Tafsir Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Interaksinya dengan Lingkungan Hidup

Tafsir Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Interaksinya dengan Lingkungan Hidup

Tafsir Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Interaksinya dengan Lingkungan Hidup

Mengapa Allah menaruh perhatian besar terhadap lingkungan dalam ayat-ayatnya? Mungkin orang akan menjawab bahwa Islam merupakan agama yang komprehensif yang mengatur seluruh kehidupan manusia, dari urusan sepele seperti adab masuk dan keluar kamar mandi hingga perkara-perkara berat seperti mengatur urusan pemerintahan dan strategi perang.

Namun, ada hal yang lebih fundamental daripada sekedar alasan itu, yaitu bahwa Allah sangat mencintai makhluk-Nya, yaitu manusia, karenanya Allah sampai memberikan bekal dan guidelines dalam firman-firman-Nya untuk manusia dalam mengelola bumi di mana mereka hidup. Allah tentu bisa membiarkan manusia hidup di muka bumi dan membiarkan mereka mengelola alam menurut kebenaran mereka. Tapi nyatanya tidak. Allah memahami kekurangan manusia, Allah memahami sifat dasar kerakusan manusia, sehingga Allah berikan modal-modal etis dalam al-Qur’an mengenai hubungan antara manusia dan lingkungan hidup. Tapi ternyata, manusia tetap saja lalai, mengapa demikian?

Salah satu faktor yang bertanggung jawab atas lahirnya krisis lingkungan adalah kecenderungan umat Islam dalam menafsirkan khalifah fil ardh sebagai prinsip dominasi manusia atas bumi dan seisinya, dalam bahasa ekologis, sikap seperti ini disebut dengan antroposentris, yaitu memposisikan manusia sebagai subjek utama di bumi, dan alam sekitar sebagai objek untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup mereka. Manusia bukan merupakan dari alam, melainkan manusia adalah hasil cipta Tuhan, yang diciptakan untuk mengatur dan menaklukkan alam. Oleh karena itu mereka bisa melegitimasi agenda eksploitasi terhadap alam dengan dalih perwujudan kehendak Tuhan, karena manusia diciptakan untuk menguasai dan menaklukkan alam. Allah berfirman,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Dalam Islam, alam adalah segala sesuatu selain Allah SWT, alam adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah dengan segala isinya, dalam konteks ini, bahwa alam tidak hanya benda angkasa atau bumi dan segala isinya, tetapi alam juga terdapat diantara keduanya. Perspektif ini meniscayakan posisi manusia sebagai pihak yang mempunyai posisi dan derajat yang sama dengan alam. Akan tetapi, Allah memberikan privelege lebih kepada manusia berupa akal dan pikiran untuk mengambil manfaat dan memberdayakan hasil alam dengan sebaik-baiknya demi kemakmuran dan kemasalahatan artinya manusia diberi kebebasan baik mengelola alam atau hanya sebatas mengambil manfaat dari alam, selagi manusia tidak mengakibatkan kerusakan pada alam.

Pada hakikatnya, manusia bukanlah makhluk yang bergantung kepada alam, melainkan justru menjadi faktor penentu atas keberlangsungan alam. Oleh karena itu, selain batasan-batasan etis dan moril dalam diri manusia sebagai pihak yang harus melestarikan ekosistemnya, pesan-pesan Allah juga harusnya turut menjadi pertimbangan dan dasar manusia dalam hidup berdampingan dengan alam. Salah satu pesan Allah terkait hal ini ada pada QS. al-A’raf: 31,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Pesan Allah dalam kandungan ayat tersebut sangat jelas yaitu bahwa Islam telah mengatur manusia dalam mengelola dan memanfaatkan alam dengan porsi dan batasan agar tidak merusak, tidak boros (mubazir), tidak serakah dan tidak menyia-nyiakannya. Namun, kesadaran ini seolah luput akibat konsentrasi umat Islam yang lebih menitikberatkan pada hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia saja. Relasi Islam dengan lingkungan hidup nampaknya sukar ditemui dalam wacana sehari-hari. Kita nyaris tak menemukannya di khotbah jumat, di pengajian maulid Nabi, atau di ceramah-ceramah ustaz seleb di dunia digital. Seakan, permasalahan lingkungan hidup bukanlah satu persoalan serius dibanding iman, takwa, sedekah, atau lainnya.

Salah satu ayat yang mengindikasikan pesan Allah mengenai lingkungan adalah QS. ar-Rum: 41 yang berbunyi,

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Berkaitan dengan ayat ini, dalam tafsirnya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa darat dan laut merupakan tempat terjadinya kerusakan. Misalnya, terjadi pembunuhan dan perampokan di kedua tempat tersebut. Laut akan tercemar sehingga ikan mati dan hasil laut berkurang. Daratan semakin panas sehingga terjadi kemarau panjang. Alhasil, keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Ayat inilah yang kemudian mengantarkan ulama kotemporer memahami ayat ini sebagai isyarat tentang kerusakan lingkungan.

Ayat di atas, sepintas tampak ada kekurangan satu unsur ekologi, yaitu udara yang tidak disebut secara jelas oleh al-Qur’an. Namun, di sinilah letak kemukjizatan al Qur’an dalam menyusun redaksi dan isinya. Sebab jika diperhatkan dengan seksama, elemen udara bersifat universal karena ia berada di darat dan di laut. Jadi meskipun ada kerusakan yang terjadi di udara, seperti misalnya polusi udara dan rusaknya ozon, terjadi karena kerusakan yang ada di darat.

Jika Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, maka kita tidak perlu menunggu waktu untuk menjaga lingkungan. Kita bisa memulainya dari diri sendiri dan lingkungan di sekitar kita, agar generasi-generasi penerus kita dapat menikmati keindahan dan kemanfaatan alam kelak di masa yang akan datang.