikasi apakah politik yang mereka maksud adalah bagian keimanan (baca:ajaran/dogma) atau masuk dalam sejarah Islam secara umum. Distingsi ini penting dibuat karena apabila politik dimasukkan dalam dogma atau ajaran Islam, maka ini akan menjadi dasar perlakuan mereka untuk menyingkirkan mereka yang tidak sepaham politik dengan mereka.
Sedangkan jika kita memasukkan politik sebagai bagian dari sejarah ajaran Islam, maka kita akan mengetahui bahwa negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil bukanlah negara yang menjadi rival oleh Islam. Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai sipil adalah cita-cita Islam dalam mewujudkan masyarakat dalam bingkai rahmatan lil alamin. Jika nilai satu agama mengeras dalam kenegaraan malah akan membelokkan negara tersebut dalam absolutisme, yang kemudian akan menjadi otoriter.
Ketiga, Segala tindakan penguasa adalah tindakan Tuhan. Ideologi ini ditanamkan untuk mengklaim bahwa jika kita tidak akan mendapatkan keberhasilan selama masih dipimpin oleh manusia, oleh sebab itu Tuhan sudah seharusnya memimpin manusia. Di sinilah terjadi distorsi oleh kaum militan, pemimpin mereka akan menjadi pemimpin yang bergerak atas “perintah” Tuhan.
Pemerintahan yang dibangun akan memiliki stempel “ketuhanan” untuk setiap kebijakan yang mereka ambil, dan dalam keadaan inilah iman, negara, peradaban dan kemanusiaan akan roboh sebab pemimpin akan sulit dimintai pertanggung jawaban bahkan hati nurani pun akan disingkirkan karena klaim setiap perilakunya selalu didasarkan perintah Tuhan.
Sudah seharusnya pemerintahan dijalankan atas nilai-nilai kemuliaan yang bisa didapatkan di agama-agama. Namun bukan berarti pemerintah akan anti kritik sebab klaim apapun keputusannya adalah perintah Tuhan, padahal kemungkinan saja itu hanya tafsiran sepihak dari pemerintah yang otoriter.
Keempat, Islam sebagai iman itu lebih dari nasionalisme. Islam sebagai seharusnya menjadi agama yang universal, bisa diterima di berbagai belahan dunia. Islam dan nasionalisme harus ditempatkan dalam proposisi yang tepat. Nasionalisme akan menumbuhkan rasa cinta akan tanah air juga menjaga hak-hak orang lain minoritas, oleh sebab itu sudah seharusnya nasionalisme tidak diklaim oleh satu agama apalagi satu kelompok. Jadi Islam dan nasionalisme seharusnya bukanlah hal yang harus dibentur-benturkan.
Kelima, Penerapan Hukum Islam yang membabi buta. Bagi kaum militan, penerapan dan tunduk kepada hukum Islam juga pembangkangan terhadap hukum selain hukum Islam adalah harga mati.
Keenam, Jihad adalah kewajiban paling tinggi dalam agama. Bagi kaum militan, ajaran Nabi Muhammad adalah penghapus jalan-jalan yang lain (sebut saja, Kristen dan Yahudi), mereka mempertahankan pandangan bahwa jihad sebagai jalan untuk memaksakan Islam kepada orang kafir kapan saja dan di mana saja. Inilah sebabnya mereka mempertahankan distingsi antara Dar al-Harb sebagai daerah yang dikuasai oleh kaum kafir yang berbeda dengan mereka dengan Dar al-Islam sebagai wilayah yang dikuasai oleh muslim.
Ketuju, Kaum militan selalu mendorong segregasi agama dan perjuangan sektarian. Hidup dalam komunitas sendiri dan melarang hubungan timbal balik antara muslim dan non muslim merupakan keyakinan paling utama bagi kaum militan. Mereka lupa bahwa kaum muslimin saat di Madinah masa awal saja sudah membangun kebangsaan yang berbeda-beda bukan cuma dikuasai secara sektarian.
Karakteristik ini dibaca sebagai ancaman bagi kehidupan yang damai dan selalu menjunjug tinggi nilai-nilai sipil. Hidup dalam bingkai xenophobik dan rasis ini selalu dibangun oleh kaum militan untuk melegitimasi aksi-aksi mereka yang secara sadar atau tidak sadar telah mencoreng nama Islam sebagai agama kedamaian. Tentu saja hal ini harus kita jaga lingkungan, daerah dan dunia dari perilaku destruktif ala kaum militan ini. Fatahallahu ‘alaihi futuh al-arifin.