
Di sejumlah grup percakapan, sejumlah kawan saling lempar canda dan tanya soal dibolehkannya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dibolehkannya poligami dengan sejumlah catatan. Sebagai warga berKTP Jakarta, saya menolak kebijakan itu.
Alasannya sesederhana ini: lebih baik pemerintah DKJ ini bikin kebijakan yang lebih asyik lagi soal kesetaraan gender, alih-alih malah ngurusin perkara Poligami dan jadi kontraproduktif dengan upaya-upaya percontohan sebagai abdi negara.
Bagi yang belum tahu, peraturan ini muncul lewat Peraturan Gubernur (Pergub) yang membolehkan ASN pria dengan syarat tertentu untuk berpoligami. Lantas, Dan, ketika ramai di media sosial, Pergub disebut bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi merinci aturan-aturan dalam pengajuan perkawinan dan perceraian.
Pergub itu sendiri tertulis dengan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Selain itu, katanya agar ASN lebih taat aturan, tak ada perceraian atau pernikahan tanpa izin resmi atau keterangan dari pak bos mereka (eh: pimpinan).
Baca juga: Apa Iya Poligami Sunnah? Begini Penjelasan Dr. Nur Rofiah
Nah usai seperti itu dan ramai ditentang, Pemprov DKI bilang malah bukan untk melanggengkan poligami.
Jika kita lebih dalam lagi soal bagaimana peraturan ini muncul, kita akan melihat bagaimana aturan terkait ini, maka kita akan menemukan upaya peminggiran perempuan lebih dalam. Artinya, laki-laki dianggap bisa dan superior dibandingkan perempuan. Coba perhatikan detil ini:
Alasan mendasar boleh ada tiga hal pokok terkait pasangan—spesifik istri, yakni: Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri cacat fisik atau tidak dapat melahirkan keturuan. Belum lagi ada klausul soal berlaku adil dan cukup pembiayaan.
Alasan-alasan ini adalah sejumlah argumen yang kerap divalidasi oleh laki-laki untuk poligami dan hal tersebut malah tertuang dalam Pergub. Sejumlah alasan yang sangat gampag dipatahkan. Ditambah, ada keterangan, diperbolehkan asal tidak ganggu kedinasan.
Bagi saya warga Jakarta, ASN adalah wajah negara dan pemerintah. Dan, jika pemerintah saja melanggengkan perkara hal ini, maka saya takut, objektifikasi perempuan justru akan tinggi. Padahal, Jakarta adalah kunci, jadi wajah Indonesia dan jika perkara poligami ini disahkan, maka di daerah akan kian terbuka.
Saya sepaendapat dengan pendapat Saah satu komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini di Antara yang menjelaskan soal aturan ini yang berpotensi jadi pergub Liar.
“Pemprov DKI sendiri harus betul-betul mempunyai mekanisme untuk memastikan para ASN yang ingin mengajukan kawin lagi itu betul-betul melewati proses tracking (pelacakan),” katanya, Jakarta, Senin
Ia juga menjelaskan, ada kemungkinan suami tak mendapatkan izin langsung dari istri untuk berpoligami salah satunya karena budaya patriarki–yang menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama–dalam keluarganya.
Lantas, ia menjelaskan soal dalam ruang-ruang ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender di dalam rumah. Apalagi, jika pria adalah kepala rumah tangga dan penghasilan. Potensi muncul tidak izin istri bisa terjadi.
Jadi, sekali lagi, aturan ini justru lebih pro laki-laki yang ingin poligami alih-alih untuk mengatur dan sebagai warga Jakarta, saya menolak hal ini.
ASN adalah wajah negeri ini dan sudah sepatutnya memberi contoh, poligami bukanlah solusi. Bikinlah kebijakan atau aturan yang lebih pro kesetaraan atau perlindungan minoritas maupun perempuan.
Sesederhana, misalnya, bikin kebijakan perbanyak CCTV di jalanan yang ramah perempuan untuk jalan atau aktivitas malam atau wajibkan tiap mall atau tempat-tempat perbelanjaan untuk toilet perempuan yang diperbanyak dan disediakan ruangan ibu menyusui dan lain-lain. I
tu lebih punya faedah, yakin deh.