Rumitnya Persoalan Aborsi dalam Fikih Islam Klasik

Rumitnya Persoalan Aborsi dalam Fikih Islam Klasik

Bagaimana fikih klasik memandang aborsi? Kapan diperbolehkan dan kapan dilarang?

Rumitnya Persoalan Aborsi dalam Fikih Islam Klasik

Persoalan aborsi adalah salah satu diskursus bidang medis yang menjadi salah satu medan perdebatan yang selalu hangat di antara pakar hukum, pakar etika, juga tak terkecuali, kalangan agamawan.

Setidaknya selama ini perdebatan soal aborsi (abortus) – khususnya abortus provocatus –selalu berpusat pada perdebatan soal kalangan pro choice (memihak pada hak memilih untuk menggugurkan atau tidak) dan kalangan pro life (memihak pada keharusan memertahankan kehidupan, bahkan dari sejak pembuahan).

Mengingat betapa beragamnya definisi abortus tergantung koridor ilmu yang dibahas, perlu disampaikan bahwa aborsi yang banyak dimaksud adalah tindakan pengguran kandungan, atau abortus provocatus (induced/deliberate).

Dalam konteks medis, ada diagnosis bidang kedokteran kandungan yang menggunakan kata abortus yang berarti keluarnya seluruh atau sebagian jaringan konsepsi dari rahim pada usia kehamilan muda  ada abortus inkompletus, abortus imminens, dan beberapa lainnya.

Kendati nantinya disebutkan juga pembahasan soal keguguran atau miscarriage, namun tulisan ini akan lebih menempatkan masalah kompleksnya persoalan aborsi juga keguguran, yang erat kaitannya dengan bagaimana Islam memandang status janin. Tulisan ini ingin memberikan satu penjelasan yang hemat penulis cukup menarik, mengenai kompleksitas mazhab fikih dalam menyikapi tindakan aborsi berikut janinnya.

Artikel berikut adalah catatan dari artikel Marion Holmes-Katz berjudul The Problem of Abortion in Classical Sunni Fiqh, yang mengulas hukum aborsi dalam fikih klasik Sunni, khususnya empat mazhab fikih utama, dan tidak secara hitam putih memberikan simpulan tentang posisi spesifik Islam terhadap aborsi. Holmes-Katz berargumen, bahwa pendapat tentang aborsi dan janin dalam Islam yang sangat beragam, juga sifat fikih yang lentur, menjadikannya adaptif terhadap diskursus aborsi hingga hari ini.

Dalam fikih, janin diletakkan dalam kerangka yang cukup unik. Mengutip pendapat salah satu ulama dari kalangan Hanafiyah, bahwa janin itu “ia terbilang manusia dalam beberapa aspek, namun tidak dalam aspek lainnya.” Dengan posisinya itulah, ada rincian aturan fikih – yang masih bersifat ijtihadi – tentang hubungan janin dengan orang tuanya, dengan masyarakat, juga bagaimana ia diposisikan sebagai “seorang hamba Allah”.

“Menebus” Janin yang Gugur

Mulanya ada pertanyaan: apakah kondisi keguguran sengaja maupun tidak disengaja, bisa dikatakan tindakan pembunuhan? Jika ia bisa dinilai pembunuhan, maka janin tersebut mesti “ditebus” dengan nilai tertentu. Hal ini kerap diqiyaskan dengan konsep diyat dalam fikih. Diyat adalah bayaran tertentu yang dijatuhkan dalam kondisi ketika terjadi pembunuhan sengaja, atau kondisi “serupa sengaja”, sampai yang tidak sengaja.

Keterangan mengenai kematian janin dikisahkan dalam hadis yang menunjukkan terjadinya pertengkaran antara dua perempuan Bani Hudzail, dan salah seorangnya mati lantas bayinya mengalami keguguran. Kasus ini dalam hadis disebut imlash (إملاص), atau kematian janin akibat kematian ibunya. Para sahabat menanyakan bagaimana status diyat janin dalam kandungan tersebut. Nabi menetapkan bahwa janin tersebut juga mesti ditanggung kaffarah-nya yang disebut dengan ghurrah.

Kisah hadis di ataslah yang dijadikan argumen oleh ulama Sunni bahwa seorang anak yang digugurkan mesti dilakukan “tebusan”. Dan nilai denda ghurrah itu adalah membebaskan seorang budak. Secara simbolik, para ulama menilai keserupaan bahwa janin yang meninggal tersebut mesti ditukar seharga nyawa – dalam konteks saat itu, senilai nyawa budak yang dibebaskan. Ada yang mengatakannya sebagai kewajiban, namun ada yang menyebutkannya sebagai anjuran kebaikan (taqarrub) saja.

Demikianlah, jatuhnya hukum tertentu atas kematian seorang janin, menunjukkan bahwa ia mendapat hukum yang inheren ada pada manusia karena janin dianggap sebagai entitas yang “akan hidup di kemudian hari”.

“Keguguran janin yang tidak langsung dan tidak disengaja” di atas, menjadi dalil sebagian ulama bahwa janin tidak boleh dibunuh atau digugurkan. Beberapa di antaranya menambahkan argumentasi tentang membunuh janin sama seperti membunuh anak, berdalil dengan ayat Al Quran Al An’am ayat 140  “Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui…” juga Al Quran surah Al Isra ayat 31 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan (imlaq)…”

Mudah saja menyimpulkan dari ayat di atas bahwa aborsi dipandang sebagai langkah pembunuhan. Benarkah sesederhana itu? Jika memang diperbolehkan, kapan ia diperkenankan, dan tak dipandang sebagai pembunuhan?

