Kementerian Agama Republik Indonesia, seperti dikutip oleh CNN Indonesia, mengatakan akan merealisasikan program sertifikasi penceramah agama. Pada era Lukman Hakim Saifuddin, Kemenag pernah mengeluarkan daftar da’i yang mempunyai sertifikasi, atau dalam bahasa lain “direkomendasikan” untuk mendakwahkan agama di Indonesia.
Sebenarnya, bukan hanya agama Islam saja yang harus disertifikasi, para penceramah agama lainpun sebaiknya ikut difilter kredibilitasnya karena Kementerian Agama meng-cover semua agama di Indonesia. Khusus bagi penceramah agama Islam, program Kemenag tersebut bekerjasama dengan BNPT, BPIP, dan Ormas Keagamaan.
Kebijakan pemerintah ini memantik kontra dari beberapa figur di dalam tubuh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka secara terang-terangan menolak program ini. Drama semakin menarik ketika Sekjen MUI, Anwar Abbas mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya jika program ini diteruskan oleh Kemenag. Sebagian kalangan mungkin acuh mengenai sikap Sekjen MUI tersebut. Mau mundur ya sudah mundur saja.
Selain Anwar Abbas, pengurus MUI lain seperti Tengku Zulkarnain juga menolak usulan tersebut dengan keras. Nama terakhir yang belum lama ini konon memalsukan informasi soal pendidikannya, mengecam sertifikasi penceramah.
Memang, jika melihat realitas, kita dibombardir oleh ceramah-ceramah agama, oleh siapapun dan dari media apapun. Ironisnya, para penceramah itu semakin ke sini semakin memperlihatkan sisi kebencian alih-alih menebar kedamaian. Ambil contoh saja, Sugi Nur yang isi ceramahnya seringkali mengutuk satu kelompok dan kemudian ditutup dengan sebuah umpatan. Seolah kurang afdhal kalau tidak pakai umpatan.
Satu ceramahnya saja mampu mengandung banyak sekali ungkapan dan umpatan kotor yang silih berganti dengan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadis. Bahkan, ia lebih fasih mengucap “jancuk” dari pada melantunkan ayat. Lalu apa yang bisa dipetik umat dari penceramah model begini?
Contoh penceramah yang kerap membawa isu kebencian dari pada perdamaian adalah para dai mualaf. Agar ceramahnya laku, mereka menjual keburukan-keburukan agama mereka sebelumnya. Mereka sadar kok bahwa topik ini sangat menjual dan menarik minat masyarakat, apalagi muslim awam. Yang mereka tidak sadari adalah, bahwa ceramah-ceramah model seperti itu mampu membangun opini umat terhadap suatu golongan. Argumen-argumen keburukan yang dipasarkan akan membentuk opini publik bahwa agama tertentu ternyata seburuk ini, sesesat itu, dan sebagainya. Apakah ini yang kemudian diinginkan oleh MUI?
Belum lagi fenomena artis yang tiba-tiba menjadi penceramah agama. Tidak sedikit selebritas yang merasa tercerahkan oleh agama dan kemudian merasa harus menyampaikannya kepada umat. Bukan tidak boleh berbicara mengenai agama, namun ketika menjadi penyampai pesan bagi orang banyak, alangkah baiknya jika mengukur diri. Jika memang penceramah dadakan itu berdakwah, takutnya kita hanya mampu menyerap ilmu agama yang dangkal, nanggung, dan hanya setara dengan kapasitas penceramahnya.
Alih-alih memberi kesejukan, wong yang ngomong saja kadang belum memahami dalil yang dikutipnya. Parahnya, banyak dari mereka menafsirkan ayat untuk tujuan provokatif.
Program Sertifikasi Kemenag tersebut sebenarnya berperan untuk meyakinkan masyarakat bahwa da’i atau pendakwah yang nantinya akan menjadi guru agama mereka memiliki kapasitas dan keilmuan yang mumpuni.
