Ada sedikitnya dua respon dari umat beragama menyikapi pandemi Corona. Beberapa menyadari bahwa dengan adanya virus Corona, maka itulah sebenar-benarnya petanda bahwa manusia pada dasarnya bukanlah apa-apa.
Sebaliknya, tidak sedikit pula umat beragama yang merasa jumawa. Mereka kelewat yakin kalau pandemi ini bisa selesai dengan iman. Makanya, segenap himbauan ahli medis, pemerintah, ulama, dan segenap pakar pun mereka terobos.
Ironinya, kelompok yang terakhir itu seringkali melibatkan nama Tuhan seolah-olah sebagai bemper argumentasi. Nada dering kaum fatalis itu biasanya berkibar pada klaim “hanya takut kepada Allah, dan karenanya urusan tertular atau tidak sama virus Corona itu sudah kehendak Allah.”
Namun, dengan Anda mengucapkan begitu, maaf, bagi saya, Anda bukan berarti seorang pemberani. Bukan berati pula dengan menyatakan itu menandakan keimanan Anda menjulang langit. Lagi pula, belum tentu juga kan Anda seorang wali Tuhan.
Maka, saya tidak habis pikir jika Masjid Al-Akbar Surabaya, misalnya, tetap mengadakan salat Jumat, seolah tidak peduli pada Dinas Kesehatan Jawa Timur yang telah mengumumkan bahwa Surabaya berstatus zona merah.
Entah bersumber dari kitab apa, shaf ditata dengan jarak kurang lebih satu meter antar jemaah. Eloknya, pihak masjid sudah menyiapkan hand sanitizer di samping jemaah yang hendak masuk masjid perlu dicek suhu tubuh dan disemprot cairan disinfektan.
Setidaknya, ini diharapkan dapat menenangakan jemaah yang hadir. Lebih-lebih qunut nazilah juga diarapalkan, semoga kita semua dalam keadaan aman dan dilindungi Allah. Meski begitu hal ini tetap disayangkan, mengingat adanya himbauan dari MUI Jawa Timur agar masjid besar tidak menyelenggarakan salat Jumat pada 27 Maret 2020 lalu.
Memang, benar sekali kalau dalam QS. Yunus ayat 62 disebutkan bahwa:
أَلا إِنَّ أَوْلِياءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُون
Ingatlah bahwa sesungguhnya para wali Allah tiada rasa takut atas mereka dan tiada pula mereka bersedih hati.
Jika ayat ini digunakan di ruang publik sebagai landasan untuk tetap salat Jumat meskipun dalam keadaan darurat, maka sungguh ini tindakan yang menggelikan. Kita harus melihat konteks ayat ini terlebih dahulu, membacanya dengan tenang seraya melihat bagaimana ulama sebelumnya memaknainya.
Dalam Mafatih al-Ghaib Fakhruddin al-Razi tegas menyatakan bahwa ayat tersebut konteksnya adalah di akhirat para wali tiada merasakan takut dan sedih hati. Tegas al-Razi menolak jika ayat ini dikaitkan dengan nihilnya rasa takut dan sedih ketika di dunia. Hal ini berdasar pada riwayat masyhur bahwa dunia memang penjara bagi kaum beriman dan surga bagi para pengingkar.
Pada tempat lain al-Razi juga menyatakan bahwa keberanian itu ada di antara kesembronoan dan kepengecutan. Seorang pemberani tahu betul dan dapat mengukur kapan saatnya maju dan kapan waktunya mundur. Sementara para pengecut akan mundur sebelum tahu apa-apa dan mereka yang sembrono akan maju dengan membabi buta.
Betul bahwa al-Razi juga menyatakan di dunia ini kita tetap perlu takut. Lebih-lebih takut kepada Allah. Tidak hanya al-Razi, dalam menafsir ayat tersebut, mulai dari al-Thabari hingga al-Qurthubi, para mufasir senantiasa mengutip riwayat dari Sayyidina Umar ra.
رَوَى عُمَرُ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا فِي اللَّه عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بينهم ولا أموال يتعاطونها، فو اللَّه إِنَّ وُجُوهَهُمْ لَنُورٌ، وَإِنَّهُمْ لَعَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ لَا يَخَافُونَ إِذَا خَافَ النَّاسُ، وَلَا يَحْزَنُونَ إِذَا حَزِنَ النَّاسُ»
Umar ra. meriwayatkan bahwasanya Nabi saw bersabda, “Mereka adalah kaum yang mencintai karena Allah –walaupun– kepada yang bukan sanak pun tiada harta yang diberikan kepada kaum itu. Maka demi Allah sesungguhnya benar-benar terdapat cahaya pada wajah mereka, sungguh mereka berada di atas mimbar-mimbar cahaya, mereka tidak takut ketika orang-orang tengah dilanda ketakutan dan mereka tidak bersedih hati ketika orang-orang diterpa kesedihan.”
Kata wali yang dalam bahasa Arab tersusun dari huruf wawu, lam dan ya’ menurut al-Razi telah mengisyaratkan sesuatu, yakni kedekatan. Menurutnya, yang dekat kepada Allah adalah mereka yang hatinya tenggelam dalam cahaya ma’rifat kepada Allah. Mereka bergerak untuk berkhidmat kepada Allah dan berijtihad untuk taat kepada-Nya. Seorang yang sudah tenggelam dalam rasa takut kepada Allah tiada akan ada ketakukan kepada yang lain.
Apakah dengan begini orang yang sesumbar di ruang publik tidak takut covid-19 seraya melanggar aturan dan himbauan berarti hanya takut kepada Allah? Saya kira nanti dulu!!
Kita semua tahu belaka bahwa tidak pernah ada wali yang sesumbar. Pun terdapat rasa takut kepada Allah itu wujudnya berada di hati. Artinya, ke-merasa-berani-an terhadap Covid-19 ini seyogianya cukup dinikmati di ruang privat. Kita meyakini bahwa semua adalah makhluk, dan yang Tuhan hanyalah Allah. Keyakinan ini perlu disadari agar kita tetap tenang dan tidak panik secara personal.
Sementara di ruang publik yang tengah dilanda situasi darurat tetap diperlukan kebijakan preventif sebagai wujud tawakkal, hifz al-nafs (penjagaan jiwa) yang niatannya juga karena Allah. Penting bagi kita untuk menghormati kebijakan publik, hanya dalam situasi darurat di hari Jumat salat dzuhur dilaksanakan di rumah masing-masing.
Akhir kalam, adanya himbauan status darurat yang dapat mengubah hukum asal pelaksanaan sesuatu dengan penetapan untuk mengganti salat Jumat dengan sembahyang dzuhur di rumah bukan merupakan wujud ketakutan kepada virus Corona.
Sebaliknya, ini murni seperti yang digariskan para ulama agar syariat Islam tetap agung. Tentu kita tidak ingin umat Muslim dituduh sebagai biang penyebar virus hanya karena menjalankan salat Jumat. Tetap jika situasi darurat ini disepelekan tanpa dasar ilmu yang jelas, maka nanti jangan salahkan orang yang gembar-gembor menghina syariat Islam.
BACA JUGA Brutalnya Netizen Menafsir Al-Quran dengan Cocoklogi Virus Corona ATAU Artikel-artikel menarik lainnya