Assalamu’alaykum Min, mohon izin bertanya, apakah benar istri dari pernikahan siri tidak bisa menjadi ahli waris suami atau mendapat warisan suami?
Wa’alaykumussalam..
Bapak/Ibu penanya yang baik, sebagai muslim yang tinggal di Indonesia, kita dihadapkan dengan dua aturan hukum sekaligus. Pertama, Hukum Islam dan yang; kedua, Hukum Negara (Hukum Positif). Kedua-duanya merupakan aturan hidup yang sengaja dibuat untuk mengatur kehidupan manusia agar teratur serta hak dan kewajiban mereka sebagai makhluk Tuhan dan warga negara dapat terjamin dan terlindungi.
Terkait aturan kewarisan yang berlaku di dalam Hukum Islam maka tidak diragukan lagi bahwa seorang istri mempunyai hak waris dari suaminya yang sudah meninggal dunia. Seorang istri akan mewarisi seperempat harta suaminya yang meninggal dunia dengan catatan mereka tidak mempunyai anak dan seperdelapan bagian jika mereka mempunyai anak.
Hal ini diatur secara gamblang oleh agama Islam dalam Q.S. Al-Nisa’ : 12, di mana Allah Swt berfirman, “Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah) dibayarkan hutang-hutangmu.”
Ketentuan ini kemudian ditegaskan lagi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada bab ke-3 pasal ke-180, tentang besaran bagian ahli waris untuk janda, yaitu mendapatkan 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda memperoleh 1/8 bagian. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa aturan Islam jelas mengatur tentang bagian istri dalam masalah warisan.
Namun sebagai warga negara Indonesia, kita tidak boleh juga mengenyampingkan Hukum Negara yang mengatur masalah perkawinan dan harta warisan, yaitu Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa sebuah pernikahan baru dianggap sah jika didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang non muslim. Sehingga berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, secara hukum negara, seorang istri yang dinikahi secara siri tidak mempunyai ikatan hukum (perdata) dengan suaminya.
Seandainya dalam proses pembagian harta warisan suami, ada pihak-pihak yang tidak mengakui keberadaan istri siri dari suami yang telah meninggal tersebut, misalnya seperti istri sah yang bersangkutan yang terdaftar di KUA, keluarga dari suami, baik ibu, ayah dan lain-lain, maka yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum untuk membela diri ataupun untuk mengambil haknya sebagai ahli waris suami. Karena dalam hal ini negara tidak mempunyai payung hukum untuk membela yang bersangkutan, lantaran pernikahannya tidak terdaftar secara sah di KUA.
Akan tetapi, kalau dalam proses pembagian harta warisan tidak mengalami konflik seperti yang dijelaskan di atas, dalam artian semua keluarga dan ahli waris dari suami yang meninggal tersebut mengakui keberadaan istri sirinya, maka dalam hal ini tidak ada persoalan sama sekali. Sehingga pembagian harta warisan seperti yang diatur oleh Hukum Islam dan KHI di atas dapat diberlakukan seperti yang seharusnya.
Di sinilah fungsi penting dari aturan negara yang mengharuskan pencatatan setiap pernikahan di KUA, yaitu sebagai bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak rakyatnya, khususnya terhadap kaum perempuan. Bukan berarti dalam hal ini negara mencampuri hukum agama, akan tetapi lebih kepada usaha untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Dengan demikian, dalam hal ini kurang etis juga seandainya ada oknum yang mengatakan bahwa hukum negara telah melampaui hukum agama dalam persoalan pernikahan, karena sejatinya yang terjadi adalah negara membantu mengawal supaya hukum agama khususnya dalam persoalan pernikahan dan warisan agar dapat berjalan dengan yang seharusnya dan seandainya ada konflik yang menyebabkan adanya kerugian dari salah satu pihak, maka negara bisa hadir untuk membantunya.
Sebagai kesimpulan dari jawaban ini adalah, sejatinya istri siri tetap mempunyai hak waris dari harta yang ditinggalkan suaminya. Hal ini berlaku jika dalam proses pembagiannya tidak terjadi konflik antar ahli waris, khususnya ahli waris resmi dari suami yang meninggal. Namun kalau terjadi konflik yang akhirnya tidak mengakui hak istri siri terhadap harta suaminya yang meninggal, maka negara tidak bisa membantunya karena status pernikahannya yang tidak sah menurut Hukum Negara.