Semenjak muncul video seorang ustadz yang sedang berlatih kuda bersama kedua istrinya, trend poligami semakin mencuat di tengah-tengah masyarakat. Tak jarang beberapa aktifis perempuan melontarkan ketidaksetujuannya dengan anjuran poligami yang “diwasiatkan” oleh ustadz tersebut.
Sampai saat ini poligami memang menjadi salah satu bentuk perkawinan dalam Islam yang masih menjadi perdebatan. Pertanyaan seputar poligami mulai muncul dan berkutat pada beberapa hal: kebolehan poligami, sunnah poligami atau larangan berpoligami.
Perdebatan semacam ini tidak mendapatkan titik temu karena masing-masing pendapat mendasarkan argumennya dengan ayat al-Qur’an dan hadis nabi, sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam. Yang menarik dari silang pendapat ini adalah ayat dan hadis yang digunakan adalah sama yaitu surat an-Nisa’/ 4: 3, 129 dan beberapa hadis nabi.
Bahkan, pembahasan poligami ternyata secara khusus diakomodir oleh al-Ṣābūnī dalam satu judul pembahasan tafsir Rawaiul Bayan. Tentu keberadaan al-ṣābūnī sebagai mufassir modern cukup otoritatif untuk menjelaskan secara eksplisit bagaimana praktek poligami di dunia modern seperti sekarang yang sangat berbeda dengan tradisi arab pra-kenabian seperti dulu.
Artikel ini secara khusus akan menjelaskan bagaimana pandangan al-Ṣābūnī dalam kitab Rawaiul Bayan terkait dengan masalah poligami.
Mengapa Poligami ada dalam al-Qur’an?
Penyebutan poligami dalam al-Qur’an sebenarnya bukan serta merta bisa dijadikan legitimasi kebolehan berpoligami. al-Ṣābūnī menyebutkan bahwa keberadaan ayat poligami tersebut adalah merupakan sebuah alternatif dari sebuah kejadian yang mungkin saja terjadi dalam rangkaian ayat sebelumnya.
Rangkaian ayat sebelumnya tersebut jelas mendemonstrasikan adanya penyimpangan dalam pernikahan yang dilakukan seorang wali yatim kepada yatimnya. Pernikahan itu dikhawatirkan akan membuat si yatim terampas hak-haknya. Hal itu dikarenakan lemahnya kondisi fisik dan psikis yatim.
Maka dari itu, untuk menjaga hak-hak anak yatim agar tidak terjadi distorsi, maka al-Qur’an memberikan alternatif jalan keluar bagi orang yang terlanjur mencintai yatim yang diurusnya. Alternatif pilihan tersebut adalah menikahi wanita lain (bukan wanita yatim) dengan lebih dari satu; dua, tiga atau empat. Jumlah inipun masih dikhawatirkan adanya distorsi yang terjadi seperti ketidakadilan kepada seluruh istri dan lain sebagainya. Sehingga al-Quran menawarkan jalan keluar terakhir agar tidak lagi terjadi distorsi, yakni dengan hanya menikahi satu orang perempuan saja.
Tinjauan Historis Poligami ala al-Ṣābūnī
Al-Ṣābūnī memberikan tawaran pemahaman ayat poligami ini juga dengan tinjauan analisis historis. al-Ṣābūnī mencoba mengungkap bahwa dibalik diperbolehkannya berpoligami ada tendensi-tendensi khusus yang mengiringinya.
Salah satunya adalah tradisi bangsa Arab yang memiliki istri lebih dari lima. Bahkan poligami pada masa itu sangat tidak manusiawi. Laki-laki bebas memilih istri dan menambah sesuka hatinya. Kebiasaan bangsa Arab seperti ini tentu menjadi perhatian sendiri bagi Islam. Maka Islam datang dengan membawa batasan berpoligami. Yakni dengan membatasi poligami dan memberikan syarat, yakni adil di antara istri-istri yang ada.
Keadilan yang diinginkan dalam syarat poligami sebenarnya sebuah keadilan yang sangat sulit untuk diinterpretasikan secara praksis. Hal itu sering diulang-ulang dalam al-Qur’an. Bahkan dengan syarat keadilan tersebut sebenarnya al-Qur’an ingin menunjukkan bahwa poligami sangat merugikan pasangan perempuan.
Batasan keadilan memang banyak diartikan oleh ulama dalam hal nafkah lahir dan bathin, bukan keadilan dalam hal sayang atau cinta. Namun ketidakadilan dalam membagi cinta justru merupakan akar dari keadilan dalam membagi nafkah. Dan tentunya dengan batasan-batasan yang cukup berat tersebut sebenarnya al-Quran ingin mengatakan “jangan melakukan poligami”.
