Keberkahan Hari Raya Yang Hilang Akibat Pengeroyokan Online

Keberkahan Hari Raya Yang Hilang Akibat Pengeroyokan Online

Kala keberkahan hari raya Idulfitri tergeser oleh perbincangan status media sosial terkait dengan perbedaan pelaksanaan hari raya.

Keberkahan Hari Raya Yang Hilang Akibat Pengeroyokan Online
Ribuan umat Islam bersiap mengikuti Sholat Idul Fitri di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Provinsi Aceh. Foto: Kompas/Wisnu Widiantoro

Tahun ini, perayaan hari raya Idulfitri harus tercoreng karena perdebatan keras di media sosial. Perbedaan penetapan hari raya tahun ini disebut menjadi pangkal masalah tersebut. Bahkan, seorang pegawai pemerintah dilaporkan ke polisi, karena unggahan status di media sosial miliknya sangat provokatif, bahkan mengarah pada kekerasan, kepada pengikut salah satu organisasi Islam di Indonesia.

Awalnya, saya mengamati sekedarnya saja keributan di media sosial tersebut, karena kesibukan di akhir bulan Ramadan. Akan tetapi, sejak ada pelaporan dan penyidikan atas sosok pegawai tersebut, saya mulai mengulik lebih dalam permasalahan perbedaan penetapan hari raya sampai berujung ancaman penjara.

Perbedaan penetapan hari raya, baik Idulfitri atau Iduladha, sebenarnya sudah tak asing lagi dan menjadi bagian dari keberislaman kita. Isu perbedaan tersebut juga masih sering menyulut perbincangan hangat dan kadang berujung saling hujat. Fakta ini sebenarnya kita tidak bisa bantah. Walaupun, disparitas ini juga sering menjadi guyon atau bahan candaan kita di hari raya.

Satu poin dalam permasalahan ini yang menarik perhatian saya adalah “Pengeroyokan Online.” Mengapa? Sebelum polemik ini muncul, penulis senior, Jean Couteau, menulis sebuah artikel menarik berjudul “Pengeroyokan Digital.” Dalam kolom mingguannya itu, Couteau  menyebutkan bahwa aktifitas pengeroyokan yang sebelumnya terjadi di jalan, hari ini turut bergeser ke ranah internet. Nanti kita kembali ke sini lagi

Pengalaman yang Meninggalkan Trauma

Saya punya pengalaman pribadi yang berkesan hingga hari ini soal perbedaan penetapan hari raya. Dulu, sekitar akhir dekade 1990-an, sepulang dari salat tarawih di langgar dekat rumah, saya diberitahu oleh ayah saya bahwa esok kami salat hari raya, dan zakat fitrah pun sudah ditunaikan. Saat itu saya masih kecil tidak terlalu mengerti apa yang benar-benar terjadi.

Akan tetapi, saat perbedaan penetapan hari raya menjadi perbincangan publik, salah seorang anggota keluarga saya yang kala itu ayahnya menjadi ketua Tanfidziyah NU untuk wilayah Kalimantan Selatan membeberkan kisah yang berhubungan dengan ingatan saya tersebut. Saya baru mengetahui bahwa kisah ayah saya yang memutuskan untuk berhari raya lebih dahulu dibanding keputusan pemerintah itu dikarenakan beliau mengikuti putusan PBNU kala itu.

Ayah saya bukan orang saleh, namun menjadi pengikut NU yang militan. Sehingga, kala PBNU memutuskan untuk berhari raya lebih dahulu dibanding Pemerintah, dia memutuskan untuk mengikuti putusan tersebut. Namun, dari kisahnya, kerabat saya menyebutkan bahwa ayahnya memutuskan untuk mengadakan salat Ied secara diam-diam, termasuk menyebarkan kabar soal hari raya itu kepada masyarakat.

Keputusan PWNU saat itu mengadakan salat Ied secara diam-diam tersebut demi tidak memancing konflik, dengan masyarakat yang mengikuti keputusan Pemerintah. Beribadah harus tetap mengedepankan sisi kemanusiaan, termasuk tenggang rasa dan kebijaksanaan. Di kesempatan lain, saya juga pernah mengalami pengalaman yang cukup buruk dalam perbedaan dalam keberagamaan.

Kalimantan Selatan dikenal wilayah religius. Popularitas ini salah satunya dibuktikan dari ketaatan sebagian besar masyarakatnya. Bahkan, masyarakat Banjar di salah satu wilayah pesisir utara pulau Sumatera dikenal dengan sebutan “Bubuhan Masjid,” yang merujuk pada aktifitas masyarakat Banjar setiap waktu salat selalu memenuhi masjid di daerah tersebut.

Sebagai daerah yang dikenal religius, Kalimantan Selatan tentu memiliki pengalaman atas perbedaan pandangan keagamaan atau mazhab peribadatan. Konflik antara dua organisasi Islam besar di Indonesia sempat pecah di salah satu daerah di Kalimantan Selatan. Hal ini dipicu oleh perbedaan pandangan keagamaan atas salah satu ritual keagamaan yang rutin diselenggarakan oleh masyarakat Banjar.

Walau secara umum, memori konflik tersebut tidak lagi menganggu kehidupan beragama masyarakat Banjar, residu ingatan konflik tersebut masih tetap bisa dirasakan hingga hari ini, terlebih di satu atau dua dekade lalu. Misalnya, sahabat saya pernah ditolak oleh orang tua untuk menikahi kekasihnya karena alasan perbedaan organisasi tersebut. Teman saya yang lain bahkan sempat diinterogasi perihal keikutsertaan majelis taklim salah satu ulama di Kalsel. Dan ini menentukan apakah lamarannya dilanjutkan atau tidak.

