Refleksi Idul Fitri Seorang Penyair

Refleksi Idul Fitri Seorang Penyair

Refleksi Idul Fitri Seorang Penyair
pinterest.com

Di antara sesama kita yang muslim tidak selamanya harmonis. Ada yang bertikai karena keyakinan yang tidak sejalan.

Lebaran besok, akankah betul-betul saling memaafkan dengan penuh ketulusan dan saling mengakui kesalahan? Atau diam-diam akan tetap dirawat perseteruan itu hingga di akhir hayat?

Ada yang bertikai karena persaingan di medan ketokohan. Yang satu iri dan dengki pada yang lain. Demikian pula sebaliknya.

Lebaran besok, akankah betul-betul saling memaafkan dengan penuh ketulusan dan saling mengakui kesalahan? Atau diam-diam akan tetap dirawat perseteruan itu hingga di akhir hayat?

Ada yang bertikai karena persaingan dan salah paham di bidang sastra dan kesenian lainnya. Lalu saling benci dan seakan tidak pernah saling mengenal.

Lebaran besok, akankah betul-betul saling memaafkan dengan penuh ketulusan dan saling mengakui kesalahan? Atau diam-diam akan tetap dirawat perseteruan itu hingga di akhir hayat?

Ada yang saling memaki dan menumpahkan dengus kebencian di media sosial melalui kata-kata yang berlumuran darah, binatang dan kotoran dengan segenap percaya diri yang tidak kepalang.

Lebaran besok, akankah betul-betul saling memaafkan dengan penuh ketulusan dan saling mengakui kesalahan? Atau diam-diam akan tetap dirawat perseteruan itu hingga di akhir hayat?

Kawan-kawan, kita datang ke dunia ini, meskipun kita sebagai manusia konon merupakan makhluk pilihan, dengan membawa serta seabrek kekurangan dan kedaifan. Dari sinilah kemudian muncul, di antaranya, potensi pertikaian dengan sesama.

Andaikan puasa telah benar-benar mengantarkan kita pada kesadaran tentang kelemahan “primordial” itu, tentu kita tidak akan malu-malu untuk meminta maaf terlebih dahulu terhadap siapa pun yang pernah mengalami perseteruan atau hubungan tidak enak dengan kita.

Sebagai makhluk yang nisbi, tentu tidak ada apa pun yang bisa dimutlakkan pada diri kita. Tidak intelektualitas kita. Tidak spiritualitas kita. Bahkan tidak juga kesalehan sosial kita.

Semua itu “hanyalah” merupakan hidangan rahmat dari hadiratNya yang disesuaikan dengan keterbatasan kita.

Kawan-kawan, saya minta maaf ya. Kalau suatu waktu kita bersua, ayo bikin perjumpaan sehangat mungkin, ayo bikin pertemuan setulus mungkin.

Kita rayakan kelemahan kita dengan saling berbagi dan saling memaklumi.