Gampangnya begini, misalnya jika sekarang Islam seringkali dicap sebagai agama kebencian dan kekerasan, maka penceramah Islam harusnya bukan orang-orang yang fasih dengan ujaran kebencian, dong. Penceramah Islam harus memiliki integritas sehingga ajaran yang dibawanya mampu membawa kerukunan sehingga Islam mulai dipandang sebagai agama yang damai dan mencerahkan, begitulah kira-kira konsepnya.
Menolak sertifikasi Ulama, menurut saya bisa menggiring kepada opini bahwa Islam adalah agama yang bisa didakwahkan oleh orang sembarangan. Bagaimana tidak, tanpa regulasi ini, semua orang bisa mendakwahkan agama. Mereka hanya perlu berbalut gamis dan peci putih, serta modal kepercayaan diri dengan apa yang disampaikannya. Semua akan menjadi “ustad” pada waktunya. Kita sudah bisa melihat prototype ustad-ustad mini ini dalam dalam diri netizen ketika mereka mengomentari sesuatu yang berbau agama di media sosial.
Mungkin sebagian dari kita bisa berpikir kritis dan memfilter ceramah-ceramah mubaligh yang tersebar di jagad maya ataupun realita. Namun, apakah kita tega membiarkan saudara-saudara kita yang awam, yang hanya mampu menjadi makmum, yang hanya mendengar lalu mempraktikkannya, mendapat asupan keagamaan dari penceramah yang gemar mengkafirkan dan berpikir dangkal?
Kembali ke para petinggi MUI, banyak dari mereka yang menolak kebijakan ini. Jangan-jangan memang ada pengasong dakwah dengan agenda tertentu yang sudah merongrong lembaga tersebut, dan mereka sudah mampu memengaruhi anggota lain untuk mengikuti agendanya. Jika memang seperti itu, maka tidak heran mereka menolak keras kebijakan sertifikasi karena jika kebijakan itu berlanjut dan dipraktikkan, maka kemungkinan propaganda agenda mereka juga akan tertutup, dan “pengasong dakwah” ini akan merugi.
Kita tentu menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Namun jika kita lihat sebagian petinggi MUI, mereka kerapkali berinteraksi dengan para ekstremis luar negeri. Misalnya, wasekjen MUI bidang hubungan luar negeri dan kerja sama internasional, Zaitun Rasmin. Ia, dalam rekam digitalnya, kedapatan sedang duduk bersama rekannya Bachtiar Nasir membawa bendera pemberontak Suriah.
Nama yang disebut terkahir tidak kalah mentereng dalam urusan propaganda khilafah. Jejak dakwah Bachtiar Nasir mudah kita temukan dalam media sosial, ia adalah Wakil Sekretaris MUI dan ia seringkali berbicara mengenai konsepsi khilafah dan sangat getol memperjuangkannya yang sempat ia gaungkan saat demo 212 dengan ide revolusi Indonesia.
Tengku Zulkarnain lain lagi, dalam banyak komentarnya, ia seringkali memprovokasi umat sehingga Islam terlihat sebagai provokator dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin ia tahu bahwa ia tidak akan lulus sertifikasi penceramah itu. Maka sebelum ia malu, ia tolak dulu kebijakan itu. Tidak heran, kemarin (8/9), Tengku Zul memposting Surat Pernyataan penolakan pihak MUI terhadap kebijakan sertifikasi penceramah lewat twitternya.
Jika memang para penceramah benar kompeten dan tidak memiliki agenda tertentu, sertifikasi penceramah agama seharusnya tidak perlu dirisaukan, apalagi sampai diprotes besar-besaran. Negara-negara lain toh sudah menerapkan kebijakan ini, seperti Turki, Arab Saudi, Iran, Mesir, dan bahkan negara tetangga sendiri, Malaysia. Anggap saja upaya ini wujud konkrit negara mengantisipasi para penceramah yang menyalahi kodrat beragama. Tentu saja dengan syarat pemerintah, terutama Kementerian Agama, transparan dan akuntabel dalam urusan sertifikasi penceramah agama ini.