Segera setelah virus Covid-19 melanda, ilmuwan di seluruh dunia berjuang menemukan vaksin yang aman bagi manusia. Khusus bagi umat muslim, sebagian vaksin telah teruji kesucian dan kehalalannya. Penemuan vaksin menjadi pijak harapan semua orang kembali beraktivitas secara normal. Pemerintah pun berjuang mengampanyekan vaksinasi ke seluruh lapisan masyarakat. Namun, dalam beberapa kasus, sebagian kalangan masih saja ada yang menolak divaksin. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap orang yang enggan divaksin?
Vaksinasi, Antara Hak dan Kewajiban
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kiranya penuis perlu mengurainya tidak hanya dari sudut pandang ilmu keislaman. Melainkan juga sudut pandang hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Para aktivis anti-vaksin biasanya mengedepankan dasar hukum Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.”
Dengan ini, kalangan yang menolak vaksin beralasan bahwa keengganan mereka untuk divaksin adalah hak asasi rakyat. Jika kita lihat secara sepintas, alasan kaum anti-vaksin cukup masuk akal, dan dasar hukum tadi dapat dijadikan legitimasi atas penolakan mereka. Padahal dalam konteks lain, terutama ketika terjadi wabah dan mengancam kestabilan kehidupan sosial kemasyarakatan, terdapat undang-undang lain untuk menentukan apakah warga negara boleh menolak vaksinasi atau tidak.
Adalah Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah).
Undang-Undang di atas mengisyaratkan bahwa hal yang berkaitan dengan hak dan kebebasan, tentu kita harus memperhatikan dan menghormti hak orang lain. Karena virus Covid-19 sifatnya menyebar dan menular kepada orang lain, kita tidak bisa egois meolak vaksin karena boleh jadi, kita yang akan menjadi penyebab orang lain terpapar virus. Salah satu pencegahannya adalah dengan vaksinasi, maka kesimpulannya warga negara wajib divaksin demi melindungi diri sendiri dan terutama orang lain.
Hal ini sejalan dengan maqashid syariah (tujuan syariat Islam), salah satu poinnya adalah hifdz nafs (melindungi diri dari marabahaya). Tidak heran sejak dahulu Nabi Muhammad SAW memiliki spirit memutus mata rantai wabah, meski dengan cara sederhana, yakni dengan cara karantina bagi penyintas, atau anjuran agar umat Islam lari dari wabah sebagaimana kita menemui hewan buas. Spirit ini hemat penulis juga terdapat dalam vaksinasi, tujuannya adalah sesegera mungkin menghentikan penyebaran wabah agar tidak semakin megkhawatirkan.
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Rasulullah SAW bersabda: “Jika kalian mendengar ada wabah di satu daerah, janganlah kalian datang ke sana. Tetapi jika wabah itu menyerang satu daerah ketika kalian sudah ada di daerah tersebut, janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.” (HR. Bukhari)
Nabi SAW juga bersabda :
وَفِرَّ مِنَ المَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ
“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Bukhari)
Lebih jauh, dalam kaidah fikih disebutkan bahwa :
الضَرَرُ يُزالُ
“Kemudaratan harus dihindari”
الدَفْعُ أَوْلىَ مِنَ الرَفعِ
“Mencegah lebih baik daripada mengobati”
Kesimpulannya, orang yang enggan divaksin akan membawa bahaya bagi diri sendiri dan juga orang lain. Selain itu, menolak vaksin juga tidak mengindahkan peraturan pemerintah. Perbuatan seperti ini jelas merupakan kedzaliman, tidak diragukan lagi, menolak vaksin adalah perbuatan dosa.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT