Kisahku Sebagai Relawan Melihat Agama dan Kepasrahan di Banjir di Kalimantan Selatan  

Kisahku Sebagai Relawan Melihat Agama dan Kepasrahan di Banjir di Kalimantan Selatan  

Ini cerita tentang banjir di Kalimantan Selatan dan potensi agama yang harusnya tidak hanya jadi tempat untuk pasrah

Kisahku Sebagai Relawan Melihat Agama dan Kepasrahan di Banjir di Kalimantan Selatan   

Mungkin siapapun tak ada yang menyangka ketika sebagian besar banjir terjadi wilayah Kalimantan Selatan dapat dilanda banjir besar terparah sepanjang sejarah. Tak pelak, dalam hampir sebulan terakhir ada ratusan ribu orang harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Korban jiwa pun jatuh dan kerugian material tak terhindarkan.

Dalam kondisi tersebut, mayoritas masyarakat Banjar yang terkena Banjir di Kalimantan Selatan ini memiliki ceritanya masing-masing dalam menghadapi banjir. Seperti seorang pedagang Nasi Kuning yang mangkal di Terminal Kilometer 6 Banjarmasin, Tina (nama samaran), beberapa hari lalu berbagi kisahnya kepada saya. Dia menyebutkan bahwa di Kamis pagi (14/1) kemarin ketinggian air di depan rumahnya sudah mencapai lutut orang dewasa. Dengan terpaksa, dia mengagalkan niatnya untuk berjualan hari itu.

Sang suami pun berinisiatif menyusuri jalan besar di depan gang rumah mereka. Sang suami pun terkejut,  karena sudah berjalan tiga kilometer tidak ada sama sekali jalan yang tidak digenangi air dengan berbagai ketinggian. Mereka berdua pun memutuskan untuk membagikan Nasi Kuning yang telah dimasak kepada masyarakat sekitar, yang sebelumnya telah dibacakan doa Selamat.

Hari kedua (Jumat) hujan masih turun dengan deras di Kota Banjarmasin dan beredar kabar bahwa di daerah Hulu Sungai Tengah telah terjadi banjir bandang. Ketinggian air sudah mencapai paha orang dewasa, Tina dan suami pun memutuskan untuk mengungsi ke musalla di dekat rumah mereka karna rumah mereka telah digenangi air. Mereka pun bertahan di sana selama 16 hari di sana hingga air benar-benar surut.

Kisah Tina di atas mungkin hanya secuil dari pemandangan bencana banjir di Kalimantan Selatan. Masih bejibun cerita tragis dan sedih yang tersimpan dalam memori atau ingatan mayoritas masyarakat Banjar. Sebagian cerita tersebut diunggah di berbagai platform media sosial sehingga tagar #prayforkalsel sempat menjadi trending topic.

Memang, bencana banjir yang melanda sebelas Kabupaten/ Kota di Kalimantan Selatan tersebut mengundang berbagai respon di masyarakat Banjar. Di tengah keterbatasan pergerakan akibat ketinggian air dari mata kaki hingga dua meter lebih, media sosial diserbu warganet untuk sekedar bercerita, berkeluhkesah, hingga protes.

Menariknya, unggahan cerita atau kondisi banjir di Kalsel turut dibubuhi narasi agama di dalamnya. Berbagai narasi agama yang turut meramaikan berbagai unggahan status di media sosial tersebut berupa doa, bacaan salawat, hingga ungkapan kepasrahan yang dihadirkan bagian dari keberagamaan pribadi.

Paling awal beredar adalah berbagai doa atau amalan di media sosial dan aplikasi berbagi pesan macam WA dan Telegram. Kondisi banjir yang hadir dengan sangat cepat, doa dan amalan yang dihadirkan lewat kemajuan teknologi internet adalah respon paling logis untuk hadir di awal terjadinya bencana. Setelah, beberapa hari, wacana agama mulai bergeser pada pandangan yang lebih kosmik dan teologis.

Sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang akademisi dari kampus ternama banjir di Kalimantan Selatan sempat menjadi viral. Dia menyodorkan diksi “qadarullah” dalam melihat bencana banjir yang menenggelamkan sebagian besar Kalsel hingga hampir sebulan ini. Saya melihat diksi tersebut diksi tersebut tidak pantas dihadirkan di kala bencana banjir saat ini, terlebih diwacanakan oleh akademisi.

Sebab, seorang pedagang seperti Tina di atas, masih melihat bencana ini adalah sebagai akibat dari kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia. Tina juga mengatakan bahwa para konglomerat penambang batubara di pegunungan Meratus adalah pihak paling bertanggungjawab atas bencana banjir.

Tina memang bukan seorang akademisi apalagi otoritas agama yang memiliki kewenangan yang lebih untuk memandu masyarakat, namun kesadaran Tina tersebut disadarkan pada secuil pengetahuan bahwa keseimbangan alam yang telah dirusak karena alihfungsi lahan yang eksploitatif dan buas. Jangan-jangan kesadaran Tina tersebut yang seharusnya turut di-endorse oleh para akademisi dan otoritas agama yang memiliki pengaruh di masyarakat.

Sebab, selama ini kehadiran agama dalam kondisi bencana seringkali hanya berhenti pada respon luar belaka. Kita didorong untuk berdoa atau membaca sebuah amalan atau bacaan yang dianggap ampuh untuk menghentikan bencana. Mungkin, sebagai pencegah dampak kerusakan yang lebih luas, hal tersebut bisa digunakan. Namun, agama yang hadir tersebut malah cenderung memalingkan kita sebagai pemeluk dari pencegah bencana kembali lagi di lain waktu.

Saya seiras dengan apa yang ditawarkan oleh Kyai Muhammad al-Fayyadl ketika melihat hubungan antara Islam dan bencana ekologis. Dia menawarkan suatu keberislaman yang bekerja dalam kesunyian maupun keramaian untuk orang-orang yang dizalimi, dieksploitasi.

Keberislaman yang hadir di masyarakat untuk menghibur dan membesarkan hati orang-orang yang papa dan disakiti oleh hukum besi Dunia dan kelakukan amoral dari para Oligarki. Menariknya, Fayyadl melihat keberislaman tersebut harus memiliki perhatian intelektual dan moral pada kepentingan kaum tertindas dan kehendak membongkar tatanan yang tidak adil.

Fayyadl menegaskan bahwa sebelumnya kita harus mengakui bahwa berbagai wacana dan ideologi keislaman kita hari-hari ini kerap bukan lagi tampil sebagai problem solver, pengurai masalah, namun sebaliknya, problem maker, pembuat masalah (baru). Di mana, ketika kita semakin ber-Islam, alih-alih semakin tercerahkan, kita semakin tergelapkan. Kehadiran kita sebagai seorang muslim tidak lagi membawa rahmat yang sebenarnya bagi sesama, malah menghadirkan bencana dan petaka.

Dunia terlihat tampak semakin runyam dengan kehadiran Islam, di satu sisi, meski di sisi lain, Islam juga membawa harapan-harapan perubahan dan pemulihan kebaikan. Oleh sebab itu, Fayyadl menawarkan Islam Progresif, yakni suatu keberislaman yang “berbeda”, yang lain, daripada yang sehari-hari membisingi telinga kita dengan berbagai perdebatan politik ala influencer yang turut mengalihkan perhatian kita pada persoalan sebenarnya.

 

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

*Anda bisa juga membantu Banjir di Kalimantan Selatan ini  bantuan dari kita sekecil apa pun akan berdampak bagi mereka yang membutuhkan