Surga yang Dekat, Surga yang Terlihat

Surga yang Dekat, Surga yang Terlihat

Surga yang Dekat, Surga yang Terlihat

Surga yang sejati memang di akhirat, tapi umat manusia diberi peluang oleh Allah untuk mencicipi hawanya tanpa harus meninggal dunia terlebih dahulu, sebab ada yang namanya surga dunia. Surga tersebut ialah surga yang dekat. Surga yang terlihat. Dan surga tersebut ada di dalam rumahmu.

Bahagia, tenteram, adalah salah satu elemen surgawi. Bahagia tidak mensyaratkan memiliki banyak istri. Bahagia bisa kita peroleh dengan bahagia dengan satu istri. Tenteram tidak juga mensyaratkan harus digilai banyak perempuan. Tenteram bisa kita peroleh dengan jalan kesetiaan pada satu hati. Hanya duduk berdua denganmu, atau membiarkan hatiku berbicara pada hatimu saja, bisa mendatangkan tenteram.

Tanpa meninggal terlebih dahulu, kita bisa menikmati surga. Allah itu Maha Luas. Allah tidak bisa kita batasi, misalnya hanya sanggup menciptakan surga di alam akhirat. Allah itu Maha Pemurah. Sanggup menyediakan surga di alam dunia untuk setiap hati yang damai. Ya. Selalu ada surga di dalam rumah kita.

Surga yang dekat, surga yang terlihat, adalah sebuah keluarga. Sebab, selain kebahagiaan dan ketenteraman, keindahan juga adalah elemen surgawi lainnya. Seorang istri adalah makhluk yang indah sekaligus dahsyat. Seorang istri itu bagaikan sebuah puisi tanpa kata-kata. Indah… Tapi, jika kita mau bertanya pada tetesan embun di pagi hari, perempuan itu jauh lebih dahsyat daripada laki-laki. Kekuatan seorang istri terletak di dalam hatinya dan doanya.

***

Muhammadun basyarun laa kal basyari bal huwa kal yaaquut bainal hajari. Muhammad adalah manusia lumrah seperti manusia yang lain, tapi beliau bukan sembarang manusia. Muhammad dibandingkan manusia-manusia yang lainnya bagaikan batu permata di antara batu kerikil.

Yang berdarah biru pada waktu itu bukan hanya Muhammad. Yang berwajah tampan pada waktu itu bukan hanya Muhammad. Yang saudagar kaya pada waktu itu bukan hanya Muhammad. Yang terkenal pandai pada waktu itu bukan hanya Nabi Muhammad. Namun yang memiliki akhlak secemerlang batu permata tanpa cela sepanjang masa hanyalah Muhammad.

Ada seorang ulama besar yang menerangkan, bahwasanya Muhammad bin Abdullah adalah seorang sarjana utama yang lulus dengan predikat cum laude sebagai manusia, maka dari itu beliaulah yang dititipi Al-Qur’an.

Jika memakai kacamata duniawi, Nabi Muhammad itu memang sudah manusia unggul, secara garis keturunan, secara harta benda, dan lain sebagainya, namun masih ada segelintir orang yang menyamai beliau. Hanya saja, ketika faktor akhlak ikut dijadikan tolok ukur perbandingan, maka Nabi Muhammad langsung bagaikan batu permata di hamparan “samudera” batu kerikil.

Ya. Akhlak itu sangat-sangat penting. Akhlak itu yang justru paling menentukan nilai seseorang. Maka dari itu, kita jangan sampai hanya tegak ibadahnya, tapi hancur lebur akhlaknya. Apalagi sampai kita menjadi seorang ahli ibadah yang mewarisi kesombongan Iblis. Rajin ibadah memang sunnah nabi, tapi berakhlak mulia juga sunnah nabi.

Memang sangat sulit mengusir kesombongan iblis di hati. Saya pernah pulang dari pengajian, ketika di tengah perjalanan pulang, saya menemui sebuah pemandangan penuh kemaksiatan, antara sebuah mobil bagus dengan sebuah pakaian minim. Susah sekali untuk saya mengendalikan hati agar tidak seperti Iblis. Meremehkan orang lain, menganggap diri mulia, dan semacamnya.

Apalagi teman kita di sekolah, rekan kerja kita di kantor, keluarga kita di rumah hanya perlu pembuktian hasil ibadah kita, yaitu perbaikan akhlak kita. Masyarakat itu tidak butuh tahu kita rajin sholat apa tidak, masyarakat kita butuh tahu bukti sholat kita. Kaum fakir miskin butuh santunan kita. Anak dan istri butuh kelembutan kita.

Betul, tidak? Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad.

***

Kemuliaan akhlak itu lebih orisinil menunjukkan jati diri daripada kerajinan ibadah. Kita mungkin pernah mendapati cerita “laki-laki agamis” tapi suka kasar pada istrinya. Sebenarnya cerita itu tidak aneh, karena kerajinan ibadahnya bisa jadi cuma “kulit”, maka kita jangan suka melabeli orang lain dari kasat mata saja. Dahulu itu Iblis menyamar jadi malaikat surga untuk memperdayai Kanjeng Nabi Adam.

Kita tidak boleh mengatakan rajin ibadah itu salah. Kita hanya tidak boleh gegabah dalam melabeli seseorang itu muslim atau kafir. Tanda paling nyata orang rajin ibadah adalah punya akhlak mulia. Karena, orang yang bolong-bolong sholatnya saja bisa punya akhlak yang bagus kok, nah apalagi yang rajin sholat. Itu dasar logikanya.

Jika yang sedikit bisa bagus, nah apalagi yang banyak. Jika yang bolong-bolong bisa lembut pada istri, nah apalagi yang sangat rajin. Jadi, kalau ada “orang agamis” tapi akhlaknya buruk, kalau kita bisa heran ada seorang suami yang rajin sholat ke masjid tapi istrinya tesering meneteskan air mata, itu berarti kita yang kurang berpengalaman melihat kehidupan. Terlalu kasat mata. Terlalu lugu linier.

Orang yang sholeh pasti rajin ibadah dan akhlaknya terpuji seperti Baginda Besar Nabi Muhammad junjungan kita semua. Mutlak itu. Satu tingkat di bawahnya adalah orang-orang yang tidak rajin ibadahnya tapi berakhlak terpuji. Menurut saya, misalnya ada seorang suami yang jarang sholat wajib tapi punya hati yang baik dan menyayangi istrinya, itu tandanya dia masih disayangi Allah. Dia cuma masih berada di fase berjalan ke arahNya. Dia adalah muslim yang tengah berproses.

Yang buruk, yang membuat rusak peradaban, adalah orang-orang yang senantiasa pura-pura menyembahNya.

Baginda Nabi Muhammad, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, maupun Sayyidina Umar Al-Faruq itu laki-laki gagah semua, tapi beliau bertiga penyayang sekali pada anak-istri. Beruntunglah, beruntunglah, beruntunglah, perempuan yang memiliki serta dimiliki suami yang mau meneladani beliau bertiga.

Dan, ketika kita mau teguh memegang janji, setia pada sebuah hati, maka kita akan bisa aktivasi surga yang dekat, aktivasi surga yang terlihat.