Merajut persatuan umat islam di Indonesia tidak mudah. Beberapa kasus dan fenomena politik akhir-akhir ini selalu membawa jargon-jargon agama. Satu sisi, kita melihat semakin meningkatnya semangat bersyariat umat muslim, akan tetapi di sisi lainnya, kita saksikan terjadi penurunan nilai-nilai spiritualitas agama dalam diri umat muslim itu sendiri. Alih-alih menjadi agen penebar rahmat—agama dan syariatnya justru malah sering dijadikan sebagai alat politik, yang bisa merobek persatuan bangsa.
Tulisan singkat ini bukan maksud untuk menjawab wacana sosial-keagamaan tersebut, akan tetapi ditujukan untuk mencari fondasi dan landasan pikir yang tergali dari nilai-nilai Qurani, yang dapat dipergunakan guna merajut ulang persatuan umat islam. Q.S. Āli Imrān (3): 103 merupakan salah satu ayat yang menghimbau umat islam pada persatuan, dan melarang bercerai berai.
وَ اعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَميعاً وَ لا تَفَرَّقُوا وَ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْداءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْواناً وَ كُنْتُمْ عَلى شَفا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْها كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آياتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Langkah praktis menuju persatuan, yang tersirat dalam ayat tersebut, dapat disimpulkan menjadi dua poin: Pertama, berpegang teguh pada tali Allah (ḥabullāh). Kedua, mengingat nikmat-nikmat Allah swt.
Kenapa dalam persatuan membutuhkan sebuah tali Allah (ḥabullāh)? Apa nilai pentingnya sehingga Al-Quran menggunakan istilah tersebut?
Sebagaimana diketahui, tali berfungsi untuk menghubungkan atau mengikatkan sesuatu. Secara kebahasaan, menurut al-Muṣtafawī, al-ḥabl(tali) merupakan sebuah ungkapan tentang sesuatu yang memanjang, yang berfungsi untuk menyambungkan atau mengikat sesuatu.Seperti seorang anak, bisa disebut sebagai ḥabl (tali), karena mengikat dua insan, suami-istri. Ungkapan semacam ini bersifat umum, dapat dipergunakan untuk memaknai sesuatu yang bersifat materi, maupun maknawi.
Mufasir tafsir isyari seperti Al-Kassānī menafsirkan kata ḥabbullāh sebagai jalan dimana kita naik mendaki, seperti dijelaskan oleh ayat lainnya (Q.S. al-Fāṭir (35): 10): “Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya”. Maka, dalam konteks ini, menurutnya, ḥabbullāh tersebut tidak lain adalah syariat itu sendiri, seperangkat ajaran yang dipegang teguh umat islam sehingga mengantarkannya kepada hakikat kebahagiaan.
Al-Kassānī juga menyebutkan makna lainnya selain syariat, seperti: diri nabi Muhammad saw dan orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman. Mufasir lainnya seperti Makārīm Shīrazī, menyebutkan makna-makna lainnya dengan menyandarkannya pada riwayat-riwayat, al-ḥabl sebagai agama islam, al-Quran, nabi dan ahl-bayt.
Bagi penulis, makna-makna tersebut tidak perlu dipertentangkan, akan tetapi saling menjelaskan. Misalnya, siapa yang dimaksud sebagai ahl bayt nabi? Penulis rasa, yang dimaksudkan tidak hanya sebatas keturunan nabi, akan tetapi ‘setiap orang dari umatnya yang mewarisi ilmu nabi, yakni: ‘orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman’- sebagaimana penafsiran Al-Kassānī.
Makna-makna tersebut menunjuk kepada substansi yang sama, yakni: sebagai alat pengikat yang menghubungkan seorang hamba kepada Allah swt. Syariat Islam, Al-Quran, diri nabi saw dan orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman dapat menjadi sandaran dan elemen-elemen ideologis, yang dapat mengikat seorang hamba untuk selalu berjalan di jalan Tuhan. Kebahagiaan sejati seorang hamba adalah bersama Tuhannya, berjalan di jalan Tuhan. Bersama Tuhan, berarti ia hidup di jalan yang diridhoi Tuhan, hidup di jalan syariat Tuhan.
Pemahaman terhadap syariat dan Al-Quran, misalnya, harus dikembalikan kepada sejumlah individu; kepada diri nabi secara langsung, yang memiliki otoritas sebagai tali Allah (ḥabullāh). Penulis rasa, merujuk kepada nabi bukan hanya merujuk kepada hadis-hadis/ riwayat semata, sebagaimana dipahami para tekstualis. Hadis-hadis atau riwayat itu sendiri membutuhkan seorang penafsir. Dalam logika, biar tidak terjadi blunder/tasalsul, maka seluruh syariat dan penjelasan agama perlu dikembalikan kepada ‘orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman’ tersebut, yakni diri nabi sendiri.
Bagimana masa pasca kenabian? Dari penafsiran al-Kassānī, pasca wafatnya nabi, tentu umat muslim harus merujuk kepada ‘orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman’, sebagai pewaris ilmu nabi. Dalam konteks sufi, ‘orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman’ ini disebut sebagai guru ruhani atau murshīd, seseorangyang memiliki silsilah ilmu dan ruhani yang tersambung kepada diri nabi saw.
Q.S. Āli Imrān (3): 103 mengajak kita untuk bersatu padu, bukan bercerai berai. Bersatu padu dan saling berlomba menuju keridhaan Allah swt, bukan saling mencela dan membenturkan antar kelompok islam. Apalagi jika hanya berbeda pengajian. Sekiranya kita bersandar pada seorang individu, tentu yang dimaksudkan oleh ayat-ayat Al-Quran bukan sebatas seorang guru atau ustad-ustad pengajian. Akan tetapi, seseorang yang memiliki otoritas sebagai tali Allah (ḥablullāh), ‘orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman’, orang-orang yang memiliki silsilah keilmuan yang jelas, yang terhubung kepada diri nabi saw.
Selanjutnya, setelah mengajak kepada persatuan, Q.S. Āli Imrān (3): 103 menghimbau agar selalu ingat kepada nikmat-nikmat Allah. Salah satu nikmat Allah swt terbesar yang ditunjukan oleh ayat tersebut adalah persatuan dan persaudaran yang diikat oleh payung ideologi, Islam. Tidak sebagaimana orang masa jahiliah dulu, yang menyandarkan ikatan persaudaraan karena fanatisme suku maupun nasab keluarga. Nikmat agung perlu dijaga demi menjalin persatuan umat adalah nikmat islam, yang dalam satu payung ikatan ideologi islam, bersama ‘orang-orang yang mencapai puncak kesempurnaan iman’.
Hal demikian-lah implementasi dari dari takwa, yang dipesankan ayat sebelumnya, Q.S. Āli Imrān (3): 102. Himbauan agar umat muslim berjuang mencapai derajat dan maqam ketakwaan. Penulis Tafsir Jalālain mendefiniskan ‘takwa dengan sebenar-benarnya takwa’ dalam ayat tersebut dengan sebuah keterangan hadis sebagai berikut: “…Ta’at kepada Allah dan tidak sedikit-pun bermaksiat kepada-Nya, mensyukuri nikmat-nikmat Allah dan tidak sedikit-pun mengingkari-nya..”. Wallahhu a’lam.