Makna Takbir Menurut Sang Professor

Makna Takbir Menurut Sang Professor

Allahu Akbar… Alllahu Akbar.. Allahu Akbar… kata ini membuat kita lebih kecil

Makna Takbir Menurut Sang Professor
pinters.com

Andai di hari Lebaran tak ada takbiran, bagaimanakah kiranya perasaan Anda? Mungkin terasa hambar, laksana teh tanpa gula atau gulai tanpa garam. Lebaran dan takbiran ibarat dua sisi mata uang yang sama. Keduanya seolah tak dapat dipisahkan.

Tetapi takbiran tak selalu mengesankan. Suatu hari, saya dan beberapa orang teman mengikuti Salat Id di gedung Mcgill Student Union, Montreal. Waktu itu, ada orang yang memimpin takbiran, tapi dengan nada yang datar, nyaris tanpa getaran indah sedikit pun. Saya merasa takbiran itu benar-benar hambar.

Keindahan alunan suara, apalagi diiringi dengan musik, memang dapat memengaruhi perasaan kita. Di dalam jiwa manusia, kata para sufi, ada sumbu api yang gampang terbakar oleh nada-nada indah. Tuhan itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Karena itu ada tarekat yang mengajarkan zikir dengan diiringi musik.

Namun keindahan musik dan suara hanyalah alat, bukan tujuan. Takbiran dengan suara merdu tentu menggairahkan. Tapi keindahan bunyi tak banyak artinya jika lupa makna atau isi takbiran itu sendiri. Apalagi jika yang takbiran sebenarnya hanyalah kaset rekaman, sementara kita sendiri asyik bercengkrama.

Mungkin ketidakpedulian pada makna takbir juga akibat seringnya mendengar dan mengucpkannya. Bukan hanya Lebaran, azan dan salat lima waktu juga mengandung banyak takbir. Apalagi kalau ada sejumlah masjid dan musala yang jaraknya berdekatan dan semuanya menggunakan pengeras suara. Suara takbir seolah bersahut-sahutan.

Sebaliknya, jika Anda tinggal di surau tempat di mana suara takbir amat langka, Anda mungkin akan merindukannya. Dalam suasana demikian, takbir lebih bergetar dan bermakna. Ia ibarat seteguk air jernih yang didapatkan musafir dahaga di gurun pasir sahara. Kelangkaan membuatnya lebih berharga.

Ini tidak berarti kita sebaiknya meninggalkan tempat yang ramai takbir menuju tempat yang sepi takbir. Yang ingin saya katakan adalah, betapa suasana dapat memengaruhi kepekaan hati kita pada makna. Dalam lingkungan di mana takbir begitu ramai, kita mungkin perlu sekali mengambil jarak agar kita tidak kehilangan maknanya.

Lalu apa makna takbir? “Allahu akbar” berarti Allah senantiasa “lebih besar” atau “terbesar”. Takbir merupakan kesaksian akan ketidakberbatasan Tuhan dan keterbatasan makhluk. Takbir adalah pengakuan bahwa hanya Dia yang sempurna, dan diri kita penuh dengan kekurangan. Takbir mengajarkan kita bersifat rendah hati.

Mungkin itu sebabnya, sejak lahir hingga wafat, Islam menuntun kita untuk selalu mendengarkan dan mengucapkan takbir. Kita dididik untuk selalu rendah hati dan tidak sombong. Sombong amat berbahaya karena membuat manusia lupa diri dan meremehkan orang lain. Sombong adalah sifat iblis.

“Anda sudah murtad, Allahu Akbar!” teriaknya, menuding saudaranya sesame muslim dalam suatu seminar. Teman-temannya ikut pula memekikkan takbir dengan gegap gempita. Apakah takbir semacam ini suatu kerendahan hati atau malah kesombongan?

(Penulis Mujiburrahman, Guru Besar di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, IAIN Antasari Banjarmasin. Alumni Pesantren Al-Falah Banjarbaru. Wakil Rektor IAIN Antasari 2013-1017. Artikel ini diambil dari buku Humor, Perempuan dan Sufi [Quanta, 2017] atas seizin penulisnya)