#Tanyaislami: Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Islam?

#Tanyaislami: Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Islam?

Mengapa banyak terjadi perbedaan pendapat dalam Islam? Padahal Al-Quran dan hadisnya sama.

#Tanyaislami: Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat dalam Islam?

Islam itu satu, tapi, mengapa terjadi perbedaan pendapat antara ulama satu dengan yang lain, padahal sumbernya sama, dari Al-Quran dan hadis?

Tanya:

Dalam menyikapi berbagai hal, ada tokoh-tokoh agama yang menyampaikan dan melakukan ajaran agama secara berbeda. Semisal, ada yang menggunakan bacaan qunut dalam shalat Subuh, ada yang tidak. Saya juga pernah melihat masalah seperti ada yang bilang zakat pakai uang itu tidak boleh, tapi ada kalangan lain yang membolehkan. Dalam ajaran Islam lainnya, bagaimana ulama bisa beda pendapat?

Jawab:

Islam telah menjadi bagian dari peradaban umat manusia sejak sekitar awal abad ke-7 Masehi, ketika Nabi Muhammad mulai mendakwahkan ajaran Islam di Mekkah dan Madinah. Ajaran ini lekas mendapat simpati masyarakat, baik di dataran Arab maupun negara-negara sekitarnya.

Dahulu, seluruh pengetahuan dan informasi tentang Islam dapat dikonfirmasi kepada Nabi Muhammad langsung. Pasca wafatnya Nabi, ajaran Islam ini dilanjutkan dan disebarkan oleh para sahabat, berlanjut ke generasi tabiin, tabiit tabiin lalu ulama dari masa ke masa hingga saat ini. Konsekuensi dari transmisi ajaran yang luas ini, terjadilah beragam perbedaan pendapat.

Secara umum, perbedaan pendapat antara ulama ini bisa ditinjau secara historis serta metodologis. Dalam aspek historis, hal ini dapat ditinjau dari bagaimana Islam bisa dipahami beragam. Al-Quran memiliki ragam bacaan qiraat dan tafsirnya. Sunnah dan hadis yang disimak dan dipahami generasi sahabat dari Nabi, disebarkan dan diajarkan ke berbagai negeri. Terjadilah dialog dan interaksi antar budaya dan dakwah agama yang mereka bawa dengan penduduk negeri setempat.

Kemudian secara metodologis, hal ini dilihat dari bagaimana generasi pasca Nabi mulai dari sahabat hingga kini menarik simpulan-simpulan hukum dari ayat-ayat Al-Quran dan sunnah Nabi yang ada. Beda pemahaman dari perintah Nabi pun sebenarnya sudah terjadi sejak beliau masih hidup, seperti dalam kisah ketika para sahabat berkumpul usai perang Khandaq. “Jangan shalat (Ashar) kecuali di Bani Quraizhah,” ujar Nabi.

Para sahabat pun bertolak ke Bani Quraizhah, namun ternyata di tengah perjalanan waktu senja hampir usai, waktu Ashar pun hampir habis. Pada akhirnya, ada yang memutuskan melanjutkan perjalanan dan shalat Ashar di tempat tujuan meski waktu Ashar telah lewat – seperti perintah Nabi; ada yang shalat di tengah perjalanan karena memahami bahwa melaksanakan shalat di waktu yang sesuai itu lebih utama. Ada yang memahami perintah Nabi itu secara tekstual, ada yang kontekstual.

Begitupun yang terjadi pasca wafatnya Nabi. Pada masa-masa awal pasca wafatnya Nabi, sahabat masih menjadi rujukan Islam generasi muslim selanjutnya. Mereka dipandang lebih tahu tentang Islam karena generasi inilah yang paling tahu tentang tindak tanduk Nabi semasa hidup. Para sahabat menyebar ke Baghdad, Syam, Mesir, serta beragam negeri yang di masa mendatang akan menjadi pusat-pusat kegiatan Islam. Untuk mengatasi problem-problem yang tidak ada presedennya di masa Nabi, akhirnya generasi pasca sahabat ini menyusun metode-metode istinbat atau pengambilan putusan hukum, dan berkembanglah sistem madzhab.

Baca juga: Ulama Pun Sering Berbeda Pendapat Kok. Jadi, Menjadi Muslim Harus Tetap Woles

Metode pengambilan putusan hukum fikih, memiliki berlapis aspek. Secara umum, sumber hukum Islam adalah Al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Sumber ini yang digunakan utamanya dalam madzhab Syafiiyah. Nanti, dalam madzhab Maliki dikenal sumber hukum dari perilaku masyarakat Madinah, lalu di kalangan madzhab Hanafiyah dikenal metode istihsan. Keseluruhan perangkat istinbath ini memiliki basis argumentasi mengapa mereka menggunakan metode tersebut, yang tentu saja, berimplikasi pada produk-produk hukum yang dihasilkan.

Diskusi bisa merentang panjang, seperti ini: Ayat dan hadis apa yang dinilai sah menjadi dalil hukum? Apa status dan kualitas hadis ini? Bagaimana cara menganalisis teks ayat dan hadis tersebut, memerhatikan lafalnya atau harus menyorot illat yang mendasarinya dari asbabun nuzul dan asbabul wurud? Benarkah argumen tersebut layak menjadi ‘illat hukum? Dan dari sederet pertanyaan semacam itu juga, berkembang sistem kritik dan ilmu hadis, ushul fiqh, kaidah tafsir serta ilmu keislaman lain yang lebih solid dan menjadi rujukan memahami ajaran agama.

Dari diskusi dan beda metode antar ulama madzhab itu, jadilah perbedaan produk hukum yang meliputi banyak hal. Mengapa Imam As Syafii menilai bacaan basmalah dalam al-Fatihah itu wajib dengan shalat, sedangkan Imam Malik tidak? Mengapa Imam Abu Hanifah menganggap hanya air liur anjing yang najis, sedangkan bulu dan kulitnya tidak?

Baca juga: Sikap Para Imam Mazhab yang Sering Berbeda Pendapat

Ajaran fikih yang diajarkan dan diamalkan oleh muslim Indonesia, kebanyakan mengikuti hasil putusan maupun kaidah-kaidah madzhab Imam As Syafii. Begitupun kitab fikih yang populer dikaji di sebagian besar pesantren Indonesia, adalah karya para ulama yang bermazhab Syafii, seperti Imam an Nawawi, Imam Ar Romli, dan banyak lainnya. Ini baru dalam fikih, padahal masih ada ilmu hadis, Al Quran, tasawuf, gramatikal bahasa Arab, dan banyak sekali lainnya.

Akhir kata, menyikapi ulama beda pendapat ini ada sikap yang perlu kita pupuk. Pertama, tidak fanatik. Keseluruhan pendapat ulama adalah proses ijtihad yang didasari ilmu, dan meyakini apa yang kita yakini dan amalkan itu paling benar adalah sikap yang tidak tepat. Kedua, tetap mau belajar dan rendah hati. Meskipun kita mengikuti mazhab tertentu, tapi hal itu tidak menghalangi kita untuk mempelajari bagaimana ulama menghasilkan putusan-putusan fikih. Melalui ijtihad para ulama itu juga, Al Quran dan hadis dapat kita pahami. Wallahu a’lam. (AN)