Walaupun dalam keadaan tertentu al-Ṣābūnī juga memperbolehkan poligami. Seperti ketika dalam keadaan istri memiliki penyakit tertentu. Sehingga ulama’ kontemporer menyarankan adanya medical check up bagi pasangan yang akan menikah guna memeriksa kesehatan reproduksi dari masing-masing calon serta untuk mendiagnosis adakah suatu penyakit yang diidap oleh salah satu pasangan. Bisa HIV-Aids atau penyakit menular yang lain. Hal ini ditujukan agar tidak terjadi penyesalan, penyimpangan serta kekerasan dalam keluarga sehingga menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan sebelumnya seperti halnya poligami.
Namun jika hal itu secara langsung dilakukan pada masa tersebut ―yang masyarakatnya sudah terbiasa memiliki istri banyak― jelas sangat memberatkan bagi umat Islam Arab pada waktu itu. Maka dari itu, al-Qur’an hanya bisa membatasi dan memberikan syarat. Al-Qur’an tidak secara eksplisit memberikan larangan untuk tidak berbuat poligami.
Permasalahan Keseimbangan Populasi Laki-laki dan Perempuan
Salah satu alasan yang pernah muncul ke permukaan tentang kebolehan berpoligami adalah perihal banyaknya populasi perempuan daripada laki-laki. Argumen ini sempat muncul pada tahun 1948 tepatnya dalam kongres pemuda dunia yang diselenggarakan di Munich-Jerman. Pada kongres tersebut memutuskan bahwa diperbolehkannya berpoligami dengan alasan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki.
Dengan adanya contoh tersebut, al-Ṣābūnī ingin mengatakan bahwa kebolehan poligami karena alasan tersebut bukan berarti bisa diimplementasikan secara global. Karena ada kondisi-kondisi tertentu yang menjadikan jumlah wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Seperti halnya pada masa perang dunia pada waktu itu. Sehingga kejadian perang dunia pada waktu itu sangat tidak layak jika dipraktekkan pada zaman sekarang.
Kalaupun memang terjadi ketimpangan jumlah populasi, maka al-Ṣābūnī memberikan tiga penyelesaian. Penyelesaian itu ditakar saat terjadi ketimpangan 3 perempuan muda dengan 1 laki-laki muda:
Pertama, seorang laki-laki cukup menikah dengan satu perempuan dan membiarkan dua orang lain hidup tanpa laki-laki, tanpa anak dan tanpa keluarga. Kedua, seorang laki-laki hanya menikah dengan satu perempuan namun ia selingkuh dengan dua perempuan lain atau salah satunya. Tentu hal ini akan menjadikan rumah tangga menjadi bergejolak dan penuh konflik. Ketiga, seorang laki-laki menikah dengan tiga wanita dan menghilangkan segala konflik yang ada di rumah serta menghilangkan fitnah dan dosa.
Dalam tiga solusi ditawarkan itu, al-Ṣābūni juga sama sekali tidak menyinggung manakah solusi yang paling baik di antara ketiganya. al-Ṣābūnī hanya memberikan pertanyaan kepada pembaca tentang solusi manakah yang paling manusiawi, paling baik untuk laki-laki maupun perempuan. Dan tentu para pembacalah yang seharusnya bisa menimbang-nimbang sendiri.
Dari tiga solusi yang ditawarkan al-Ṣābūnī ini memang solusi ketiga yang paling cocok untuk menanggulangi adanya ketimpangan perempuan dari laki-laki. Namun sejatinya kita tidak akan bisa menghilangkan syarat yang ditekankan oleh al-Quran terkait kebolehan berpoligami.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan al-Ṣābūnī bahwa memang semua hal terkadang bisa dikaitkan dengan syariat. Namun poligami tidak. Permasalahan poligami bagi al-Ṣābūnī adalah permasalahan antara satu perempuan dengan perempuan yang lain. Maka dari itu kehalalan poligami adalah merupakan kehalalan dari istri sebelumnya.
Dengan adanya beberapa batasan dan prasyarat yang diberikan oleh al-Qur’an sebenarnya poligami bukanlah sistem perkawinan yang dianjurkan oleh Islam. Poligami hanyalah sebagai contoh alternatif agar seorang laki-laki bertindak sesuai dengan ajaran atau hal-hal yang baik. Dan pastinya Islam datang untuk menjaga semua hak-hak yang harus didapatkan oleh seluruh makhluk hidup tak terkecuali perempuan yang pada saat itu sangat termarginalkan.
Tokoh Islam, khususnya ustadz seharusnya menghindari urusan-urusan sensitif semacam poligami dengan menggali pengetahuan keislaman secara komprehensif. Asal-asalan fatwa poligami yang dilontarkan oleh beberapa oknum ustadz secara tidak sadar menunjukkan sejauh mana kedalaman pengetahuan keislaman yang dimiliki.
Karena sebenarnya, Islam datang sebagai oase bagi perempuan untuk menunjukkan eksistensi hak yang seharusnya didapatkan jauh sebelum Islam datang. Karena pada intinya tujuan dari pernikahan adalah litaskunū ilaiha. Yakni agar kehidupan menjadi tentram dan damai. Dan tentunya kehidupan yang tentram dan damai tersebut harus terpinggirkan dari ego, kepuasan sementara, dan menyakiti batin orang lain.