Ada tradisi membeli ‘baju lebaran’ sebagai bagian pokok dari momen menghadapi dan menjalani idul fitri. Tradisi yang sudah lama kita jalani namun belum sempat kita dalami secara kultur dan roso. Lalu, mengapa banyak yang sinis?
Kita memang belum sempat mengerti dari mana datangnya rasa menginginkan memakai pakaian baru saat lebaran tiba, tapi kita sudah dihantam dengan pendapat-pendapat sinis mengenai perilaku yang agak kelewat konsumtif itu dengan perilaku yang mubazir dan sangat tidak ada gunanya. Kalau ada salah satu di antara kita yang memiliki pendapat demikian, ya monggo saja. Yang mengkhawatirkan adalah ketika kita menjelekkan orang lain yang berperilaku demikian dan meminta mereka untuk mengikuti kita.
Bagi seorang penyair, perasaan rindu dan cintanya terhadap sesuatu hal ia luapkan melalui sajak-sajaknya. Yang tak hanya indah dari struktur katanya melainkan juga mampu mengunggah hal-hal dalam diri manusia yang belum mampu mereka temukan istilahnya tetapi sudah mereka temukan keberadaannya di dalam hati mereka. Sedangkan bagi seorang arsitek, ia akan meluapkan kecintaan dan kerinduannya terhadap suatu hal melalui bangunan yang dirancangnya. Kedua-duanya memiliki output yang berbeda, tetapi input dari output mereka berasal dari pergerakan pikiran dan keadaan hati yang serupa.
Idul fitri adalah hari di mana manusia menjadi baru kembali setelah ditempa melalui proses berpuasa di bulan Ramadlan. Secara naluriah, manusia akan berusaha melakukan hal-hal yang membuatnya merasa menjadi sebagai manusia yang baru, dengan kepribadian yang baru, dan dengan pandangan sosial yang baru pula.
Mengenakan pakaian baru adalah output dari perasaan hati manusia yang ingin terlahir kembali dan ingin menjadi pribadi yang baru. Andai kita punya banyak pekerjaan dan kesibukan, semoga kita tak tertarik untuk menghakimi tradisi budaya yang demikian sebagai sesuatu yang buruk. Karena segala perilaku memiliki alasannya. Karena segala tradisi dan budaya lahir dari proses berpikir dan perasaan hatinya sendiri.
Jika kita sudah kenyang dengan makan nasi satu piring, kemudian kita makan lagi itu adalah perilaku mubazir, bahkan hedonis. Jika kita mampu membeli pakaian baru dengan harga lima puluh ribu itu baik, tetapi itu menjadi mubazir, hedonis, dan konsumtif ketika kita membeli pakaian seharga lima puluh ribu tidak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita. Artinya, tradisi mengenakan pakaian baru di saat lebaran tidak langsung bernilai sebagai tradisi yang hedonis dan konsumtif. Karena makna hedonis serta komsumtif sangatlah luas dan tidak hanya berada di wilayah pakaian maupun makanan.
Soal kenapa masyarakat lebih suka berbelanja pakaian di mall ketimbang di pasar, itu ‘kan dosa kita bersama yang sangat diskriminatif terhadap pasar. Sehingga pasar selalu menjadi hal yang kumuh, warung barang-barang bajakan, dan tempat subur bagi para pencopet.
Namun yang terpenting, idul fitri adalah momentum kita untuk menjadi pribadi yang baru. Minad-dhulumati ilan-nur. Dari perasaan dan cara berpikir yang sempit, yang sumpek, dan yang kumuh menjadi perasaan yang lapang dan cara berpikir yang luas. Dan baik-buruknya suatu tradisi-budaya sangat terikat dengan cara kita berpikir dan cara kita merasakan.
Apa saja tradisi dan budaya kita dalam memaknai idul fitri, akan menjadi ijtihad serta jihad kita kepada Allah SWT jika dilandasi dengan cara berpikir dan perasaan yang fitri.