Jika dalam waktu dekat anda meluangkan waktu untuk mengetik kata “sajen” di mesin pencarian google, maka hasilnya akan menarik. Alih-alih pengertian “sajen” atau sesajen sebagai bla-bla-bla, informasi yang ada justru didominasi oleh pecah-belah wacana (penendang) “sajen”.
Pemicunya adalah sebuah video yang sempat viral di media sosial tentang seorang pria pesepak sajen di sekitar gunung Semeru. Diduga, sajen merupakan bagian dari praktik keagamaan orang Hindu Tengger. Dalam video tersebut, orang yang bersangkutan mengatakan bahwa sesajen adalah sumber murka Tuhan.
Pandangan peyoratif semacam itu sayangnya cukup dominan dalam masyarakat. Sesajen dianggap sebagai praktik animis, sesat, syirik, dan seterusnya. Ukuran yang dipakai untuk menghakimi umumnya adalah pandangan-pandangan keagamaan yang tidak memberi ruang pada kesadaran dan penerimaan akan fakta dan bentuk keberagaman.
Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) mengeluarkan pernyataan sikap pada 11 Januari 2022 terkait kejadian penendangan sesajen di Semeru. MLKI menyatakan keprihatinannya terhadap kejadian yang dianggap menciderai toleransi atas keberagaman keyakinan di Indonesia.
Namun penghayat kepercayaan dihimbau agar tetap berhati dingin dalam menyikapi peristiwa ini. MLKI juga memberi penjelasan singkat mengenai makna sesaji bagi penghayat kepercayaan. Sesaji/sesajen digunakan dalam upacara/ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME agar mendapat perlindungan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia di dunia. Penghayat kepercayaan juga meyakini bahwa kuasa Tuhan ada pada semua ciptaannya termasuk gunung, laut, sungai, dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dengan demikian, MLKI berharap agar masyarakat bisa lebih memahami dan menghormati makna sesajen bagi penghayat kepercayaan dan masyarakat adat.
Jika dibidik secara akademis, peristiwa tendang sesajen menjandi penanda betapa eksklusifnya paradigma yang berkembang di kehidupan beragama sebagian (besar) masyarakat. Dilansir dari akun Instagram resmi Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta, Samsul Maarif, akademisi yang salah satu fokus kajiannya adalah agama-agama lokal, menyebutkan bahwa kasus ini menunjukkan pemahaman agama yang eksklusif, atau ketidakpedulian terhadap agama lain. Hal ini menurutnya terjadi karena rendahnya literasi keragaman agama, khususnya terkait sesajen.
Untuk dapat memahami ajaran dan praktik beragama suatu kelompok masyarakat tertentu, maka paradigma yang digunakan tidak boleh sempit. Artinya, kita tidak bisa menggunakan pola sistem kepercayaan agama tertentu sebagai kacamata kuda untuk memahami semua agama. Apalagi kalau kacamata tersebut bersifat mengekslusi dan menghakimi yang lain dengan stigma-stigma seperti sesat, animis, dan seterusnya.
Dalam memahami agama lokal dan masyarakat adat, umumnya orang akan menggunakan paradigma agama yang dominan sehingga menuduh praktik-praktik seperti sesajen menjadi berkonotasi negatif.
Malahan, dalam kajian-kajian akademis pun kelompok tersebut sering dibaca dengan teori animisme. Komunitas pengamal sajen dianggap mempercayai dan menyembah roh-roh gaib yang berada di balik batu, gunung, laut, hutan, dan lain-lain. Padahal, dalam runtutan studi-studi agama secara akademik, teori animisme sudah lama dikritik dan ditinggalkan, karena dianggap telah keliru memahami religiusitas masyarakat tertentu (lihat Asal Mula Teori Animisme dan Masalahnya).
Maarif, dalam Indigenous Religion Paradigm: Re-interpreting Religious Practices of Indigenous People (Paradigma Agama Leluhur: Menafsirkan Ulang Praktik-praktik Beragama Masyarakat Adat), melihat bahwa di dalam cara berpikir yang dominan digunakan oleh masyarakat pada umumnya, agama adalah soal hubungan manusia dan Tuhan. Sehingga praktik beragama adalah soal menyembah Tuhan.
Oleh karena itu, ketika ada masyarakat tertentu yang melibatkan alam sebagai subyek signifikan dalam praktik beragamanya, mereka dianggap animis, karena dianggap menyembah alam dan bukan Tuhan. Padahal relasi manusia, Tuhan, dan alam dalam paradigma agama lokal sangat erat kaitannya dengan kosmologi mereka.
Kosmologi agama lokal memiliki tiga subjek yang saling terkait satu sama lain, yaitu: Tuhan, manusia, dan alam. Alam bagi penghayat kepercayaan, tidak dilihat sebagai objek yang semata-mata diciptakan untuk dieksploitasi demi kepentingan manusia. Sebaliknya, alam (semestinya) dilihat sebagai subjek yang dengannya manusia hidup saling bergantung. Alam dianggap telah merawat manusia.
Pada beberapa agama lokal di Indonesia, gunung, laut, dan hutan, misalnya, dimaknai sebagai “ibu bumi” yang merawat manusia. Untuk itulah, manusia juga perlu merawat alam. Dengan cara begitulah, ketuhanan itu mereka hayati kehadirannya dalam relasi-relasi antar subyek, bukan subyek-obyek.
Sesajen, menurut Maarif, adalah bentuk manifestasi dari komitmen yang disebutnya ekologis tersebut, yaitu manusia dalam relasi antar subyek yang selaras dengan alam. “Pemahaman sesajen sebagai penyembahan terhadap roh, dan karennya dianggap syirik, adalah pemahaman kolonial yang kolot,” tulisnya.
Meski begitu, Maarif melihat pengusutan kasus ini oleh polisi sebagai pertanda baik untuk kemajuan wacana dan penegakkan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB). Kasus ini menurutnya merupakan suatu bentuk contoh intoleransi warga terhadap KBB warga lain. Dengannya, kehadiran negara, dalam hal ini kepolisian, dilihat sangat tepat karena sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi warga yang kebebsannya terancam dan dilanggar.
Selain itu, dalam Forum Kamisan Daring yang diselengarakan oleh Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR Rumah Bersama), Maarif juga menyampaikan bahwa peristiwa tendang sesajen ini dapat dijadikan momentum untuk kembali mendiskusikan signifikansi sesajen sebagai suatu pengetahuan adat atau kearifan lokal dalam konteks dunia hari ini dengan krisis ekologisnya (lihat Agama Leluhur, Pengetahuan Adat, dan Bumi yang Darurat).
Ketika pengetahuan modern dan perkembangan teknologi hari ini selalu menunjukkan keterpisahan manusia dan alam, sesajen justru menjadi simbol pengetahuan lokal yang menekankan ketakterpisahan manusia dan alam, sehingga signifikan bagi konteks krisis lingkungan yang sedang mengglobal. Paradgima ini dapat ditawarkan sebagai alternatif ketika dunia sedang mengalami kebuntuan dalam menghadapi krisis ekologis yang semakin parah.