Surga Tidak Jauh, Ada dalam Diri Kita Sendiri

Surga Tidak Jauh, Ada dalam Diri Kita Sendiri

Bagi orang yang beragama (muslim khususnya) surga adalah impian setelah kehidupan ini berakhir.

Surga Tidak Jauh, Ada dalam Diri Kita Sendiri

Bagi orang yang beragama (muslim khususnya) surga adalah impian setelah kehidupan ini berakhir. Mengapa surga begitu diimpikan? Sebab, gambarannya mempesona dan menyenangkan, di dalamnya ada bidadari, bangunannya dari emas, fasilitasnya cukup mewah bisa mandi susu, bahkan tak perlu makan untuk kenyang cukup niat saja. Singkatnya gambaran surga, “Sesuatu yang tak biasa disaksikan mata, tak terdengar oleh telinga dan tak terlintas dalam hati.” (HR. Bukhari).

Jadi, surga itu janji Tuhan yang pasti dan membuat penasaran. Coba kita sedikit merenung, janji surga yang tertera dalam al-Qur’an dan hadis Nabi SAW untuk masyarakat Arab kala itu yang dikenal tandus, kering kerontang di atas hamparan padang pasir tak seperti bumi Indonesia yang kaya dengan wisata alamnya. Lantas, mengapa janji Allah sesuatu yang tak biasa dirasakan dan disaksikan orang Arab kala itu?

Setidaknya, Allah mendorong manusia untuk berbuat kebaikan, menjadi orang yang bermanfaat dan taat kepada-Nya, caranya dengan menjanjikan sesuatu yang tak terbiasa dirasakan, karena psikologis manusia cenderung ingin merasakan sesuatu yang baru dibenaknya. Logika sederhananya, jika seorang anak dijanjikan kado sangat berharga yang belum ia miliki, apabila ia berprestasi di sekolahnya, anak itu akan terdorong dan giat belajar untuk mendapatkannya.

Di sisi lain,  surga itu dambaan hamba yang awam yang selalu menuntut atas ibadahnya. Seperti bait Chrisye, jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah engkau bersujud kepada-Nya?. Selama ini, surga hanya dipahami tempat yang jauh dari kehidupan dan hanya bisa dinikmati dihari pembalasan nanti (akhirat), itupun sangat bergantung pada hak kuasanya (otoritasnya) Allah.

Saya meyakini surga tak hanya yang jauh, tapi ada surga yang kebebasannya paling dekat dengan detuk jantung manusia, karena Tuhan telah memberikan kebebasan itu. Konsepnya dari mana? Dalam bahasa Arab surga diartikan al-jannah yang dimaknai al-raudhah (taman), atau menurut Abdul Halim bin Muhammad al hadiqah dzatu al asyjar (kebun yang memiliki banyak pepohonan).

Karena itu surga bisa ditafsirkan narasi metaforis (kiasan) tentang kebahagiaan, ketenangan, dan segala yang mendatangkan suasana nyaman tak ubahnya sedang di taman. Misalnya, dalam riwayat Abu Hurairah bahwa Allah memberi kemudahan jalan menuju surga bagi penuntut ilmu (man salaka thariqan yaltamisu fiihi ‘ilman sahhala Allahu lahu thariqan ila al jannah). Menurut Abu Muhammad Allah memberi kemudahan jalan ke surga (di akhirat) bagi orang yang mencari ilmu pengetahuan yang memberi manfaat dan kebaikan.

Tapi, makna surga di dunia, bahwa orang yang berilmu, haus akan ilmu pengetahuan pasti akan merasakan surga berupa kebahagiaan dan kenyamanan dalam hidup. Bukankah Allah tegaskan Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan (QS al-Mujadalah 11)?

Untuk menguatkan itu, dalam sebuah ungkapan (karena hadis ini dianggap lemah) yang sering kita dengar bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu (al-jannatu tahta aqdam al-ummahat). Sebagai isyarat kebahagiaan terdekat bagi manusia ada pada ibunya. Artinya, orang yang menghormati dan bakti tulus pada ibunya pasti ia merasakan surga (bahagia dan tenang), sebaliknya surga tak pernah hadir dalam diri,  jika ibu yang tulus mendidik dilukai dan disakiti.

Singkatnya, hidup yang begitu singkat tapi manusia ingin merasakan kebahagiaan dan ketenangan bahkan sehari hari doa itu dipanjatkan.  Kata kunci kebahagiaan dan ketenangan adalah ketulusan hati berbuat baik, di situlah surga hadir dalam relung hati kita.