Sebagaimana saya sebut di atas, saya dibesarkan dalam kultur tradisionalis yang cukup kental. Ketika kami sekeluarga pindah ke salah satu daerah, di dekat rumah kami berdiri dengan megah berdiri masjid dari organisasi lain. Walhasil, setiap mendekati dan hari pelaksanaan tradisi keberagamaan di kultur tradisionalis, caci maki, umpatan, hingga sarkasme, terdengar jelas lewat Toa Masjid tersebut.

Bisa dibayangkan, saya harus mendengarkan ceramah tersebut beberapa hari hingga sepulang dari pelaksanaan ritual-ritual khas Muslim Tradisionalis. Saya sempat jengkel karena pengurus masjid tersebut dengan sengaja memakai Toa luar masjid agar menjadi konsumsi publik. Walaupun, hari ini saya lihat masjid tersebut tidak seprovokatif dulu.

Saya yang besar di kondisi demikian sempat memiliki memori negatif terhadap organisasi tersebut. Dan memori buruk tersebut masih saya ingat hingga hari ini. Bahkan, saya sempat merasa tidak akan bisa benar-benar sembuh dari luka dari pengalaman tersebut.

Kembalikan Keberkahan Hari Raya

Agama menuntut keimanan dan keyakinan, sehingga wajar jika di titik-titik perbedaan di dalamnya akan selalu menjadi titik rentan konflik. Tidak peduli sekecil atau seremeh apapun, perbedaan tersebut bisa jadi awal pertikaian. Sebagian sarjana menyebutkan bahwa agama yang terkontaminasi narasi-narasi profan, macam politik, ekonomi, sosial, hingga kekuasaan, yang dapat menjadi sumber konflik.

Hingga kini, kita belum benar-benar mengetahui, apa motif atau dalih si pegawai tersebut memancing konflik di media sosial terkait penetapan hari raya? Namun, dari persoalan ini, kita bisa melihat bahwa perbedaan yang selama ini kita maklumi dan anggap telah selesai, masih bisa menjadi sumber konflik.

Di era internet seperti sekarang ini, kedewasaan keberagamaan kita akan terus diuji sepanjang waktu. Jika agama yang kita peluk benar-benar menjadi “Rahmat” bagi sekalian alam, maka ramhat tersebut juga harus dimanifestasikan di alam dunia maya juga. Menariknya, konflik penetapan hari raya ini beberapa kali berubah menjadi pengeroyokan online ke beberapa orang yang dianggap bersimpati atau mendukung pandangan keagamaan sang pegawai.

Saya yakin, akun media sosial pegawai tersebut pasti “diserbu” sebagian dari kita yang menganggap dirinya sebagai “pembela agama”, karena ingin mengungkapkan kekesalan, kegusaran, hingga kemarahan atas sikap dan kesalahan sang pegawai. Namun, serbuan atau pengeroyokan online ini seringkali mengarahkan “ujung senjatanya” secara membabi buta dan lupa untuk menahan diri. Walaupun, pengeroyokan online ini mengarahkan kepada penjahat sebenarnya, namun juga rentan mengarah kepada orang lain.

Sebab, konflik yang menyerek perbedaan penetapan hari raya ini sebenarnya menuntut kita untuk lebih bijak lagi dan memperkuat solidaritas kita sesama umat beragama. Di tengah kehidupan sehari-hari kita, termasuk keberagamaan, sudah tidak bisa benar-benar lepas dari media sosial. Dengan kondisi masyarakat kita yang memiliki memori yang beragam tentu mempengaruhi resepsi atas beragam konflik di media sosial.

Saya sendiri merasakan bagaimana harus bekerja keras agar memori negatif tersebut tidak mempengaruhi resepsi saya atas segala informasi atau hubungan pertemenan dengan kawan-kawan yang berasal, atau memiliki latar belakang, organisasi tersebut. Maka, saya merasa sudah saatnya kita mulai menghentikan perbincangan konflik ini dan menyerahkan kasusnya kepada yang berwenang.

Bagi saya, yang masih perlu dipertanyakan kesalehannya, keberkahan Hari Raya Idulfitri paling awal berarti makanan dan peredaran uang. Orang-orang saling berbagi makanan dan uang dalam jumlah yang tidak sedikit.

Sayangnya, keberkahan ini digeser dengan perbincangan status media sosial tersebut, sehingga menghilangkan suasana berkah tersebut di sebagian masyarakat Muslim. Kita sibuk membincang persoalan media sosial kala saling berkunjung di saat hari raya. Padahal, kita bisa saling merasakan beragam makanan dan kemungkinan mendapatkan uang dari pihak yang lebih tua atau lebih kaya di antara keluarga.

Menariknya, tradisi tersebut di era digital hari ini malah mendapatkan tafsiran baru. Sejak seminggu sebelum perayaan Hari Raya, media sosial sudah meributkan bahwa acara berbuka bersama di bulan puasa dan tradisi saling berkunjung di hari raya sudah “terkontaminasi” dengan ragam pertanyaan dan flexing anggota keluarga atau lingkaran pertemanan kita terkait hal-hal privasi kita.

Jika kita tarik ke persoalan perbedaan hari raya, keributan di media sosial, hingga pengeroyokan digital, sepertinya kita harus mulai mengembalikan keceriaan di hari raya. Sebagaimana perlawanan atas ragam pertanyaan soal jodoh, rezeki, hingga pekerjaan dari orang-orang terdekat kita di waktu buka puasa atau kunjungan di hari raya. Selain itu, keributan soal perbedaan hari raya kemarin juga membuktikan bahwa pekerjaan rumah kita untuk membangun tradisi keberagamaan yang menyejukkan masih panjang dan banyak.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

[NH]