Keadilan dalam Al-Qur’an: Tafsir QS. Al-Mâidah Ayat 49-50

Keadilan dalam Al-Qur’an: Tafsir QS. Al-Mâidah Ayat 49-50

Berbuat adil tidaklah mudah, oleh sebab itu al-Qur’an memberikan tutorialnya.

Keadilan dalam Al-Qur’an: Tafsir QS. Al-Mâidah Ayat 49-50

Beratnya tugas yang dilaksanakan Nabi diantaranya adalah membumikan keadilan dalam suatu masyarakat yang cukup menghiraukan yang namanya keadilan. Bagi masyarakat Arab, yang berlaku bagi mereka adalah kemuliaan komunitas atau suku. Ketika suku atau komunitas sudah dinilai mulia dan menonjol dari sekian komunitas lainnya, mereka memiliki daya jual yang lebih tinggi.

Sistem hukum yang mendasarkan diri kepada kemasyhuran sebuah komunitas di dalam al-Qur’an disebut dengan hukum jahiliyyah, yakni hukum yang mendasarkan diri kepada hawa nafsu yang bergelora didalam hati. Al-Qur’an dalam hal ini mengkritik sistem hukum seperti ini, sebagaimana disebutkan di dalam QS. Al-Mâidah ayat 49.

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Artinya: “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.

Ayat ini mengandung kritik bagi komunitas pada waktu itu yang mendasarkan ketentuan hukumnya dengan hawa nafsu. Pesan yang ingin disampaikan dalam ayat ini adalah adillah dalam menentukan sebuah hukum dan jangan pernah membeda-bedakan individu masyarakat berdasarkam suku tertentu. Sebab, semua manusia memiliki derajat yang sama sebagai makhluk Tuhan.

Ali Al-Baghdadi atau yang lebih terkenal dengan sebutan Imam Khazin (w. 725 H.) dalam tafsirnya, Tafsîr Khâzin, ketika menjelaskan ayat ini menyebutkan, ada sebuah masalah yang menyangkut antara Bani Quraidhah dan Bani Nadhir. Permasalah tersebut adalah ada salah satu anggota komunitasnya yang dibunuh. Akhirnya, mereka mengadu kepada Nabi untuk mendapatkan legitimasi hukum dan menguatkan hukum yang sudah berlaku sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui, hukum yang dibawa Nabi adalah kesetaraan dan tidak membedakan antara individu masyarakat.

Bani Nadhir merasa sebagai komunitas yang lebih mulia daripada bani Quraidhah. Akhirnya hukum yang dibangun pada waktu itu adalah apabila ada anggota masyarakat dari Bani Nadhir membunuh anggota masyarakat dari Bani Quraidhah, Bagi bani Nadhir hanya dikenakan biaya 70 watsaq kurma. Sementara, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, maka bagi bani Quraidhah harus membayar dua kali lipatnya, yakni 140 watsaq.

Namun, Nabi dengan kukuh menolak hukum tersebut. Untuk itu, Nabi menyebutkan bahwa antara Bani Nadhir dan Bani Quraidhah adalah sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Oleh sebab itu, tidak ada perbedaan yang harus dibebankan kepada keduanya apabila salah satunya membunuh anggota komunitas lainnya.

Sehingga, yang menjadi catatan penting dalam ayat ini adalah pemberlakuan hukum publik harus sama. Tidak ada individu masyarakat yang memiliki nilai spesial didepan hukum. Begitulah keadilan yang diusahakan oleh Nabi.

Terkait dengan hukum jahiliyyah atau hukum yang mendasarkan kepada hawa nafsu dan kepentingan sesaat, Al-Qur’an mengomentari dalam surat yang sama ayat 50.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Menurut Muhammad Jamâluddin Al-Qàsimî dalam Mahâsin Al-Ta’wîl, kata jahiliyyah pada ayat diatas memiliki dua maksud. Pertama, agama jahiliyyah. Menurutnya, agama jahiliyyah adalah agama yang memiliki karakteristik mendasarkan dirinya kepada hawa nafsu. Sehingga, ayat ini memiliki kaitan dengan ayat sebelumnya (ayat 49) yang semangatnya adalah sindiran kepada orang-orang Yahudi, apakah mereka mau terperosok dan kembali kepada agama jahiliyyah?. Kedua, masyarakat jahiliyyah yang memiliki kebiasaan untuk menspesialkan golongan tertentu. Kebiasaan ini berlanjut hingga dalam perlakuan sebuah hukum.

Sehingga, ayat ini memiliki semangat menyadarkan dan membumikan keadilan. Mengingat manusia diciptakan sama-sama sebagai mahluk Tuhan. Hanya Dia-lah yang lebih mulia dan tinggi dari pada makhluk-makhluknya. Kesetaraan itulah implementasi dari sebuah kebijaksanaan. Wallahu a’lam.

A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir.