Suami/istri adalah pasangan yang akan mengisi separuh hidup kita. Lebih dari sekadar teman perjalanan seumur hidup dalam kendaraan bernama rumah tangga. Sudah banyak nasihat kita dengar untuk menjalaninya, mungkin. Yang berikut ini sekadar tambahan dari Nasruddin Hoja. Saya sadur dari Sacred Laughter of the Sufis karya Imam Jamal Rahman.
Jangan terbosesi dengan pasangan sempurna
Nasruddin menyia-nyiakan sebagian hidupnya guna mencari istri sempurna. Setelah pencarian panjang, di Damaskus, Nasruddin menemukan perempuan yang nyaris sempurna. Cantik. Sayang, tinggi bandannya tidak memenuhi kriteria. Nasruddin ingin memperbaiki keturunan. Dia ingin punya anak berbadan tinggi. Kemudian, di Bagdad, dia menemukan perempuan cantik dan tinggi. Namun, sayang, suara perempuan itu jelek. Bagaimana mungkin akan menghabiskan seumur hidup mendengarkan suara semacam itu?! Pikirnya.
Sampai kemudian di Kairo, Nasruddin menemukan perempuan yang benar-benar sempurna. Berbadan tinggi, berparas laksmi, dan bersuara bidadari. Saat ditanya kenapa akhirnya tidak menikahi perempuan itu, Nasruddin menjawab, “Sayang sekali, dia juga mencari pasangan yang sempurna.”
Jangan terobsesi dengan pasangan sempurna. Pun jika terobsesi, pastikan diri Anda telah sempurna. Tapi, peribahasa mengatakan, “You were born to be real, not perfect.” Kau terlahir untuk menjadi nyata, bukan sempurna.
Untuk para penganut poligami
Nabi adalah teladan. Tapi tidak untuk diteladani poligaminya—maksud saya dari sisi kuantitas. Ini kekhususan Nabi. Selain kuantitas, aspek-aspek poligami Nabi halal ditiru, bahkan mungkin semestinya diteladani. Misal, menikahi janda-janda tak berdaya demi menanggung kebutuhan janda-janda beserta anak-anaknya. (Disebutkan, pada mulanya, poligami adalah untuk melindungi para janda beserta para yatim dari para suami/ayah yang tewas dalam peperangan. Prinsipnya adalah perlindungan dan penjaminan kehidupan). Atau, jika ingin meniru poligami Nabi, tundalah hasrat berpoligami sampai Anda berusia 50 tahun. Mungkin Anda juga bisa sebutkan sisi-sisi kualitatif poligami Nabi yang patut dijadikan acuan bagi penganut poligami.
Tapi, sepertinya acuan favorit penganut poligami adalah ayat Al-Quran itu (al-Nisa: 3). Meski, sesungguhnya ayat itu tak hanya membicarakan poligami dari sisi kuantitas, tapi juga kualitas. Tidak hanya berbicara soal dua, tiga, atau empat istri, tapi juga tentang sikap adil memperlakukan banyak istri—yang disebutkan sendiri oleh Al-Quran bahwa mustahil seseorang bisa memperlakukan banyak istri secara adil (al-Nisa: 129).
Meski kemudian ada yang mengompromikan makna “adil” di al-Nisa ayat 3 dan ayat 129 tersebut. Adil dalam ayat 3 adalah dalam soal materi. Sementara, adil dalam ayat 129 adalah dalam soal perasaan. Seorang poligamis mungkin saja bisa membelikan rumah atau mobil untuk tiap-tiap istrinya atau memberikan nafkah batin secara rutin kepada mereka (hanya lelaki kaya berstamina prima yang bisa begini), tapi pasti mustahil mampu membagi perasaan secara merata. Mungkin, secara materi, istri tua diperlakukan sama. Tapi, secara hasrat, istri muda jauh lebih mempesona.
Tingkah Nasruddin Hoja membuktikan itu.
Hampir setiap hari, kedua istrinya selalu bertanya mana yang lebih favorit: istri tua atau istri muda. Setiap itu pula Nasruddin selalu menjamin bahwa keduanya sama-sama dia cintai. Cintanya kepada masing-masing sama besar. Tidak puas dengan jawaban seperti itu, istri muda yang kebetulan lebih cantik memberikan pertanyaan berupa contoh kasus, “Andai kami terjatuh ke sungai yang dalam, siapakah yang pertama bakal kamu selamatkan?!”
Sambil senyam-senyum, Nasruddin kemudian mendekati istri tua dan memeluknya, lalu berkata, “Kamu bisa berenang, kan, Sayang?!”
Untuk duda atau janda yang ingin menikah lagi
Pastikan Anda—duda atau janda—telah mengendapkan perasaan atas pasangan sebelumnya atau telah menyembuhkan sakit hati atas sang mantan sebelum memutuskan menikah lagi. Jangan bawa perasaan-perasaan lama ke rumah tangga baru.
Setelah ditinggal mati istrinya, Nasruddin menikahi janda. Pasangan duda-janda ini sering membicarakan mendiang pasangan masing-masing. Suatu hari, pembicaraan itu berlanjut sampai mereka hendak tidur. Bahkan saat mereka sudah berbaring di ranjang. Tiba-tiba, Nasruddin mendorong istrinya sampai istrinya terjatuh. Tentu saja si istri marah. Ia kemudian mengadu kepada saudaranya. Si ipar ini segera menemui Nasruddin untuk menanyakan masalah tersebut. Nasruddin menjelaskan bahwa kejadian itu bukan salahnya.
“Kenyataannya adalah,” kata Nasruddin, “mendiang istriku dan mendiang suami adikmu tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami. Kebetulan ranjang kami kecil. Adikmu terdesak dari ranjang karena ranjang terlalu sesak untuk empat orang.”
(Catatan: Jika Anda bertanya-tanya bagaimana penjelasan Nasruddin mencari istri sempurna, kemudian berpoligami, lalu istrinya meninggal lalu menikah lagi dengan janda … abaikan saja pertanyaan Anda itu).