Bagi kaum jihadis, jihad merupakan usaha untuk mengislamkan semua umat manusia. Mereka memahami bahwa tujuan penciptaan manusia di atas muka bumi ini hanyalah untuk mengesakan serta menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt.
Ini jugalah yang membuat mereka selalu membenci setiap orang yang berbeda secara keyakinan dengan mereka, baik dari kalangan non muslim sendiri yang nyata-nyata belum mengucapkan syahadat maupun terhadap muslim yang tidak mempunyai alur pemikiran yang sama dengan mereka. Termasuk muslim yang menjalin hubungan baik dengan non muslim ataupun mereka yang pernah melakukan kebid’ahan menurut versi dan standar akidah mereka.
Sikap ekstrim ini tidak hanya mereka sampaikan kepada sesama mereka, akan tetapi juga mereka dakwahkan kepada seluruh umat manusia. Hari ini mereka telah mempunyai jaringan yang sangat luas dengan metode dakwah yang juga sudah tersusun rapi dan sistematis. Tidak hanya dari mulut ke mulut sebagaimana yang lazim mereka lakukan sebagai jihad dengan lisan (dalam istilah mereka), namun juga sudah merambah ke dunia-dunia digital yang berbasis internet dan jaringan media sosial.
Mereka terus menyebarkan propaganda negatif yang membuat, jangankan non muslim, mereka yang sudah muslim dari awalpun menjadi resah dan gelisah. Seolah-olah nyawa manusia di mata mereka tidak ada artinya sama sekali.
Di antara hadis yang berkenaan dengan jihad dan selalu mereka sebarluaskan adalah hadis yang berbicara tentang Nabi yang diutus dengan pedang. Berikut teks lengkapnya :
عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : “بُعثْتُ بين يَدي السَاعة بالسيف حتى يعبدَ الله وحدَه لا شريك له، وجُعلَ رزقي تحت ظل رُمْحِي، وجُعل الذلةُ والصَّغَارعلى من خالف أمري، ومن تشبّه بقوم فهو منهم
Dari Ibn Umar, ia berkata : Rasulullah Saw telah bersabda, “Aku diutus dengan pedang di masa menjelang kiamat menjelang, hingga Allah sajalah Tuhan yang disembah dan Dia tidak dipersyerikatkan dengan sesuatu apapun. Riskiku dijadikan di bawah bayangan tombakku. Dijadikan hina dan kecil setiap orang yang menyelisihi perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia sama saja dengan mereka.
Dalam penelusuran Imam al-Suyuthi dalam Jami’ al-Ahadits-nya menyebutkan bahwa hadis tersebut terdapat dalam beberapa kitab induk hadis, seperti dalam Musnad Ahmad ibn Hambal, Musnad Abi Ya’la, kitab Musnad Syamiyyin Imam al-Thabarani, dan Syu’ub al-Iman al-Bayhaqi. Selain itu riwayat yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam al-Hakim al-Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah dan beberapa ulama hadis lainnya. Artinya secara sumber pengambilan, hadis ini memang ada dan diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis. Dalam penelitian hadis menemukan hadis, bukanlah tujuan, namun hanya langkah awal saja.
Selanjutnya bagaimana dengan kualitas hadis ini. Beberapa peneliti hadis, baik klasik ataupun kontemporer, pernah melakukan penelitian serius terhadap sanad hadis pedang ini. Salah satu di antaranya adalah Ibn Hajr al-‘Atsqalani dalam karyanya Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Ia mengatakan bahwa dalam sanad hadis tersebut terdapat salah seorang perawi yang bernama Abdurrahman ibn Tsabit ibn Tsauban di mana para ulama hadis berbeda pendapat dalam menilai kredibelitasnya. Selain itu, dalam sanad hadis tersebut juga terdapat nama Abu Munib yang menurut Ibn Hajar tidak diketahui nama aslinya.
Kalau kita runut ke belakang menggunakan referensi yang lebih klasik, al-Mizzi dalam karyanya Tahdzib al-Kamal juga menyebutkan perbedaan pendapat ulama dalam menilai status Abdurrahman ibn Tsabit ibn Tsauban ini. Beliau menyebutkan bahwa Imam Ahmad menilai bahwa hadis-hadisnya berstatus mungkar. Muhammad ibn Ali al-Warraq juga mengutip pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa Abdurrahman ibn Tsabit ibn Tsauban tidak kredibel dalam periwayatan hadis. Yahya ibn Ma’in, dalam salah satu perkataannya, juga menyebutkan bahwa ia berstatus dhoif (lemah).
Hal senada juga dilontarkan oleh Imam al-Nasa’i, ia menghukuminya sebagai perawi yang dhoif, laysa bi al-qawi (tidak kuat) dan laysa bi tsiqatin (tidak terpercaya). Sementara itu sebagian kritikus lainnya seperti Ali al-Madini menilai kalau ia tergolong perawi yang shaduq (jujur) dan saleh. Begitu juga dengan Abu Hatim, beliau berpendapat bahwa Abdurrahman ibn Tsabit ibn Tsauban adalah seorang yang tsiqah (terpercaya). Imam Abu Daud mengatakan bahwa ia adalah seorang yang mujab al-da’wah (doanya selalu terkabul) dan laysa bihi ba’s (tidak bermasalah dengan periwayatannya).
