Di antara paham menyimpang adalah yang meyakini bahwa manusia tidak boleh membuat peraturan atau hukum sama sekali. Menurut mereka, hak membuat peraturan atau hukum hanya milik Allah. Paham ini menyimpang karena baik dalam Al-Quran maupun hadis, ada banyak keterangan yang menunjukkan bahwa manusia boleh membuat aturan dan hukum. Berikut adalah tiga hadis yang menunjukkan kebolehan manusia membuat aturan atau hukum.
Pertama, hadis tentang pahala ijtihad. Rasulullah saw. bersabda,
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ – رضي الله عنه – أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يقول إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu pahala.” (HR. Muslim)
Ibnu Hamzah Al-Dimasyqi menyebutkan bahwa hadis tersebut muncul ketika ada dua orang yang sedang berseteru. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan Amr bin Ash untuk menjadi hakim. Amr bin Ash menolak karena masih ada Rasulullah saw. yang menurutnya pasti benar keputusannya. Ia menilai keputusannya mungkin salah. Dan jika salah tentu tidak artinya. Rasulullah saw. menegaskan bahwa usaha seorang hakim mencari keputusan yang tepat tidak akan sia-sia. Ketika ia telah berusaha keras mencari keputusan yang benar, ia akan mendapatkan pahala. Terlepas dari salah atau benar keputusan yang dibuatnya (Al-Bayan Wa Al-Ta’rif Fi Asbab Wurud Al-Hadits Al-Syarif, jilid 1, hlm. 63).
Ibn Al-Atsir mendefinisikan ijtihad dengan mengembalikan masalah yang dihadapi seorang hakim dengan cara qiyas kepada Al-Quran dan sunnah. Bukan sekadar pendapat seorang hakim sendiri tanpa mempertimbangkan Al-Quran dan Sunnah (Al-Nihayah Fi Gharib Al-Hadits, jilid 1, hlm. 320). Menurut Al-Qadhi Iyadh, ijtihad adalah upaya keras mencari kebenaran dalam suatu masalah. Menurut Ibnu Hajib, ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i (Faidh Al-Qadir, jilid 1, hlm. 331).
Berdasarkan keterangan di atas, ijtihad merupakan upaya keras menggunakan akal fikiran untuk mendapatkan ketentuan yang benar guna menyelesaikan masalah tanpa keluar dari rambu-rambu Al-Quran dan sunnah. Ijtihad, dengan demikian, merupakan gabungan dari pemikiran manusia dan pesan-pesan yang termuat dalam Al-Quran dan sunnah. Gabungan antara yang aqliyah dan naqliyah. Ada yang mengatakan bahwa ijtihad diperbolehkan dalam perkara-perkara yang tidak ada keterangan jelas dalam Al-Quran dan Sunnah seperti kasus-kasus khusus yang dihadapi masyarakat sebagaimana yang dijelaskan dalam asbabul wurud hadis tentang pahala ijtihad. Di sini, pensyariatan ijtihad menunjukkan bahwa manusia diberi wewenang membuat keputusan hukum untuk perkara-perkara yang tidak ada penjelasan langsung dari Al-Quran dan sunnah.
Kedua, Rasulullah saw. melarang menerapkan hukum Allah saat perang dan memerintahkan agar diterapkan hukum Sa’d bin Mu’adz. Rasulullah saw. berpesan kepada komandan perangnya,
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ: ” أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِيمَا يَأْمُرُ الرَّجُلَ إِذَا وَلَّاهُ عَلَى السَّرِيَّةِ: ” إِنْ أَنْتَ حَاصَرْتَ أَهْلَ حِصْنٍ فَأَرَادُوا أَنْ تُنْزِلَهُمْ عَلَى حُكْمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا تُنْزِلْهُمْ عَلَى حُكْمِ اللهِ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَتُصِيبُ فِيهِمْ حُكْمَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya bahwa ketika memberi perintah kepada komandan perangnya Rasulullah saw., “Jika kamu berhasil mengepung benteng musuh, lalu musuh ingin dihukumi berdasarkan hukum Allah, jangan hukumi berdasarkan hukum Allah. Tetapi hukumi berdasar keputusanmu sendiri. Karena, engkau tidak tahu apakah kamu sudah benar dalam menerapkan hukum Allah.” (HR. Al-Thahawi No. 3575).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa komandan perang saat itu adalah Sa’d bin Mu’adz. Musuh yang terkepung dalam benteng adalah Bani Quraizhah. Dalam kasus ini, Sa’d bin Mu’adz memberi keputusan berdasarkan kebijakannya sendiri. Rasulullah memuji keputusan Mu’adz. Hadis ini secara tegas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. mengakui aturan yang dibuat sahabat Sa’d bin Mu’adz. Rasulullah saw. tidak mengkafirkan Mu’adz dan tidak pula mengkafirkan pasukan yang mengikutinya.
Ketiga, Rasulullah membenarkan sahabat Mu’adz bin Jabal yang akan memutuskan hukum berdasar ra’yu, ketika tak ada tuntunan dalam Al-Quran dan Sunnah.
عَنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ قَالَ: وَقَالَ مَرَّةً عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ: «كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟» قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَقْضِي بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي وَلَا آلُو قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ فِي صَدْرِي وقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Dari orang-orang Himsh murid, dari Mu’adz bahwa Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman. Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana caramu memberi keputusan, ketika ada permasalahan hukum?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasar kitabullah.” Rasulullah bertanya, “Jika engkau tak menemukan dasar dalam kitabullah?” Mu’adz berkata, “Aku akan menghukumi berdasarkan sunnah Rasulullah saw.” Rasul berkata, “Jika kau tidak menemukan dalam sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan pendapatku” Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz sambil berkata, “Segala puji bagi Allah yang menuntun utusan Rasulullah kepada apa yang diridai Rasulullah” (HR. Al-Baihaqi No. 3250)
Ketika tidak ada keterangan Al-Quran dan Sunnah tentang suatu masalah, seorang hakim boleh mengambil keputusan berdasarkan ijtihadnya. Pemikiran yang mempertimbangkan Al-Quran dan Sunnah.
Ketiga hadis di atas jelas menunjukkan bahwa manusia mendapat wewenang membuat peraturan, hukum, dan keputusan peradilan. Maka, tidak tepat pendapat sebagian umat Islam yang menyatakan bahwa hanya Allah yang boleh membuat peraturan. Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa manusia juga mendapat wewenang dari Allah dan rasul-Nya untuk membuat peraturan. Rasulullah saw. tidak menyebut orang-orang yang membuat peraturan di luar peraturan Allah sebagai musyrik atau kafir. Bahkan, beliau memerintahkan dan memberi janji akan mendapatkan pahala. Wallahu a’lam.