#TanyaIslami: Hukum Transplantasi atau Donor Organ Tubuh

#TanyaIslami: Hukum Transplantasi atau Donor Organ Tubuh

Donor organ tubuh untuk orang lain, bagaimana pandangan Islam?

#TanyaIslami: Hukum Transplantasi atau Donor Organ Tubuh
Ilustrasi donor organ (foto: shutterstock)

Pertanyaan:
Apa hukumnya menyumbangkan (donor) organ tubuh saat sudah meninggal untuk orang yang membutuhkan? Misal donor mata, hati, dan lain-lain.

Jawaban:
Donor atau transplantasi organ tubuh adalah salah satu capaian besar ilmu kedokteran. Dalam berbagai kasus, mendonorkan bagian tubuh maupun menggunakan donor organ dari orang lain adalah opsi terapi yang advance dan hanya bisa dilakukan di sentra-sentra layanan kesehatan yang sangat memadai.

Secara konseptual, basis kebolehan tindakan transplantasi atau donor organ tubuh ini adalah tujuan maqashid syariah yaitu menjaga nyawa (hifzhun nafs). Merujuk konsep tersebut, banyak turunan kaidah yang mendukung bahwa dalam aspek kedaruratan atau kebutuhan, hal-hal yang mendatangkan bahaya harus dihilangkan (adl-dlararu yuzal). Donor organ adalah salah satu terapi yang diharapkan dan dipandang mampu menjadi jalan menyelamatkan nyawa.

Persoalan donor atau transplantasi organ ini adalah perkara kontemporer, dan kiranya preseden ibarah-nya secara eksplisit tidak ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Pendapat yang lebih relevan untuk digunakan adalah dari keterangan ulama kontemporer.

Penulis akan menyajikan beberapa pandangan dari sudut pandang fikih. Ulama kontemporer yang menyatakan kebolehan donor organ (at-tabarru’ bi a’dlail jism) adalah Syekh Yusuf al Qaradhawi. Pernyataan itu bisa dirujuk dalam kitab Fatawa Mu’ashirah atau laman resmi ulama domisili di Qatar berikut ini.

Selain itu ulama kontemporer Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, menyebutkan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh bahwa hibah atau donor organ tubuh diperkenankan, dengan prasyarat tidak digunakan untuk tujuan komersial.

Catatan penting dari mendonorkan atau transplantasi organ ini adalah ia mesti dilakukan dengan indikasi, terutama bagi orang-orang yang sangat membutuhkan, atau dalam tataran fikih ia menempati derajat dlaruriyah atau sekurang-kurangnya adalah hajjiyah. Ada perdebatan etis soal bagaimana donor atau transplantasi organ untuk estetika atau tidak darurat, yang dalam fikih berada dalam tataran tahsiniyat – namun ia tidak dibicarakan di tulisan ini.

Baca juga: Bolehkah Donor Asi kepada Non-Muslim?

Kompendium Majma’ Al-Fiqh Al-Islami juga dapat dirujuk sebagai bagian dari fatwa internasional, yang mencatatkan bahwa donor organ tubuh orang meninggal dibolehkan atas wasiat atau persetujuan ahli waris. Ini sebagaimana disebutkan sebagai berikut;

يجوز نقل عضو من ميت إلى حي تتوقف حياته على ذلك العضو، أو تتوقف سلامة وظيفة أساسية فيه على ذلك؛ بشرط أن يأذن الميت أو ورثته بعد موته، أو بشرط موافقة ولي المسلمين إن كان المتوفى مجهول الهوية أو لا ورثة له

Artinya:
“Dibolehkan memindahkan organ tubuh mayit kepada orang hidup yang keselamatan jiwanya terkait dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital sangat tergantung pada keberadaan organ itu; dengan syarat adanya persetujuan dari mayit atau ahli warisnya, atau dengan syarat persetujuan pemerintah jika orang mati itu tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.”

Bagaimana pembahasan perihal donor atau transplantasi organ ini untuk kalangan muslim Indonesia? Pembahasan soal donor organ dari orang meninggal ini telah dibahas dalam fatwa MUI no. 12 2019 tentang transplantasi dari pendonor mati. Fatwa tersebut menyatakan kebolehan donor organ dengan prasyarat berikut: terdapat indikasi sesuai syariat; berdasarkan indikasi medis; tidak untuk tujuan komersial; adanya pendapat ahli, juga dilakukan oleh ahli yang kompeten; ada izin dari keluarga maupun pemerintah; serta diselenggarakan atau dipantau oleh negara.

Selain fatwa untuk pendonor mati, MUI juga telah merilis fatwa tentang transplantasi dari pendonor hidup. Kedua fatwa ini menunjukkan bahwa secara legitimasi agama, donor organ dapat dilakukan baik diambil dari pendonor hidup atau mati – dengan memerhatikan betul indikasi dan tindakan dari para ahli, persetujuan donor maupun penerimanya, serta aspek non-komersial dalam donornya.

Tindakan donor organ dapat dilakukan oleh orang hidup, atau orang yang telah terkonfirmasi mati batang otak. Organ yang diambil bisa sebagian atau keseluruhannya. Perlu diperhatikan juga dalam tindakan bagi pendonor hidup tentang adanya efek samping.  Donor dapat dilakukan dan diberikan pada orang yang memiliki hubungan darah maupun orang lain.

Berbicara tentang penentuan kematian dan pemanfaatan organ individu, ia diregulasi oleh PMK No. 37 no. 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor. Sedangkan dalam aspek teknis tindakan dan pelaksanannya, dasar hukumnya diatur dalam Permenkes RI no. 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ. Secara umum, kedua regulasi itu menegaskan bahwa dalam pelaksanaan donor dan transplantasi organ harus ditekankan aspek persetujuan, pelaksanaan dan pemantauan tindakan, pelaporan, serta pengawasannya oleh negara.

Sebagaimana disinggung di awal, donor organ adalah tindakan yang rumit dan melibatkan banyak ahli medis. Pertimbangannya banyak, seperti dalam urusan teknis “penolakan” sistem tubuh, atau ketika hasil donor tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagaimana diharapkan. Belum lagi urusan legal, adat maupun etis yang tidak lepas dari masyarakat pelaku maupun penerima donor.

Kembali ke pertanyaan semula: bagaimana hukum donor organ tubuh orang yang meninggal kepada orang yang lain hidup? Jawabannya, boleh, dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku juga risiko yang ada. Hal yang perlu dipastikan dalam prosedurnya adalah ia jelas indikasinya, telah melalui informed consent dan memiliki dasar hukum lewat persetujuan pendonor atau ahli waris, serta tindakannya dilaksanakan dan diawasi oleh para ahli. Demikian, wallahu a’lam. (AN)

 

Baca juga tulisan lain terkait pertanyaan pembaca Islami di kanal TanyaIslami.