Perbedaan Ulama tentang “Kapan Janin Dinilai sebagai Manusia?”

Mari ingat kembali keterangan salah satu ulama di atas tentang janin itu “terbilang manusia dalam beberapa aspek, namun tidak dalam aspek lainnya”. Dari situlah, perdebatan selanjutnya di kalangan ulama yang memberi ruang untuk tindakan aborsi adalah persoalan kriteria takhalluq atau “ciri manusia”, dalam artian: kapan seorang janin bisa dianggap sebagai manusia, dan ia tak boleh digugurkan? Lumrahnya, kriteria yang digunakan adalah “terbentuknya fisik” dan “peniupan ruh”.

Jauh sebelum teknologi kedokteran bisa mendeteksi kehamilan lebih dini, para ulama berdalil lewat beragam ayat dan hadis tentang penciptaan dan pertumbuhan janin saat dikandung. Anda bisa menemukan ayat maupun hadis tentang 40 hari penciptaan, mulai dari nutfah, mudhgah, sampai alaqah. Pasca 40 hari pertama inilah, karena dianggap sudah memiliki ruh, janin tidak boleh digugurkan. Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafiiyah, memperpanjangnya sampai 40 hari ketiga (120 hari) berdasarkan konsep iddah.

Selain itu, kriteria janin yang mendapat hukum boleh digugurkan adalah ketika “belum ada ciri-ciri manusianya”. Dengan keterbatasan pengetahuan saat itu, mereka merujuk pada tanda yang terlihat: ada mata, tangan, atau kaki.

Apakah janin yang digugurkan itu muslim? Holmes-Katz mencatat bahwa hubungan janin terhadap Tuhan, para ulama bersepakat bahwa janin pada dasarnya adalah fitrah, tidak terbebani syariat apapun, dan bisa dihukumi Islam – sesuai hadis kullu mawludin yuladu ‘alal fithrah.

Dalam konteks yang lebih luas, janin juga terikat dengan komunitas masyarakatnya. Bagi kalangan muslim, tindakan menggugurkan janin, sekali lagi karena ia entitas yang “akan hidup”, maka tindakan menggugurkan kandungan ini bukanlah sikap yang dibenarkan bagi muslim, karena menghentikan keturunan muslim sama saja “mempersedikit umat Rasulullah.”

Hukum Aborsi dalam Fatwa di Indonesia

Pada konteks Islam di Indonesia, rujukan yang memberikan fatwa konkret dan terperinci adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI telah merilis Fatwa tentang Aborsi dalam Fatwa nomor 4 tahun 2005 bahwa aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Kendati demikian, dalam kacamata MUI ada uzur yang memperbolehkan aborsi, baik bersifat dlarurat ataupun hajat.

Keadaan dlarurat yang dimaksud adalah kondisi kehamilan dengan sakit fisik berat atau berisiko tinggi yang telah ditetapkan oleh tim dokter. Sedangkan keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan disebutkan fatwa di atas adalah ketika janin yang dikandung terdeteksi menderita cacat genetik atau tidak akan viable saat lahir.

Sedangkan MUI juga menetapkan bolehnya aborsi karena kehamilan akibat perkosaan selagi ditetapkan tim yang berwenang – MUI menyatakan tim ini setidaknya adalah keluarga korban, dokter, dan ulama. Seluruh kebolehan aborsi di atas harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari dan hanya boleh dilaksanakan di fasilitas kesehatan resmi yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Terakhir, MUI berfatwa haram hukumnya aborsi pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

Sekali lagi, menggugurkan kandungan selalu menimbulkan debat etis dan hukum. Saat ini, di Indonesia asas pro-life banyak dirujuk, salah satunya dari pernyataan dalam Sumpah Kedokteran “saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan”.

Alangkah demikian, hal yang perlu dicermati adalah bahwa kandungan yang diterminasi maupun digugurkan mesti dilakukan secara aman dan sehat. Apalagi, ada indikasi medis yang mengancam nyawa sang ibu. Menggunakan metode pengguguran yang berisiko, sangat berbahaya pada ibu janin tersebut. Beban kehamilan bagaimanapun terletak banyak pada perempuan – dan segala risiko medis yang menyertai ketidaktepatan perlakuan, perempuan adalah korban pertamanya.

Akan banyak sekali pertanyaan terkait dengan kompleksitas persoalan kehamilan dan aborsi, dalam kaitannya dengan hukum Islam maupun hukum negara yang berlaku. Tak terkecuali persoalan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan. Tentu kita berharap terwujudnya hukum pencegahan dan pendampingan atas kekerasan seksual yang berpihak pada perempuan.

Penting sekali untuk memahami tindakan seks berisiko, termasuk musabab kehamilan tak diinginkan. Penting juga bagi pasangan suami istri untuk merencanakan kehamilan, dengan menggunakan penunda kehamilan melalui program Keluarga Berencana (KB). Apapun pilihan yang ditempuh terkait aborsi, ia mesti selalu mengutamakan tujuan syariat: menjaga nyawa (hifzhun nafs), juga menjaga keturunan (hifzhun nasl). 

(AN)