Kontestasi antar ideologi dan aliran di ruang publik agama semakin meningkat. Eskalasi kecemasan dan gesekan atas kontestasi ini, menjadikan ruang-ruang religius yang semestinya sejuk dan damai, menjadi gerah bahkan cenderung panas. Di beberapa kawasan di negeri ini, terlihat bagaimana gesekan antar kelompok terlihat dominan.
Lalu, bagaimana memaknai meningkatnya konstelasi antar aliran keagamaan, ormas dan sekte-sekte yang semakin mengkhawatirkan? Kasus terbaru, pengajian Ustadz Wahabi, Khalid Basalamah di Sidoarjo, dibubarkan oleh warga yang dibantu Banser. Warga gerah, karena pengajian-pengajian Ustadz Khalid sering mengajukan klaim-klaim penyesatan dan memutar data-data sejarah agama untuk kepentingan ideologinya.
Kontestasi Ruang Publik Agama
Dalam konteks ini, memahami kontestasi di ruang publik agama sejatinya sebagai kemungkinan-kemungkinan kebebasan berpendapat. Namun, kebebasan berpendapat ini seharusnya tidak dibarengi dengan caci maki, pengkafiran bahkan penyesatan atas ajaran-ajaran agama.
Ruang publik agama seharusnya menjadi ruang dialog yang kritis dan sehat. Perdebatan-perdebatan atas klaim agama dilakukan secara jernih dengan akurasi data dan rujukan sumber. Habermas mengungkap bahwa ruang publik ideal merupakan ranah atau domain tempat opini publik terbentuk, yang menjamin berlangsungnya komunikasi bebas penguasaan serta argumen yang kritis dan rasional.
Era reformasi membawa angin kebebasan informasi serta terbukanya ruang interaksi antar golongan di ranah publik. Yudi Latif menegaskan bahwa Orde Reformasi merupakan momentum keterbukaan ruang publik dan pemberdayaan civil society. Di ruang ini, terhampar penguatan kembali hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul serta berorganisasi, yang selama Orde Baru dan Orde Lama dikekang oleh negara.
Dalam konteks ini, kekuatan civil society sangat penting untuk mendukung demokrasi. Kekuatan ini bergantung pada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi: pertama, ruang publik yang bebas sebagai sarana perdebatan publik. Kedua, keadaan demokratis yang memungkinkan adanya kebebasan bagi warga negara, terpeliharanya hak-hak asasi manusia, serta ketertiban umum. Ketiga, kuatnya sikap toleran yang memungkinkan adanya saling menghargai setiap perbedaan dan menghormati aktifitas yang dimiliki orang lain. Keempat, keadilan sosial-ekonomi yang menjadi basis kesetaraan dalam partisipasi politik. (Latif, 2016: 112).
Dalam memahami meningkatnya fanatisme dan dogma-dogma kekerasan dalam agama, Yudi Latif melihat reaksi berupa teror dan serangan-serangan kekerasan sebagai kepanikan atas modernisme.
Menurutnya, terorisme berjalin-berkelindan dengan pemahaman fanatis-dogmatis dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme merupakan reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebenswelt). Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara pra-modern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas serta globalisasi (2016: 122).
Dengan demikian, radikalisme–dan terorisme pada sisi terjauhnya–merupakan ekspresi kepanikan terhadap modernisme. Inilah tantangan bagi muslim Indonesia, bagaimana memaknai agama dengan pesan-pesan toleransi, kedamaian, cinta.
Di sisi lain, ada perdebatan pandangan tentang kekerasan dan intoleransi: akankah kita toleran dengan kelompok intoleran? Toleransi merupakan prinsip utama, meski ada batasnya. Sejauh menyangkut sisi kemanusian dan tujuan kebaikan umat, kita perlu toleran serta berusaha untuk membantu sebaik-baiknya. Namun, jika kelompok-kelompok yang selama ini bertindak intoleran sudah mengancam kedaulatan negara, meretakkan NKRI dan menantang pembentukan sistem negara di dalam negara, tentu harus ada tindakan. Jangan sampai, Indonesia menjadi Syuriah, Irak dan Afghanistan, negeri-negeri yang dihantam konflik agama sebagai penyulut perpecahan antar warga negara.
Kita juga harus menolak pemimpin-pemimpin yang mengayomi kelompok intoleran, mereka yang mengusung kekerasan beragama. Kontestasi politik di DKI Jakarta membuktikan hal ini, betapa isu agama, etnis dan sentimen ideologi menjadi pemicu untuk membelah publik. Merapatnya Anies-Uno ke kubu Front Pembela Islam (FPI) dan aliansi Cendana menjadi tanda tanya besar, bagaimana pola kepemimpinnya ketika didukung kelompok radikal dan jaringan Orde Baru? Akankah intoleransi semakin meningkat?
(*).
*Munawir Aziz, peneliti Islam dan Kebangsaan (@MunawirAziz)