Hukum Donor Organ Tubuh Manusia

Hukum Donor Organ Tubuh Manusia

Hukum Donor Organ Tubuh Manusia
Foto: Freepik

Pemindahan anggota badan baik berupa pencangkokan, tranfusi, donor, dan lain sebagainya merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Proses pemindahan itu secara medis biasa dilakukan terhadap orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati.

Dalam berbagai macam referensi, masalah ini masih menjadi ikhtilaf (materi perdebatan) para fuqaha (ahli fikih).

Pertama, jika pemindahan itu dari manusia yang masih hidup. Dalam hal ini apabila anggota badan yang dipindahkan itu akan menjadi sebab kematiannya sendiri seperti pemindahan hati, maka hal ini haram secara mutlak. Artinya baik ada izin maupun tidakĀ  (secara paksa mengambilnya atau dengan membunuhnya) tetap haram, karena mengizinkannya berarti bunuh diri.

Begitu pula apabila pemindahan itu menyebabkan ia meninggalkan kewajiban-kewajibannya atau pemindahan itu menolong pada maksiat, meskipun hal itu masih memungkinkan untuk kehidupannya, maka hukumnya tetap haram seperti pemindahan dua tangan atau dua kaki sekaligus yang menyebabkan ia tidak dapat bekerja.

Apabila tidak demikian (tidak menjadi sebab meninggalkan kewajiban dan tidak menolong pada perbuatan maksiat) seperti pemindahan salah satu mata, satu ginjal atau darah, apabila pemindahannya tanpa izin maka haram dan wajib menggantinya sesuai dengan aturan syariat yang secara terperinci dijelaskan dalam kitab-kitab fikih bab diyat ‘ala an-nafsi wa al a’dha.

Apabila dengan izinnya maka sebagian ulama tetap mengharamkannya dengan alasan bahwa kemuliaan manusia tidak membolehkan salah satu bagian tubuhnya untuk orang lain, jika terpotong harus dikuburkan, (Majmu’ III; 149).

Ada juga ulama yang membolehkan dengan catatan tidak menjadikan tadlis atau fitnah seperti seperti yang disampaikan Ibn Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari.

Dari pendapat ini nampaknya pemindahan anggota badan dari manusia hidup harus memperhatikan eksistensi kemanusiaannya sebagai makhluk yang mempunyai tanggungjawab kepada Khaliq maupun makhluk lainnya serta keharusan menjaga jasadnya sendiri agar tetap hidup, karena itu merupakan karunia Allah Swt, yang tidak boleh dinafikan.

Kedua, jika pemindahan itu dari manusia yang sudah mati (mayit), sebagian berpendapat bahwa apabila mayat tersebut sebelum meninggal dunia sudah berwasiat atau berpesan untuk memberikan salah satu bagian dari anggota badannya atau berpesan untuk memberikan salah satu bagian dari anggota badannya, dengan kata lain sebelumnya sudah ada izin dari sang jenazah saat masih hidup, maka pemindahan itu diperbolehkan.

Pendapat ini mendasarkan pada tidak adanya dalil yang mengharamkan hal tersebut. Kemuliaan anak adam yang menjadi illat (sebab) diharamkannya pemindahan anggota badan, tidak melarang untuk memanfaatkannya demi kehidupan.

Hal ini sesuai dnegan kaidah fikih adh-dharurah tubihu al-mahdhurah. Sama halnya jika sebelumnya tidak ada izin dari mayit tetapi walinya (keluarganya) memperbolehkan, maka hal itu juga diperbolehkan. Sebaliknya, apabila mereka tidak mengizinkan maka ada dua pendapat, tidak memperbolehkan dan membolehkan (Fatwa Syaikh Athiyah Saqr, Ketua Lajnah Fatwa al-Azhar Mesir).

Pendapat di atas secara eksplisit bisa dicerna bahwa pemindahan anggota badan dari mayit boleh dilakukan dengan catatan ada izin dari mayit sebelum meninggal atau keluarganya. Karena memandang tidak adanya dalil yang secara jelas tidak memperbolehkan pemindahan salah satu anggota badan.

Tulisan ini disarikan dari: Dialog Problematika Umat, hal 288-289, Khalista, Surabaya.