Referensi lain seperti Siyar A’lam al-Nubala’ karya Imam al-Dzahabi menyebutkan penilaian yang unik dari salah seorang kritikus yang bernama al-Auza’i. Ia mengatakan bahwa Abdurrahman ibn Tsabit ibn Tsauban adalah orang yang sudah tidak dibebani hukum agama lagi, alias gila. Pasalnya al-Walid ibn Mazyad pernah berjalan bersama dengan Abdurrahman ibn Tsabit ibn Tsauban dan al-Auza’i di suatu malam. Tiba-tiba saja ibn Tsauban menghunus pedangnya sembari menghadapkannya kepada mereka, lalu berkata : Sesungguhnya Allah Maha Kuat, maka tirulah oleh kalian.! (dengan nada yang tinggi sebagai tanda sedang emosi). Lalu mereka berdua mencela dan melindungi diri dari pedangnya.
Al-Dzahabi juga menilai kalau ibn Tsauban adalah seorang yang dianggap berideologi khawarij. Pasalnya dia pernah marah besar kepada Amirul Mukminin ketika itu, yaitu Abdurrahman ibn Mahdi lantaran dianggapnya sebagai pemimpin yang zalim tanpa alasan yang jelas. Bahkan dia juga, menurut riwayat al-Walid ibn Mazyad tidak mau untuk salat Jum’at di belakang pemimpin yang zalim menurut perspektif pribadinya. Sehingga kalau dilihat dari sisi ini, bisa saja riwayat yang dia sampaikan di atas dipengaruhi oleh ideologi keras yang ia anut, bukan semata-mata hadis Nabi yang dia sampaikan sebagai perawi hadis biasa.
Melihat banyaknya penilaian kritikus hadis terhadapnya maka dalam hal ini ahli hadis membuat sebuah kaedah umum yang menyebutkan bahwa jika seorang perawi diperselisihkan kredibelitasnya, maka penilaian yang diunggulkan adalah penilaian yang menganggap dia tidak kredibel. Alasannya adalah boleh jadi kritikus yang menganggapnya sebagai rawi yang kredibel tidak mengetahui sisi-sisi negatifnya sehingga mereka menilainya sebagai perawi yang tsiqah. Sementara itu para kritikus yang menganggapnya bermasalah pasti mengetahui sisi kebaikannya namun mereka lebih mengunggulkan sisi negatifnya untuk tujuan kemaslahatan agama. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas hadis yang ia riwayatkan.
Setelah mengetahui kualitas sanadnya, barulah kita bisa menilai redaksi hadis tersebut. Kalau diperhatikan selintas, hadis ini (jika benar adanya) muncul pada saat situasi keamanan tidak kondusif alias perang. Karena tidak mungkin hadis tersebut disampaikan Nabi pada saat damai alias tidak terjadi konflik apapun. Sehingga dapat diambil hipotesa sementara bahwa hadis itu hanya semacam teriakan motivasi Nabi agar para sahabat bersemangat untuk berjuang membela Islam di tengah ancaman orang-orang yang memerangi mereka. Hal ini sangat wajar dan logis bagi seorang pemimpin negara ketika melihat negaranya tengah dalam ancaman perang.
Yang menjadi masalah adalah, jika hadis tersebut disampaikan dalam konteksnya yang berbeda, seperti misalnya menerapkan hadis tersebut pada situasi damai seperti sekarang. Maka hal ini justru membuat makna hadis tersebut menjadi hilang dan tercerabut dari konteks asalnya. Selain itu, secara faktual hadis tersebut juga tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi ketika menjalin hubungan baik dengan non muslim yang berada di Kota Madinah. Bahkan sebagian dari besan Nabi juga ada yang tergolong non muslim tapi beliau tetap menghormatinya dan tidak memaksanya untuk masuk agama Islam.
Selain itu, hadis tersebut secara substansi, jika diterapkan secara literal, akan kontradiksi dengan beberapa ayat lain yang mengindikasikan perdamaian dan tidak adanya pemaksaan dalam hal beragama, seperti apa yang tersurat pada Q.S. Al-Baqarah : 256 dan Q.S. al-Kafirun : 2-5. Begitu juga, pemahaman yang tidak komprehensif akan membuat ayat ini akan bertentangan dengan pernyataan Allah Swt sendiri yang menyebutkan bahwa Ia telah menciptakan manusia yang sebagiannya ada yang kafir dan sebagian yang lain beriman (Q.S. al-Taghabun : 2). Lantas bagaimana mungkin seseorang akan melawan sunah-Nya.?
Tujuan jihad pada hakikatnya, sebagaimana ditulis oleh Ahmad Muhammad Buqarin dalam karyanya Mafhum al-Jihad wa Ahkamuhu Min Khilal Surah al-Anfal tidak hanya semata-mata untuk berperang, namun untuk menegakkan kalimat Allah ketika ia diganggu dan dilecehkan oleh non muslim yang harbi. Artinya perperangan yang dimaknai sebagai jihad hanyalah perperangan dalam mempertahankan agama ketika kaum muslimin diperangi oleh kelompok lain. Selain itu tujuan berperang adalah untuk melindungi orang-orang yang tengah terzalimi, mengusir musuh serta menjaga keutuhan agama Islam. Allahu A’lam